Uncategorized

Alasan Nabi Muhammad Berpoligami

Alasan Alasan Nabi Muhammad Berpoligami • Nasehat Islam
Istri-istri nabi


1.      Khadijah binti Khuwailid
Ia merupakan isteri nabi Muhammad yang pertama. Sebelum menikah dengan Nabi, ia pernah menjadi isteri dari Atiq bin Abiddan Abu Halah bin Malik dan telah melahirkan empat orang anak, dua dengan suaminya yang bernama Atiq, yaitu Abdullah dan Jariyah, dan dua dengan suaminya Abu Halah yaitu Hindun dan Zainab. Berbagai riwayat memaparkan bahwa saat Muhammad s.a.w. menikah dengan Khadijah, umur Khadijah berusia 40 tahun sedangkan Nabi hanya berumur 25 tahun. Tetapi menurut Ibnu Katsir seorang tokoh dalam bidang tafsir, hadis dan sejarah, mereka menikah dalam usia yang sebaya. Nabi Muhammad s.a.w. bersama dengannya sebagai suami isteri selama 25 tahun yaitu 15 tahun sebelum menerima wahyu pertama dan 10 tahun setelahnya hingga wafatnya Khadijah, kira-kira 3 tahun sebelum hijrah ke Madinah Khadijah wafat saat ia berusia 50 tahun. Ia merupakan isteri nabi Muhammad s.a.w. yang tidak pernah dimadu, karena semua isterinya yang dimadu dinikahi setelah wafatnya Khadijah. Di samping itu, semua anak Nabi kecuali Ibrahim adalah anak kandung Khadijah.Maskawin dari nabi Muhammad s.a.w. sebanyak 20 bakrah dan upacara perkawinan diadakan oleh ayahnya Khuwailid. Riwayat lain menyatakan, upacara itu dilakukan oleh saudaranya Amr bin Khuwailid.
Motif Nabi Muhammad menikahi Khadijah karena Rasa Cinta atau Hukum biologis. Khadijah sendiri yang menyatakan cinta kepada Muhammad karena akhlaqnya yang bagus serta bisa memajukan bisnisnya. Nabi Muhammad juga memahami akan hal ini sehingga menerima cinta dari Khadijah.
2.      Saudah binti Zam’ah
Nabi menikah dengan Saudah setelah wafatnya Khadijah dalam bulan itu juga. Saudah adalah seorang janda tua. Suami pertamanya ialah al-Sakran bin Amr. Saudah dan suaminya al-Sakran adalah di antara mereka yang pernah berhijrah ke Habsyah Saat suaminya meninggal dunia setelah pulang dari Habsyah, maka Rasulullah s.a.w telah mengambilnya menjadi isteri untuk memberi perlindungan kepadanya dan memberi penghargaan yang tinggi kepada suaminya. Acara pernikahan dilakukan oleh Salit bin Amr. Riwayat lain menyatakan upacara dilakukan oleh Abu Hatib bin Amr. Mas kahwinnya ialah 400 dirham.
Motif Nabi Muhammad menikahi Saudah karena menolong janda dan memberikan penghargaan yang besar bagi janda yang suaminya sahid dalam perang. Hal ini sangat bernilai dalam budaya arab khususnya para pahlawan dalam perang.
3.      Aisyah binti Abu Bakar
Akad nikah diadakan di Mekkahsebelum Hijrah, tetapi setelah wafatnya Khadijah dan setelah nabi Muhammad menikah dengan Saudah. Ketika itu Aisyah berumur 16 tahun. Rasulullah tidak bersama dengannya sebagai suami isteri melainkan setelah berhijrah ke Madinah. Ketika itu, Aisyah berumur 19 tahun sementara nabi Muhammad berumur 53 tahun. Aisyah adalah satu-satunya isteri rasulullah yang masih gadis pada saat dinikahi. Upacara dilakukan oleh ayahnya Abu Bakar dengan mas kawin 400 dirham
Motif Nabi Muhammad menikahi Aisyah binti Abu bakar karena politik. Sebab Nabi Muhammad Pasca ditinggal Khadijah tidak ada yang menemani dan melayani di Rumah sehingga ditawari oleh Abu Bakar untuk menikahi Aisyah pada waktu umurnya sudah cukup. Selain itu juga menguatkan kekuatan umat islam dengan nilai kekeluargaan sehingga bisa terhindar dari bani atau kaum lain yang hendak menghancurkan kekuatan islam. Menikahi dengan motif politik bisa dibenarkan karena budaya arab saat itu sebagai jalan melindungi dan memperkuat suatu kaum.
Menjawab Nabi Muhammad menikahi gadis kecil ( pedofilia )
Nabi Muhammad menikahi Aisyah karena pada saat itu Nabi Muhammad ditinggal mati paman (Abu Thalib) dan istrinya ( Khadijah ). Setelah nabi Muhammad ditinggal mati oleh 2 orang tersebut, nyawa Muhammad senantiasa terancam, karena ia sudah dikeluarkan dari banu paman dan istrinya. Perlu diketahui bersama, bahwa di dalam Arab, ada tradisi, bahwa orang – orang yang terikat di dalam banu yang terpandang, akan terjamin keselamatannya. Dan jika diketahui orang tersebut disakiti, maka banu – banu lain berhak melakukan perlawanan terhadap banu yang melakukan “penyerangan “ tersebut. Sehingga dengan adanya budaya yang demikian, posisi Muhammad amat terancam. Lantas bagaimana caraya agar Muhammad bisa mendapatkan perlindungan? Maka Muhammad harus mengikatkan diri pada banu yang disana “ terpandang”. Cara mengikatkan diri dalam banu, dalam tradisi arab adalah dengan menikah. Maka pada saat itu, Abu Bakar, yang termasuk pembesar salah satu Banu di Mekkah, menarik Muhammad untuk menikah dengan anaknya, agar Muhammad aman dari ancaman orang – orang Quraisy. Lantas, mengapa Muhammad tidak berlindung saja pada sahabat ( Abu Bakar bisa termasuk ), daripada harus menikah dengan Aisyah? Karena pada saat itu, jumlah umat muslim masih sangat sedikit. Sehingga amat mustahil bila melakukan perlawanan, maka langkah yang paling aman adalah dengan mengikuti sistem yang ada ( Peluang aman lebih besar ).
Selain itu, bila kita menggunakan ilmu psikologi, dikatakan bahwa tidak mungkin manusia memiliki 2 sifat yang bertentangan secara ekstrim. Pada kasus Muhammad adalah” di satu sisi ia menyukai anak kecil “ namun “ di satu sisi ia menyukai orang tua ( Istri Muhammad selalu diatas 50 tahun, selain Aisyah dan Khadijah dan jumlahnya ada 10 ). Hal ini amat tidak mungkin. Sehingga, pasti Muhammad menikahi Aisyah adalah “bukan” karena motif suka, namun karena motif politik.
4.      Hafshah binti Umar bin al-Khattab
Hafsah seorang janda. Suami pertamanya Khunais bin Hudhafah al-Sahmiy yang meninggal dunia saat Perang Badar Ayahnya Umar meminta Abu Bakar menikah dengan Hafsah, tetapi Abu Bakar tidak menyatakan persetujuan apapun dan Umar mengadu kepada nabi Muhammad. Kemudian rasulullah mengambil Hafsah sebagai isteri.
Motif Nabi Muhammad menikahi Hafsah binti Umar Bin Khattab karena motif politik. Sebab Nabi Muhammad ditawari oleh Umar Bin Khattab untuk menikahi Hafsah untuk menguatkan kekuatan umat islam dengan nilai kekeluargaan sehingga bisa terhindar dari bani atau kaum lain yang hendak menghancurkan kekuatan islam. Menikahi dengan motif politik bisa dibenarkan karena budaya arab saat itu sebagai jalan melindungi dan memperkuat suatu kaum.
5.      Ummu Salamah
Salamah seorang janda tua mempunyai 4 anak dengan suami pertama yang bernama Abdullah bin Abd al-Asad. Suaminya syahid dalam Perang Uhud dan saudara sepupunya turut syahid pula dalam perang itu lalu nabi Muhammad melamarnya. Mulanya lamaran ditolak karena menyadari usia tuanya. Alasan umur turut digunakannya ketika menolak lamaran Abu Bakar dan Umar al Khattab. Lamaran kali kedua nabi Muhammad diterimanya dengan mas kawin sebuah tilam, mangkuk dari sebuah pengisar tepung
Motif Nabi Muhammad menikahi Ummu Salamah karena menolong janda dan memberikan penghargaan yang besar bagi janda yang suaminya sahid dalam perang. Hal ini sangat bernilai dalam budaya arab khususnya para pahlawan dalam perang.
6.      Ummu Habibah binti Abu Sufyan
Ummu Habibah seorang janda. Suami pertamanya Ubaidillah bin Jahsyin al-Asadiy. Ummu Habibah dan suaminya Ubaidullah pernah berhijrah ke Habsyah. Ubaidullah meninggal dunia ketika di rantau dan Ummu Habibah yang berada di Habsyah kehilangan tempat bergantung. Melalui al Najashi, nabi Muhammad melamar Ummu Habibah dan upacara pernikahan dilakukan oleh Khalid bin Said al-As dengan mas kawin 400 dirham, dibayar oleh al Najashi bagi pihak nabi.
Motif Nabi Muhammad menikahi Ummu Habibah karena menolong janda dan memberikan penghargaan yang besar bagi janda yang suaminya sahid dalam perang. Hal ini sangat bernilai dalam budaya arab khususnya para pahlawan dalam perang.
7.      Juwairiyah (Barrah) binti Harits
Ayah Juwairiyah ialah ketua kelompok Bani Mustaliq yang telah mengumpulkan bala tentaranya untuk memerangi nabi Muhammad dalam Perang al-Muraisi’ Setelah Bani al-Mustaliq tewas dan Barrah ditawan oleh Tsabit bin Qais bin al-Syammas al-Ansariy. Tsabit hendak dimukatabah dengan 9 tahil emas, dan Barrah pun mengadu kepada nabi. Rasulullah bersedia membayar mukatabah tersebut, kemudian menikahinya.
Motif Nabi Muhammad menikahi Juwariyah karena motif politik dan bentuk pertolongan dengan Juwariyah karena ditawan oleh Tsabit bin Qais bin al-Syammas al-Ansariy. Sehingga mengangkat harkat martaban wanita.
8.      Zainab binti Jahsy
Zainab merupakan isteri Zaid bin Haritsah yang pernah menjadibudak dan kemudian menjadi anak angkat nabi Muhammad s.a.w.setelah dia dimerdekakan. Hubungan suami isteri antara Zainah dan Zaid tidak bahagia karena Zainab dari keturunan mulia, tidak mudah patuh dan tidak setaraf dengan Zaid. Zaid telah menceraikannya walaupun telah dinasihati oleh nabi Muhammad s.a.w. Upacara pernikahan dilakukan oleh Abbas bin Abdul-Muththalib dengan mas kawin 400 dirham, dibayar bagi pihak nabi Muhammad s.a.w.
Motif Nabi Muhammad menikahi Khadijah karena Zainab atau Hukum biologis. Selain itu juga untuk melawan budaya arab yang melarang menikahi anak angkat. Allah meridhoi pernikahan Nabi Muhammad dengan Zainab.
9.      Asma’ binti al-Nu’man al-Kindiyah
Asma’ menikah dengan nabi Muhammad s.a.w.tetapi diceraikan oleh Nabi dan diantar pulang ke keluarganya sebelum hidup bersama karena Asma mengidap penyakit sopak
10.  Umrah binti Yazid al-Kilabiyah
Nabi Muhammad s.a.w. menikah dengan Umrah ketika Umrah baru saja memeluk agama Islam. Umrah telah diceraikan dan dipulangkan kepada keluarganya.
11.  Zainab binti Khuzaimah
Zainab binti Khuzaimah meninggal dunia sewaktu nabi Muhammad s.a.w. masih hidup.
12.  Maria al-Qibthiya
Maria al-Qibthiya ialah satu-satunya istri Nabi yang berasal dari Mesir dan satu-satunya pula yang dengannya Nabi memperoleh anak selain Khadijah yakni Ibrahim namun sayangnya meninggal dalam usia 4 tahun
Motif Nabi Muhammad menikahi Maria karena motif politik. Budaya Raja dunia yang memberikan hadiah berupa budak ataupun wanita menjadi hal biasa sebagai bagian dari membangun sekutu ataupun hubungan antar negara. Sehingga Nabi Muhammad menikahi Maria untuk dakwah dan menerima hadiah dari Raja Mesir agar hubungan antar negara bisa baik dan islam bisa berkembang.
Disimpulkan bahwa Nabi Muhammad menikahi wanita arab memiliki pertimbangan rasional dan bisa dipertangung jawabkan. Kedudukan wanita arab yakni patriarchal atau posisi di marjinalkan atau diremehkan bahkan dijual belikan. Sehingga dengan menikahi merupakan upaya untuk mengangkat derajat wanita dalam kondisi saat itu. Pun Raja Raja saat itu memiliki Istri lebih dari 50. Khalid bin walid memiliki istri lebih dari 50. Ataupun Masyarakat Arab lainnya. Karena memang budaya memiliki istri banyak menunjukan status dan kedudukan seorang. Tidak ada motif hawa nafsu atau kelainan hiperseks seperti tuduhan orang orientalis kepada Islam.. Pernikahannya Nabi Muhammad dengan khadijah berlansung selama 25 tahun. Setelah Khadijah Meninggal Dunia Nabi Muhammad karena kondisi perjuangan dan memajukan islam menjadi logis karena motif melindungi janda, mengangkat derajat wanita dan motif politik ataupun untuk merubah budaya arab yang salah sehingga bisa dipertangung jawabkan.
Uncategorized

Raihanah Memeluk Islam

Sebelumnya, kita telah berbicara tentang biografi sebelas orang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kali ini, kita akan berbicara tentang wanita-wanita yang diperselisihkan oleh sejarawan; apakah ia istri Nabi atau bukan. Wanita pertama yang akan kita tengahkan kisahnya adalah Raihanah binti Zaid bin Amr bin Khunafah radhiallahu ‘anha.

Nasabnya

Ia adalah Raihanah binti Zaid bin Amr bin Khunafah radhiallahu ‘anha. Ada pula yang mengatakan nasabnya adalah Raihanah binti Zaid bin Amr bin Khunafah bin Syam’un bin Zaid dari Bani Nadhir (al-Maqrizi: Imta’ al-Asma’ Cet. Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah Beirut 6/131). Ada juga yang menyebutnya berasal dari Bani Quraizhah (Mahdi Rizqullah: Terj. Sirah Nabawiyah. Cet. Perisai Alquran Hal: 844). Dan pendapat yang paling banyak, menyatakan bahwa ia berasal dari Bani Quraizhah.

Memeluk Islam

Awalnya, Raihanah adalah istri dari seorang laki-laki Bani Quraizhah yang dikenal dengan al-Hakam. Suaminya sangat mencintainya. Memuliakan dan berbuat baik padanya. Raihanah pun seorang wanita cantik yang memiliki kedudukan terhormat di tengah kaumnya. Ia cerdas dan pandai menganalisa permasalahan.

Saat orang-orang Yahudi Bani Quraizhah mengkhinati perjanjian antara mereka dengan kaum muslimin, Rasulullah dan para sahabat menyerang mereka. Mereka berhasil dikalahkan sehingga kaum wanita mereka menjadi tawanan. Raihanah menjadi tawanan Rasulullah.

Mulanya Raihanah menolak memeluk Islam. Ia masih fanatik dengan agama Yahudinya. Keadaan ini membuat Rasulullah tidak nyaman. Saat Nabi tengah bersama sahabat-sahabatnya, ia mendengar derap langkah mendekatinya, ternyata Tsa’labah bin Sa’yah mengabarkan tentang keislaman Raihanah. Rasulullah bergembira dan memberi kegembiraan padanya untuk membebaskannya, menikahinya, dan mengenakan hijab untuknya. Namun Raihanah berkata, “Wahai Rasulullah, biar saja aku tetap dalam kekuasaanmu (budakmu). Itu lebih ringan bagiku dan juga untukmu.” Nabi pun membiarkan statusnya seperti semula (al-Maqrizi: Imta’ al-Asma’ Cet. Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah Beirut 6/131).

Dalam versi lain disebutkan:

Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di tengah sahabatnya, beliau mendengar derap langkah. Beliau berkata, “Ini suara derap langkah sandalnya Ibnu Sa’yah. Ia hendak memberi kabar gembira padaku dengan keislaman Raihanah.” Ibnu Sa’yah datang dan berkata, “Wahai Rasulullah, Raihanah telah memeluk Islam. Bergembiralah dengan kabar ini.” Nabi mengirim Raihanah ke rumah Salma binti Qays (Ummul Mundzir). Ia tinggal di sana sampai mengalami haid dan suci dari haid tersebut.

Ummul Mundzir datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengabarkan bahwa Raihanah telah suci. Nabi datang ke rumahnya. Kemudian berkata pada Raihanah,

إِنْ أَحْبَبْتِ أَنْ أُعْتِقَكِ، وَأَتَزَوَّجَكِ فَعَلْتُ، وَإِنْ أَحْبَبْتِ أَنْ تَكُونِي فِي مِلْكِي أَطَؤُكِ بِالْمِلْكِ فَعَلْتُ

“Kalau kau mau, aku akan memerdekakanmu. Kemudian menikahimu dan telah kulakukan. Tapi, jika kau lebih suka menjadi kepemilikanku akan aku turuti. Dan telah kulakukan.”

Raihanah menjawab,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ أَخَفُّ عَلَيْكَ وَعَلَيَّ أَنْ أَكُونَ فِي مِلْكِكَ

“Wahai Rasulullah, sungguh lebih ringan untuk Anda dan untukku kalau aku berada di bawah kepemilikanmu.”

Hubungan Raihanah dengan Rasulullah terus berlangsung demikian sampai ia wafat (Ibnu Katsir: as-Sirah an-Nabawiyah, 4/604).

Apakah Raihanah Seorang Ummul Mukminin?

Para ulama berbeda pendapat apakah Raihanah termasuk istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah budak beliau. Mereka yang berpendapat bahwa Raihanah radhiallahu ‘anha adalah budak beliau berargumen dengan riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa Raihanah sendiri yang lebih memilih untuk menjadi budak beliau dibanding istri beliau.

Demikian juga diriwayatkan dari Ibnu Sirin (seoran tabi’in) bahwa ada seseorang menemui Raihanah radhiallahu ‘anha. Orang tersebut berkata, “Sesungguhnya Allah tidak menghendakimu sebagai ibu dari orang-orang yang beriman.” Raihanah menjawab, “(dengan demikian) engkau tidak Allah kehendaki menjadi anakku.”

Jawaban Raihanah ini menunjukkan bahwa ia bukanlah istri nabi (Ahmad Khalil Jum’ah: Nisa Ahlul Baits, Cet. Darul Yamamah Beirut, Hal: 453).

Di antara sejarawan yang berpendapat bahwa Raihanah adalah istri Nabi adalah al-Waqidi. Ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakan Raihanah binti Zaid bin Amr bin Khunafah. Dan saat itu ia telah menikah. Suaminya mencintai dan memuliakannya. Ia berkata, ‘Aku tidak akan minta dijaga (bersuamikan) siapapun setelahnya’. Ia adalah seorang wanita yang cantik. Tatkala ia menjadi tawanan dari Bani Quraizah, ia dihadapkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Aku termasuk di antara orang yang dihadapkan padanya. Ia memerintahkan agar aku dipisah. Ia memiliki bagian dari setiap rampasan perang. Saat aku dipisah, Allah membuatku tunduk. Aku ditempakan di rumah Ummul Mundzir binti Qais selama beberapa hari. Sampai eksekusi kepada pasukan Bani Quraizhah usai dan tawanan dipisahkan. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemuiku. Aku merasa sangat malu. Beliau mendakwahiku dan mendudukkanku di hadapannya. Beliau bersabda,

إِنِ اخْتَرْتِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ اخْتَارَكِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ

‘Jika kau memilih Allah dan Rasul-Nya, maka Rasul-Nya pun akan memilihmu untuk dirinya’.

Aku menjawab, ‘Sesungguhnya aku memilih Allah dan Rasul-Nya’.

Saat aku telah memeluk Islam, Rasulullah membebaskanku dan menikahiku. Ia memberi mahar senilai sepuluh uqiyah (1 uqiyah =119 gr) dan gandum. Sebagaimana ia memberi mahar istri-istrinya yang lain. Pesta pernikahan digelar di rumah Ummul Mundzir. Ia membagi hari-harinya sebagaimana yang ia lakukan untuk istri-istri yang lain. Kemudian mengenakan hijab untukku.”

Al-Waqidi mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaguminya. Tidaklah ia meminta sesuatu pasti diberi. Ada yang berkata pada Raihanah, ‘Kalau saja kau meminta kepada Rasulullah untuk membebaskan Bani Quraizhah, pasti beliau akan membebaskan mereka’. Ia menjawab, ‘Ia belum bersamku sampai semua tawanan dipisah’. Rasulullah senantiasa bersamanya. Dan banyak meluangkan waktu bersamanya. Kebersamaan ini terus berlangsung hingga Raihanah wafat sepulang dari haji wada’. Nabi memakamkannya di Baqi’. Dan waktu pernikahannya dengan Nabi adalah Bulan Muharam tahun 6 H.” (Ibnu Katsir: al-Bidayah wa an-Nihayah, Cet. Dar Hijr Litthaba’ah, 8/235).

Ibnu Saad dalam Tabaqatnya juga sependapat dengan al-Waqidi. Ia berkata, “Inilah yang diriwayatkan pada kami tentang pembebasan dan pernikahannya. Ini riwayat yang valid menurut kami. Dan ini juga pendapat para ulama. Namun aku mendengar terdapat riwayat bahwa ia berada di sisi Rasulullah belum dalam keadaan bebas. Ia berstatus sebagai budak Nabi hingga wafat.” (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, Cet. Dar Shadir Beirut, 8/130).

Pendapat yang kuat adalah Raihanah merupakan budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau tidak menikahinya. Walaupun terdapat perbedaan demikian, hal ini tidak mengurangi kedudukan Raihanah radhiallahu ‘anha. Ia memiliki kedudukan yang agung karena kedekatannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan karena ia merupakan salah seorang wanita di rumah Nabi. Telah ditakdirkan untuknya kebahagiaan dengan kedudukan ini.

Wafatnya

Raihanah telah dianugerahkan kenikmatan yang besar dengan beberapa tahun berada dalam naungan rumah Nabi yang suci. Ia mengalami hidup bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mendapatkan pemuliaan dan kedudukan di dunia serta tarbiyah ruhiyah. Bersama Nabi, ia merasa nyaman dengan petunjuk dan hidayah. Namun, kehidupannya di rumah nabawi tidak begitu lama. Ia wafat di masa kehidupan Nabi.

Saat kepulangan dari haji wada’ tahun 10 H, Raihanah wafat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakamkannya di Pemakaman Baqi’ (Ahmad Khalil Jum’ah: Nisa Ahlul Bait, Hal: 454).

Semoga Allah meridhai dan merahmati Raihanah binti Zaid. Dan menempatkannya di surga-Nya yang tertinggi.

Uncategorized

Istri Cantik Nabi Mariyah al-Qibthiyah

Mariyah binti Syam’un al-Qibthiyah adalah seorang wanita yang berasal dari Mesir. Pada tahun 7 H, Raja Iskandariyah (Mesir), Muqauqis, mengirim Mariyah untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sahabat Hatib bin Abi Balta’ah lah yang menjaganya dalam perjalanan menuju Madinah. Saat bertemu Nabi, ia memeluk Islam.

Memeluk Islam

Pada tahun ke-6 H, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendakwahi raja-raja. Beliau mengirimi mereka surat. Mengajak mereka memeluk Islam. Di antara raja yang mendapatkan surat tersebut adalah Muqauqis, Raja Iskandariyah Mesir. Sebagai respon atas surat tersebut, Muqauqis memberikan pemberian yang banyak kepada Nabi. Di antaranya adalah Mariyah dan saudari perempuannya yang bernama Sirin. Juga termasuk Khasi, saudara laki-laki Mariya. Ia juga menghadiahi nabi banyak emas. 20 helai baju yang lembut. Seekor bighal dan keledai. Hadiah-hadiah itu dititipkan kepada sahabat Hatib bin Abi Balta’ah radhiallahu ‘anhu.

Hatib mendakwahi Mariyah, Sirin, dan Khasi. Mariyah tertarik dengan Islam. Sirin langsung memeluk agama yang mulia ini. Sementara Khasi ia tetap berada di atas agamanya baru sesampainya di Madinah, ia memeluk Islam.

Dari sini kita dapat pelajaran, kebanyakan orang-orang non Islam tidak memeluk Islam karena tidak mengetahui Islam. Atau mereka mendapat informasi yang salah tentang Islam. Seharusnya umat Islam tidak takut dan menunda untuk berdakwah. Mengenalkan agama ini kepada orang-orang non Islam. Mereka berhak mengetahui kebenaran. Agar mereka mendapatkan pilihan dan memilih jalan yang terbaik untuk kehiduapan mereka. Artinya, setiap muslim wajib membekali diri dengan pengetahuan agama.

Kita juga mengetahui mengapa Rasulullah melarang seseorang tinggal di negeri kafir. Karena di sana, informasi terhadap agama Islam sangat minim. Sementara kerancuan pemikiran terhadap Islam sangat besar. Ketimpangan berita ini bisa membahayakan keimanan seorang muslim.

Bersama Rasulullah

Mariyah adalah seorang wanita kulit putih yang cantik. Namun ia tidak termasuk ummul mukminin. Pada Bulan Dzul Hijjah tahun 8 H, Mariyah melahirkan putra Rasulullah dan dinamai Ibrahim. Istri-istri Nabi pun merasa cemburu padanya.

Dengan kelahiran Ibrahim, Mariyah menjadi wanita yang merdeka. Ibnu Abbas berkata, “Saat Mariyah melahirkan, Rasulullah bersabda, ‘Ia dimerdekakan oleh anaknya’.” Ibrahim hidup selama setahun beberapa bulan dalam perhatian Rasulullah. Sebelum genap berusia dua tahun, Ibrahim sakit. Kemudian wafat saat ia baru berusia 18 bulan. Ia wafat pada tahun 10 H, hari Selasa saat bulan Rabiul Awal baru beberapa hari berjalan. Mariyah pun sangat bersedih dengan kepergian putranya itu.

Untuk memahami bagaimana kedudukan Mariyah, kita bisa simak ucapan Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita-wanita bersama Nabi sebagaimana rasa cemburuku pada Mariyah. Karena ia wanita yang sangat cantik dan rambutnya bergelombang. Rasulullah sangat tertarik dengannya. Saat pertama tiba, beliau tempatkan Mariyah di rumah Haritsah bin an-Nu’man sehingga menjadi tetangga bagi kami. Siang dan malam Rasulullah bersamanya sampai kami luangkan waktu untuk memperhatikannya agar ia tidak betah. Lalu Nabi memindahkannya ke daerah yang lebih tinggi. Beliau sering menemuinya di sana. Itulah yang paling berat bagi kami.”

Wafat

Mariyah wafat di bulan Muharam tahun 16 H. Umar bin al-Khattab mengumpulkan orang untuk menyalatkannya. Dan ia dimakamkan di Pemakaman Baqi’. Ibnu Mandah mengatakan, “Mariyah wafat 5 tahun setelah Nabi wafat. Radhiallahu ‘anha wa askanahu fasiha jannatih.

Uncategorized

Wafatnya Raihanah binti Zaid Istri Nabi

Wafatnya

Raihanah telah dianugerahkan kenikmatan yang besar dengan beberapa tahun berada dalam naungan rumah Nabi yang suci. Ia mengalami hidup bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mendapatkan pemuliaan dan kedudukan di dunia serta tarbiyah ruhiyah. Bersama Nabi, ia merasa nyaman dengan petunjuk dan hidayah. Namun, kehidupannya di rumah nabawi tidak begitu lama. Ia wafat di masa kehidupan Nabi.

Saat kepulangan dari haji wada’ tahun 10 H, Raihanah wafat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakamkannya di Pemakaman Baqi’ (Ahmad Khalil Jum’ah: Nisa Ahlul Bait, Hal: 454).

Semoga Allah meridhai dan merahmati Raihanah binti Zaid. Dan menempatkannya di surga-Nya yang tertinggi.

Sebelumnya, kita telah berbicara tentang biografi sebelas orang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kali ini, kita akan berbicara tentang wanita-wanita yang diperselisihkan oleh sejarawan; apakah ia istri Nabi atau bukan. Wanita pertama yang akan kita tengahkan kisahnya adalah Raihanah binti Zaid bin Amr bin Khunafah radhiallahu ‘anha.

Nasabnya

Ia adalah Raihanah binti Zaid bin Amr bin Khunafah radhiallahu ‘anha. Ada pula yang mengatakan nasabnya adalah Raihanah binti Zaid bin Amr bin Khunafah bin Syam’un bin Zaid dari Bani Nadhir (al-Maqrizi: Imta’ al-Asma’ Cet. Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah Beirut 6/131). Ada juga yang menyebutnya berasal dari Bani Quraizhah (Mahdi Rizqullah: Terj. Sirah Nabawiyah. Cet. Perisai Alquran Hal: 844). Dan pendapat yang paling banyak, menyatakan bahwa ia berasal dari Bani Quraizhah.

Memeluk Islam

Awalnya, Raihanah adalah istri dari seorang laki-laki Bani Quraizhah yang dikenal dengan al-Hakam. Suaminya sangat mencintainya. Memuliakan dan berbuat baik padanya. Raihanah pun seorang wanita cantik yang memiliki kedudukan terhormat di tengah kaumnya. Ia cerdas dan pandai menganalisa permasalahan.

Saat orang-orang Yahudi Bani Quraizhah mengkhinati perjanjian antara mereka dengan kaum muslimin, Rasulullah dan para sahabat menyerang mereka. Mereka berhasil dikalahkan sehingga kaum wanita mereka menjadi tawanan. Raihanah menjadi tawanan Rasulullah.

Mulanya Raihanah menolak memeluk Islam. Ia masih fanatik dengan agama Yahudinya. Keadaan ini membuat Rasulullah tidak nyaman. Saat Nabi tengah bersama sahabat-sahabatnya, ia mendengar derap langkah mendekatinya, ternyata Tsa’labah bin Sa’yah mengabarkan tentang keislaman Raihanah. Rasulullah bergembira dan memberi kegembiraan padanya untuk membebaskannya, menikahinya, dan mengenakan hijab untuknya. Namun Raihanah berkata, “Wahai Rasulullah, biar saja aku tetap dalam kekuasaanmu (budakmu). Itu lebih ringan bagiku dan juga untukmu.” Nabi pun membiarkan statusnya seperti semula (al-Maqrizi: Imta’ al-Asma’ Cet. Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah Beirut 6/131).

Dalam versi lain disebutkan:

Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di tengah sahabatnya, beliau mendengar derap langkah. Beliau berkata, “Ini suara derap langkah sandalnya Ibnu Sa’yah. Ia hendak memberi kabar gembira padaku dengan keislaman Raihanah.” Ibnu Sa’yah datang dan berkata, “Wahai Rasulullah, Raihanah telah memeluk Islam. Bergembiralah dengan kabar ini.” Nabi mengirim Raihanah ke rumah Salma binti Qays (Ummul Mundzir). Ia tinggal di sana sampai mengalami haid dan suci dari haid tersebut.

Ummul Mundzir datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengabarkan bahwa Raihanah telah suci. Nabi datang ke rumahnya. Kemudian berkata pada Raihanah,

إِنْ أَحْبَبْتِ أَنْ أُعْتِقَكِ، وَأَتَزَوَّجَكِ فَعَلْتُ، وَإِنْ أَحْبَبْتِ أَنْ تَكُونِي فِي مِلْكِي أَطَؤُكِ بِالْمِلْكِ فَعَلْتُ

“Kalau kau mau, aku akan memerdekakanmu. Kemudian menikahimu dan telah kulakukan. Tapi, jika kau lebih suka menjadi kepemilikanku akan aku turuti. Dan telah kulakukan.”

Raihanah menjawab,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ أَخَفُّ عَلَيْكَ وَعَلَيَّ أَنْ أَكُونَ فِي مِلْكِكَ

“Wahai Rasulullah, sungguh lebih ringan untuk Anda dan untukku kalau aku berada di bawah kepemilikanmu.”

Hubungan Raihanah dengan Rasulullah terus berlangsung demikian sampai ia wafat (Ibnu Katsir: as-Sirah an-Nabawiyah, 4/604).

Apakah Raihanah Seorang Ummul Mukminin?

Para ulama berbeda pendapat apakah Raihanah termasuk istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah budak beliau. Mereka yang berpendapat bahwa Raihanah radhiallahu ‘anha adalah budak beliau berargumen dengan riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa Raihanah sendiri yang lebih memilih untuk menjadi budak beliau dibanding istri beliau.

Demikian juga diriwayatkan dari Ibnu Sirin (seoran tabi’in) bahwa ada seseorang menemui Raihanah radhiallahu ‘anha. Orang tersebut berkata, “Sesungguhnya Allah tidak menghendakimu sebagai ibu dari orang-orang yang beriman.” Raihanah menjawab, “(dengan demikian) engkau tidak Allah kehendaki menjadi anakku.”

Jawaban Raihanah ini menunjukkan bahwa ia bukanlah istri nabi (Ahmad Khalil Jum’ah: Nisa Ahlul Baits, Cet. Darul Yamamah Beirut, Hal: 453).

Di antara sejarawan yang berpendapat bahwa Raihanah adalah istri Nabi adalah al-Waqidi. Ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakan Raihanah binti Zaid bin Amr bin Khunafah. Dan saat itu ia telah menikah. Suaminya mencintai dan memuliakannya. Ia berkata, ‘Aku tidak akan minta dijaga (bersuamikan) siapapun setelahnya’. Ia adalah seorang wanita yang cantik. Tatkala ia menjadi tawanan dari Bani Quraizah, ia dihadapkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Aku termasuk di antara orang yang dihadapkan padanya. Ia memerintahkan agar aku dipisah. Ia memiliki bagian dari setiap rampasan perang. Saat aku dipisah, Allah membuatku tunduk. Aku ditempakan di rumah Ummul Mundzir binti Qais selama beberapa hari. Sampai eksekusi kepada pasukan Bani Quraizhah usai dan tawanan dipisahkan. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemuiku. Aku merasa sangat malu. Beliau mendakwahiku dan mendudukkanku di hadapannya. Beliau bersabda,

إِنِ اخْتَرْتِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ اخْتَارَكِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ

‘Jika kau memilih Allah dan Rasul-Nya, maka Rasul-Nya pun akan memilihmu untuk dirinya’.

Aku menjawab, ‘Sesungguhnya aku memilih Allah dan Rasul-Nya’.

Saat aku telah memeluk Islam, Rasulullah membebaskanku dan menikahiku. Ia memberi mahar senilai sepuluh uqiyah (1 uqiyah =119 gr) dan gandum. Sebagaimana ia memberi mahar istri-istrinya yang lain. Pesta pernikahan digelar di rumah Ummul Mundzir. Ia membagi hari-harinya sebagaimana yang ia lakukan untuk istri-istri yang lain. Kemudian mengenakan hijab untukku.”

Al-Waqidi mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaguminya. Tidaklah ia meminta sesuatu pasti diberi. Ada yang berkata pada Raihanah, ‘Kalau saja kau meminta kepada Rasulullah untuk membebaskan Bani Quraizhah, pasti beliau akan membebaskan mereka’. Ia menjawab, ‘Ia belum bersamku sampai semua tawanan dipisah’. Rasulullah senantiasa bersamanya. Dan banyak meluangkan waktu bersamanya. Kebersamaan ini terus berlangsung hingga Raihanah wafat sepulang dari haji wada’. Nabi memakamkannya di Baqi’. Dan waktu pernikahannya dengan Nabi adalah Bulan Muharam tahun 6 H.” (Ibnu Katsir: al-Bidayah wa an-Nihayah, Cet. Dar Hijr Litthaba’ah, 8/235).

Ibnu Saad dalam Tabaqatnya juga sependapat dengan al-Waqidi. Ia berkata, “Inilah yang diriwayatkan pada kami tentang pembebasan dan pernikahannya. Ini riwayat yang valid menurut kami. Dan ini juga pendapat para ulama. Namun aku mendengar terdapat riwayat bahwa ia berada di sisi Rasulullah belum dalam keadaan bebas. Ia berstatus sebagai budak Nabi hingga wafat.” (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, Cet. Dar Shadir Beirut, 8/130).

Pendapat yang kuat adalah Raihanah merupakan budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau tidak menikahinya. Walaupun terdapat perbedaan demikian, hal ini tidak mengurangi kedudukan Raihanah radhiallahu ‘anha. Ia memiliki kedudukan yang agung karena kedekatannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan karena ia merupakan salah seorang wanita di rumah Nabi. Telah ditakdirkan untuknya kebahagiaan dengan kedudukan ini.