Uncategorized

Ilmu Fiqh Imam Syafii


Fiqh dan Ushul Fiqh adalah dua ilmu yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya muncul bersamaan. Namun, Ilmu Fiqh lebih dahulu dikodifikasikan. Jika Ushul Fiqh lebih menitikberatkan pada landasan teoritis yang bersifat umum, maka Fiqh lebih fokus pada tataran praktis. Keduanya juga mempunya kesamaan, yaitu mencari ketentuan hukum syar’i. Para ulama sepakat bahwa Imam Syafi’i peletak disiplin ilmu ini. Mustafa Abdul Raziq (2006: 239) menjuluki Imam Syafi’i sebagai filosof pertama dalam dunia Islam.

Imam Syafi’i

Imam Syafi’i lahir di Asqalan, sebuah desa kecil di Gaza pada 150 H, bertepatan dengan tahun meninggalnya Abu Hanifah. Konon, nasab Imam Syafi’i bertemu Rasulullah Saw. Terlahir dalam keadaan yatim, ibunya tidak mampu membayar guru mengajinya. Akan tetapi, Syafi’i tetap diperkenankan untuk mengikuti pelajaran dari gurunya. Saking miskinnya, dia  rela menuliskan hafalanya pada tulang dan pelepah kurma. Kecerdasannya tampak pada usia 7 tahun ketika dia hafal al-Qur’an. Gurunya ketika itu adalah Syaikh Ismail bin Qostantin. Memasuki usia 15 tahun, Syafi’i sudah diperkenankan untuk memberikan fatwa oleh Muslim bin Khalid Zanji. Dia  juga banyak belajar dari para ulama di Makkah dalam berbagai disiplin ilmu.
Perjalanan Syafi’i menuntut ilmu di Madinah disambut baik oleh Imam Malik. Semula, Imam Malik menolak karena usianya yang terlalu dini. Akan tetapi, setelah melihat Syafi’i mampu menguasai al-Muwata dengan sangat baik, sang Imam pun menerimanya. Selama 16 tahun, Syafi’i mengiringi Imam Malik sampai wafatnya. Ilmu yang diambil dari Imam Malik merupakan modal awal bagi Syafi’i dalam ber-istinbat terhadap nash. Setelah mengenyam pendidikan di Madinah, Imam Syafi’i belajar ilmu di Iraq kepada Muhamad bin Husain al-Saibani yang juga murid Abu Hanifah.
Manhaj istimbat Imam Malik di Madinah yang mengandalkan hadits ketimbang akal dan pemikiran Muhamad bin Husain al-Syaibani yang rasionalis adalah tempat strategis Imam Syafi’i dalam menggabungkan dua metode sekaligus. Inilah salah satu keistimewaan Syafi’i di antara empat imam madzhab. Munculnya kitab al-Risalah bermula ketika Abdurahman bin Mahdi  meminta Imam Syafi’i untuk menuliskan kitab yang berisi tentang nasikh mansukh, penerimaan khabar ahad, dan yang berkaitan dengan ilmu al-Qur’an. Imam Syafi’i sendiri tidak pernah menamakan kitab tersebut al-Risalah. Beliau lebih sering mengatakan “kitab”, “kitabku”, dan “kitab kami.” Kitab alRisalah  ditulis Imam Syafi’i selama dua kali, yang pertama kali disusun di Makkah (Risalah Qadimah) atas permintaan Abdurrahman al-Mahdi, salah satu imam ahli hadits di Hijaz, dan Risalah Jadidah yang diperbarui di Mesir. Kitab al-Risalah Jadidah adalah manuskrip terakhir yang sampai ke tangan kita, lataran kitab beliau yang lama telah lenyap dan kemungkinan besar beliau sisipkan materi pembahasanya pada Risalah Jadidah.
Ushul Fiqh Pasca Imam Syafi’i
Setelah Imam Syafi’i meletakkan dasar ilmu Ushul Fiqh, para ulama  yang datang kemudian berusaha menyarah kitab Risalah. Tercatat, Ibnu Sirij, Abu Bakar Muhamad bin Abdullah Soirofi, Abi Walid Hasan bin Muhamad Naisaburi, Ibnu Qaththan, Imam bin Muhamad Ali Qaffal. Setelah itu, muncul dua nama besar yang menurut para ulama sangat mempengaruhi kitab-kitab Ushul Fiqh dalam segi kepenulisan, yaitu Qadhi Baqilani al-Asy’ari dan Qadhi Abdul Jabbar Mu’tazili. Al-Baqilani mempunyai peranan yang sangat besar dalam membangun metodologi Mutakallimin, salah satu contohnya adalah menentang Mu’tazilah dalam memasukkan doktrin ilmu kalam, juga perananya menyelisihi dua metode Syafi’i dan Hanafi yang mengkooptasi ilmu kalam sebagai trandmark­-nya.
Abad ke-5 Ushul Fiqh sempat mulai marak semenjak Imam Haramain al-Juwaini banyak mengambil faedah dari kitab al-Baqilani yang berjudul at-Taqrib wal Irsyâd.  Al-Juwaini sendiri memiliki tiga karya: Al-Waraqât (disyarah Jalal al-Mahali, Talkhis, dan al-Burhân (disyarah oleh al-Mazridalam kitab Fi Kasyfi Idhohil Mahsul min Burhânil Ushûl).
Qadhi Abdul Jabar mempunyai kitab al-Amd yang disyarah oleh muridnya sendiri, Abul Husain al-Basri dan melahirkan karya al-Mu’tamad. Kitab Mu’tamad juga direspon baik oleh Qadhi Abu Ya’la dalam kitabnya, al-’Udah min al-Mu’tamad.  Abu al-Hitab dan Abu al-Wafa’ bin Aqil adalah murid dari Abi Ya’la yang masing masing mengarang kitab al-Tamhid dan al-Wadhi fî Ushûl al-Fiqh. Di antara murid Ibnu Aqil yang cukup produktif adalah Ibnu al-Barhan, pengarang kitab al-Wushul  ilal Ushul yang juga menginspirasi Syaikul Islam Ibnu Taimiyah untuk mengarang kitab al-Musawadah.
Setelah era Imam Juwaini, muncullah nama seperti Imam Ghazali yang sedikit banyak terpengaruh Qadhi Baqilani, Qadhi Abdul Jabar, Abul Husain al-Basri, dan Imam Juwaini dalam karyanya al-Mustasyfâ. Ibnu Khaldun memuji al-Mustasyfâ sebagai kitab terbaik yang pernah ditulis dalam Ushul Fiqh di samping al-Burhân karya Imam Juwaini. Kitab Mustasyfa sendiri diringkas oleh Abu Walid bin Rusyd (595), cucu dari Ibnu Rusyd, dalam kitabnya, Dharuratu fi Ilmi Ushûl dan Ibnu Rashiq (632) dalam Lubâbul Mahsûl fil Ilmi Ushûl. Di samping kedua ulama ini, Ibnu Qudamah mentashihnya dalam Raudhatunnâdhir dan disyarah oleh Soffiyuddin al-Hanbalidalam Qawâ’idul Ushûl wa Maâqidul Fushûl. Syamsuddin Ba’lidan muridnya, Tufi, lebih istimewa lagi karena mampu merangkumnya selama 10 hari dalam matan Ghayatul Itqân. Matan Gayatul Itqân menjadi bahan rujukan Ala’udin Kanani Asqalani dalam Sawadunnâdhir wa Siqâqu Raudatunnâdhir. Tidak ketinggalan Ibnu Badran dan Amin Syanqiti  menyarah karangan Tufi dalam Nujhatu Khatir.
Kitab al-Mustasyfâ karya Ghazali mendapat perhatian besar generasi sesudahnya, seperti Khatib Bagdhadi dalam karyanya, Faqih wal Mutafaqih, meskipun isinya juga banyak mengandung pembahasan hadits, namun kaidah Ushuliyah juga tidak jarang kita jumpai pada kitab ini. Sandaran Bagdadi dalam Faqih wal Mutafaqih adalah al-Risalah karya Syafi’i dan Tabshîrah karya Syairozi yang menjadi cikal bakal munculnya Allumâ’. Selain Khatib Bagdadi, generasi ini juga memunculkan nama seperti Sam’ani dalam kitabnya, Qawâtiul Adilah sebagai tandingan terhadap kitab Taqwimul Adilah milik Abu Zaid Dabusi. Attankihât milik Syahrawardi juga muncul pada generasi ini.
Imam Fakhrurazi dan Saifuddin al-Amidi adalah dua nama besar setelah Ghazali, masing-masing mempunyai karya al-Mahsûl yang karakteristiknya adalah istidlal dan mu’aradah dan hampir mempunyai manhaj yang berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya. Al-Mahsûl membidani kitab milik Tajuddin Armawi, al-Hâsil minal Mahsûl dan at-Tahsil minal Mahsûl karangan Sirajuddin Armawi. Di antara murid Armawi yang mengambil metode gurunya adalah Abdullah Muhamad bin Abad al-Asfahani, Najmuddin Qaswani, dan Tibrizi. Imam Qarafi al-Maliki juga mempunyai  karangan Nafâisul UshûlTankihkul Fushûl fi Ihtisaril Mahsûl. Saifudin al-Amidi mempunyai karya terkenal dalam Ushul Fiqh, di antaranya al-Ihkam fi Usulil Ahkam sebagai telaah dari kitab Mustasyfâ, Mu’tamad, dan Mahsûl.
Setelah Amidi dan Fakhrurazi munculah Ibnu Hajib dengan kitabnya Muntahasûl wal Amal fi Ilmi Ushûl wa Jadal. Imam Baidhawi yang menyarah al-Hasil dan Mukshtasar kemudian melahirkan kitab Minhajul Ushul yang menjadi diktat di berbagai universitas Islam di dunia. Sedangkan yang menyarah kitab Minhaj milik Baidhawi adalah murid Fakhruddin Jaribridi dalam Siraj al-Wadaj.  Imam al-Asnawi dalam Zawâidul Ushûl ‘ala Minhajil Ushûl yang menjadi diktat di fakultas syariah Islam al-Azhar. Tajuddin Subhi menyarah kitab milik Ibnu Hajib yang terbagi dalam dua kitab, Raf’ul Hajib anibni Hajib dan Ibhaj fi Syarhil Minhâj.
Setelah al-Subhi datang Imam Badrudin Zakarsyi dengan bukunya yang sangat kemprehensif terhadap berbagai permasalahan yang berkaitan dengan Ushul Fiqh, muridnyalah sendiri yang melanjutkan estafetnya, yaitu Barmawai dalam kitabnya, Nabdhah Alfiyah Ushûlil Fiqh dan kitabnya yang berjudul Tahrir. Imam Syaukani dari San’a, Yaman, melahirkan karya Irsyâdul Fuhul ila Tahqiqil Haq min Ilmi Ushûl (disyarah oleh Sadiq Hasan Khan yang notabene adalah teman sendiri dalam kitab Ikhtisharil Irsyâdul Fukhul fi Khusûlil Ma’mul.
Demikian sedikit sketsa sejarah munculya ilmu Ushul Fiqh dan kitab-kitab primer aliran Mutakallimin. Karakteristik penulisan metode ini lebih mengedepankan analisa ataupun rumusan-rumusan teoritis tanpa melihat perbedaan maupun persamaan terhadap masalah furu’iyah dan berusaha menghindarkan kefanatikan terhadap madzhab. Juga menjadi catatan bahwa thariqah Mutakallimin mempunyai metodologi kajian induktif terhadap nash. Di antara penganut metode ini Syafi’iyah, Mu’tazilah, dan Malikiyah.
Metode Hanafiyah atau dikenal sebagai metode fuqaha memunculkan nama Isa bin Abandalam karyanya, Istbatul Qiyas, Khabarul Wakhid, Ijtihad ar-Ra’yu, Ishaq Syasi dalam kitab Ushûl Asyâsi, Abu Manshur al-Maturidi dalam kitabnya, Min Akhdi Syara’i fil Ushûl, Abdullah Karakhi dalam kitab Risalah fi Ushûl. Adapun kitab yang paling masyhur di antaranya adalah: Ushul Karakhi karya Abidillah bin khusain al-Kharahi(340), Ushûl al-Jasas karya Abu Bakar Ahmad bin Ali Rozi. Muncul juga kitab Ushûl Bazdawi dan Kanzul Wushul ila Ma’rifatil Ushul karangan Bazdaw. Abi Zaid Abdullah bin umar al-Dabusi mempunyai karangan fenomenal yaitu Taqwîmul Adillah yang sempat mendapat pujian oleh Ibnu Khaldun sebagai kiab terbaik dalam Ushul Fiqh selain mustasyfâ karangan Ghazali.
Pada abad ketujuh banyak sekali dijumpai sistem penulisan menggunakan metodologi akomodatif. Dinamakan akomodatif lataran sistem kepenulisan kitab-kitab ini membahas kaidah-kaidah ushuliyah yang ditopang dengan argumentasi logis, kemudian melakukan studi analisis komparatif. Di antara kitab yang ditulis oleh para ulama ini seperti: Badi’unnidham al-Jami’ baina Ushulûl Bazdawi wal Ahkâm karangan Mudfiruddin bin Ali Aaati, Tankhihul Ushûl karangan Abdullah bin Mas’ud al-Hanafi, Jam’ul Jawami’ karangan Tajuddin bin Subkhi, dan Taqrir wa Tahbir karangan Muhamad Amirul Haj Halbi. Datang generasi setelahnya Muhibudin bin Abdussukur dalam kitab Muslim al-Subut, dan ‘Allamah Abdul Ali bin Nidhamuddin dalam kitabnya Fawatihurrahmah bi Syarhil Muslim ats-Tsubût.

Wacana rekonstruksi Ushul Fiqh adalah tema yang menarik untuk dikaji. Selain usianya sudah 13 abad, terhitung sejak Imam Syafi’i menulis kitab ar-Risalah, Ushul Fiqh sebenarnya banyak telah mengalami perubahan mendasar, seperti metodologi penulisan maupun pembahasan materinya. Urgensi memperbarui ilmu ini memiliki implikasi terhadap konstelasi hukum Islam dan karena Ushul Fiqh adalah ilmu ciptaan manusia yang tidak sakral.
Kredo pembaruan Ushul Fiqh yang diyakini para intelektual Muslim termanifestasikan dalam hadis riwayat Ahmad bin Hanbal yang artinya: “Sesungguhnya Allah akan mengutus setiap 100 tahun  untuk umat ini orang yang akan memperbarui (pemahaman) agamanya.” Para ulama setidaknya mengatakan bahwa mujaddid era pertama dalam Islam adalah Umar bin Khattab, kemudian datang seratus tahun kedua Imam Syafi’i yang diklaim para ulama menduduki posisi tersebut. Pada abad 20 datang mujaddid kenamaan dari Nejd bernama Muhamad bin Abdul Wahab yang terkenal dengan purifikasi dalam bidang tauhid. Perlu diketahui bahwa mujadid yang didatangkan Allah SWT pada seratus tahun sekali tidak hanya terwakili oleh personal saja, melainkan juga bisa berbentuk dalam sebuah lembaga atau organisasi.
Dr. Yusuf Qaradawi mengatakan bahwa ilmu yang muncul dari rahim umat ini sangat memungkinkan untuk direkonstruksi. Kalau ilmu seperti Fiqh, Tasawuf, dan Tafsir bisa diperbarui, kenapa ilmu Ushul Fiqh tidak?
Hal senada juga dikuatkan oleh Dr. Ali Jum’ah Muhamad dalam bukunya, Aliyât al-Ijtihâd, dia mengatakan bahwa alangkah ironisnya bagi orang yang menguasai Ushul Fiqh dan Fiqh secara bersamaan, akan tetapi dia hanya mengetahui teori dan sistem pengajaran dan tidak lebih dari itu. Dia juga mengatakan bahwa Ushul Fiqh harus menjadi problem solvernya umat ini dalam memecahkan persoalan kontemporer. Ulama yang pernah mengkritisi Ushul Fiqh supaya terjadi adanya tinjauan ulang adalah Imam Asnawi.
Geliat ide pembaruan memang marak dilakukan oleh para akademisi dalam bidang ini, salah satunya pembaru Mesir, Refa’at Tahtawi. Meskipun secara umum disematkan pada pembaruan yang bersifat untuk semua cabang ilmu,  namun bukunya yang berjudul al-Qaulu Sadid fi Tajdid wa Taqlid cukup mencengangkan banyak kalangan. Belum ditambah  tuntutan rekonstruksi di kalangan para dosen Universitas Kairo pada awal abad ke-20. Tema yang diusung dalam wacana rekonstruksi memang baru berkisar seputar penulisan ulang sistematika Ushul Fiqh, karena hal ini akan mempermudah siswa dalam pembelajaran Ushul Fiqh.
Lain halnya dengan apa yang dilontarkan Hasan Turabi. Menurutnya, Ushul Fiqh saat ini sudah tidak relevan terhadap perkembangan zaman. Menurut Hasan Turabi, Ushul Fiqh klasik merupakan jawaban terhadap problematika umat yang berkembang pada saat itu. Tokoh yang satu ini termasuk yang sangat gencar dalam menyuarakan tajdid Ushul Fiqh. Baginya, Ushul Fiqh harus lebih akomodatif terhadap permasalahan-permasalahan kontemporer. Mandegnya ruh ijtihad Islam semakin mengernyitkan dahi para orientalis yang berujung pada kesimpulan asumtif bahwa ilmu ini tumbuh dan berkembang sebagai jawaban atas problematika umat terdahulu. Untuk mereonstruksi ilmu Ushul Fiqh demi tercapainya pembaruan Islam haruslah ada suplement ilmu-ilmu sosial Barat yang sejatinya akan merekonstruksi epistemologi Islam dalam Ushul Fiqh.
Wacana tersebut kemudian dibantah oleh Muhamad Said Ramadhan Buthi yang mengatakan Ushul Fiqh dan ilmu-ilmu Islam tidaklah muncul sebagai jawaban atas persoalan-persoalan yang ada pada saat itu, seperti persoalan ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya. Ilmu Ushul Fiqh lahir secara aksiomatik, dan merupakan hasil pemahaman para ulama terhadap nash-nash. Munculah pertanyaan, kalau permasalahan kontemporer tersebut terus berkembang, apakah Ushul Fiqh juga harus menyesuaikan? Ilmu ini, menurut Muhamad Said Ramadhan Buth, sangat sulit untuk direkonstruksi, terutama jika ditinjau dari segi isinya karena landasanya sendiri adalah al-Qur’an dan Sunnah. Merekonstruksi ilmu ini sama saja dengan melakukan tahsilul hasil.
Di antara penyebab maraknya gagasan rekonstruksi Ushul Fiqh, menurut Syeikh Abdul Fadhil Abdu Salam, adalah bahwa ilmu ini terlihat tidak produktif jika dihadapkan dengan persoalan baru karena beberapa faktor: pertama, terputusnya rangkaian kitab mutaakhirin dengan kitab-kitab yang ditulis oleh ulama salaf, sehingga menyebabkan tersebarnya kitab-kitab mereka (mutaakhirin) dan harus memulai pembahasan dari awal. Kedua, menyebarnya taklid buta dan fanatisme dalam permasalahan Ushul Fiqh itu sendiri. Ketiga, tidak adanya perhatian yang nyata terhadap ilmu ini dikarenakan perkataan  ”tertutupnya pintu ijtihad ” dan hal itu menyebabkan kemandulan intelektual dan perasaan yang cepat puas para pengkaji ilmu Ushul Fiqh. Keempat, terbebasnya pembahasan Usul Fiqh dengan Fiqh, dan  masing-masing ushuliyyun berbeda pandangan terhadap para Fuqaha, sehingga tersebarlah pameo “tidak setiap ushuli itu faqih” dan “tidak setiap faqih itu ushuli”, seperti yang terjadi pada Mutakallimin. Kelima, ilmu Ushul Fiqh pada kenyataanya lebih menguasai hal-hal yang bersifat teoritis daripada tataran praktis seperti dalam Fiqh. Hal itu sesungguhnya mengakibatkan ilmu ini mandul dan tidak menghasilkan produk Fiqh, sehingga menjadi beban bagi para pelajar untuk mendalami ilmu ini. Keenam, terjadi banyak sekali pengulangan  materi  dalam Ushul Fiqh sehingga sering kita jumpai pembahasan yang sama dalam mengambil contoh. Ketujuh, kenyataanya ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu tersulit di antara ilmu-ilmu Islam lainnya, hal ini diakui sendiri oleh para pakar dan pengajar Ushul Fiqh. Kedelapan, Ushul Fiqh terlalu bertele-tele dalam membahas permasalahan kalamiyah, juga pembahasan seperti bahasa yang tidak ada keterkaitanya dengan ilmu ini, sehingga semakin menyulitkan orang yang belajar Ushul Fiqh. Kesembilan, lemahnya perhatian terhadap qaidah ushuliyah sehingga sering terjadinya kesalahan dalam menerapkan qaidah ushuliyah dengan qaidah fiqhiyah.
Beberapa contoh di atas adalah sekelumit permasalahan yang juga sering dikeluhkan oleh beberapa ulama kontemporer terhadap Ushul Fiqh klasik.  Namun, sebagian dari mereka ada yang pesimis bahwa Ushul Fiqh dapat direkonstruksi ulang, mengingat kajian Ushul Fiqh klasik justru lebih mendetail dan rinci dalam aspek matan.
Solusi Alternatif Tajdid
Ada beberapa tawaran alternatif untuk mengkaji ulang Ushul Fiqh, di antaranya apa yang ditulis oleh Abdussalam Balaji dan Dr. Ali Jum’ah Muhamad. Pertama, menyusun ulang sistem kepenulisan Ushul Fiqh dengan metode yang lebih simple dan mudah dipahami oleh khalayak umum mengingat ilmu ini salah satu ilmu terbesar yang pernah dilahirkan oleh umat Islam. Cara ini juga pernah dilakukan oleh Dr.Mustofa Syalbi kepada para mahasiswa di berbagai universitas Islam. Selain menyusun ulang sistem kepenulisannya, rekonstrusksi isi materipun perlu ditinjau ulang, seperti membuang perdebatan-perdebatan ahli kalam dan membuat definisi yang mudah dipahami. Unsur lain yang perlu ditambahkan adalah memasukkan ilmu-ilmu baru yang dianggap sangat penting, seperti maqashidsyariahqawaidfuru’ dan takhrij. Kedua, perlunya memasukkan ilmu lain dalam Ushul Fiqh semacam ilmu yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan atau lebih dikenal dengan sosiologi. Ketiga, pembukuan Ushul Fiqh sebaiknya disesuaikan dengan pembukuan kontemporer dan membuang pembahasan yang tidak ada sangkut-pautnya terhadap Ushul Fiqh. Keempat, mengembangkan tema yang ada dalam Ushul Fiqh, seperti ijtihad dan ijma’ dibentuk dalam lembaga yang bersifat formal, penggunaan metodologi Ushul Fiqh dalam ilmu-ilmu sosial, menjadikan maqshid syariah sebagai landasan dalam  berfatwa, dan mengembangkan kembali sumber-sumber hukum yang digunakan seperti( adawat,  manahij dan mashadir) dan membingkainya dalam format yang lebih baik.
Dr. Sya’ban Muhamad Ismail mempunyai beberapa gagasan mengenai rekonstruksi Ushul Fiqh yang secara subtansi hampir sama seperti apa yang diwacanakan Ali Jum’ah dan Abdussalam Balaji. Pertama, tajdid berarti pengembangan dan perluasan terhadap ilmu Ushul Fiqh, serta menyisipkan ilmu yang mendukungnya. Jika menelisik akar geneologinya, Ushul Fiqh sebenarnya telah sampai pada taraf itu. Di samping telah menulis kitab ar-Risalah, Imam Syafi’i juga telah mengarang kitab Jima’ul Ilmi, Ikhtilaful HaditsIbtalul Istihsân, sebagai perpanjangan tangan dari kitab ar-Risalah.
Kedua, bentuk lain dari tajdid adalah purifikasi, mentarjih, dan menyeleksi pembahasan yang menjadi perdebatan di kalangan ulama. Hal ini penting mengingat jarang sekali ulama-ulama khalaf yang kritis terhadap karya para pendahulunya, sehingga  tidak meninggalkan bekas sedikitpun.  Sampai muncullah Imam Syaukani (1255) dalam karyanya, Irsyadul Fuhul fi Tahqiqi Ilmi Wusûul, yang mencoba mengkritisi beberapa kitab kemudian mengatakan, “Jangan sampai ada yang beranggapan bahwa seluruh kaidah ushuliyah itu semuanya qhat’i  yang tidak boleh tersentuh oleh ijtihad manusia. Dia juga menjelaskan mana saja masalah yang tidak boleh adanya khilaf dan yang memungkinkan khilaf.
Sejarah terbentuknya Ushul Fiqh merupakan khazanah intelektual terbesar umat Islam,  mengingat usaha ulama-ulama terdahulu dalam ber-istimbat tidak akan lepas dari pengalaman, penghayatan, dan jerih payah terhadap kitab-kitab klasik mereka. Sikap kita terhadap turas harus berada pada koridor yang benar dan adil. Kita mengapresiasikan karya-karya ulama masa lalu, namun tetap kritis terhadap apa yang mereka bangun, karena semua perkataan boleh diambil dan boleh ditinggalkan kecuali Rasulullah saw. Pengetahuan dan pembacaan sejarah yang baik tentu akan mengantarkan pada pemahaman yang baik pula. Mengutip perkataan Rajib Sarjani, “sejarah Islam adalah mutiara terpendam yang harus dikeluarkan oleh umat ini.
Uncategorized

Undangan Ahlul Bidah

Asy Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah
.
Pertanyaan :
.
Telah datang di dalam hadits : “Barangsiapa yang mengundangmu maka datangilah”, apabila yang mengundang dari ahlul bid’ah apakah didatangi undangannya?
.
Jawab :
.
Tidak boleh datang ke undangannya apabila (yang mengundang) dari kalangan ahlul bid’ah, atau di acara undangan tersebut ada kebid’ahan atau perkara yang munkar
.
Adapun jika dia pergi (mendatanginya) dan memperingatkan dari kebid’ahannya atau mencegah dari bid’ahnya, maka ini boleh dilakukan. Adapun dia pergi (menghadiri undangan) dan makan (tanpa melakukan pengingkaran) dan seakan-akan (di situ) tidak terjadi sesuatupun (kebid’ahan atau kemungkaran), maka ini adalah (perbuatan yang) tidak lurus (benar).”
.
 [Syarh Sunan Abi Dawud (580)]
.
حكم إجابة دعوة المبتدع ؟
.
الشيخ عبدالمحسن العباد – حفظه الله – : .
.
السؤال :
جاء في الحديث : « ومن دعاكم فأجيبوه » فإذا كان الدعي من أهل البدع فهل يجاب إلى دعوته ؟
.
الجواب :
لا يجاب إلى دعوته إذا كان من أهل البدع، أو يكون في تلك الدعوة بدعة أو فيها أمر منكر، أما إذا كان سيذهب ويحذر من البدعة أو ينهى عن البدعة فهذا سائغ، أما كونه يذهب ويأكل وكأنه لم يحصل شيء فهذا غير مستقيم
.
 [شرح سنن أبي داود (580)]
.
.
Uncategorized

Seandainya

Ibnu Masud radhiyallahu anhu berkata : Sungguh aku menggigit bara api hingga dingin lebih aku sukai daripada aku berkata kepada suatu perkara yang telah ditetapkan oleh Allah : Seandainya tidak terjadi
(Az-Zuhd, Abu Dawud hal 128)
.
Dalam hadits : Sesungguhnnya perkataan seandainya membuka amalan syaitan
.
Diantara amalan syaitan :  Menjadikan pengucapnya sekaan-akan protes terhadap keputusan dan takdir Allah, karena ucapan seandainya sering diucapkan tatkala terjadi apa yang tidak disukai  Menjadikan pengucapnya hanya berangan-angan sesuatu yang mustahil, kata pepatah : Air susu ibu yang sudah dikeluarkan tidak bisa dimasukan kembali. Dan syaitan suka seseorang mengangan-angankan sesuatu yang mustahil sehingga terlalaikan dari cita-cita yang mungkin diraih. Mengembalikan masa lalu adalah perkara yang mustahil  Menjadikan pengucapnya bersedih, dan diantara tujuan syaitan adalah menjadikan seorang mukmin bersedih agar ia futur dan terabaikan dari aktifitas-aktifitasnya yang bermanfaat, atau agar ia tidak bersemangat dalam beraktifitas.
.
Yang seharusnya diucapkan seorang mukmin tatkala mengalami sesuatu yang dibenci adalah Qoddarollahu wa maa syaa-a faala. (ini sudah taqdir Allah, dan Allah melakukan apa yang dikehendakiNya
.
Yang berlalu biarlah berlalu, jadikan sebagai pelajaran untuk memperbaiki yang ada dihadapan kita.
.
.
Uncategorized

Merasa Baik Akhirnya Sulit Diperbaiki

“Seseorang itu kalau sudah merasa ‘baik’… SULIT DIPERBAIKI”
.
Sungguh perkataan singkat yang amat menusuk dan amat dalam maknanya…
.
[1] Awal mula tertimpanya keburukan bagi seseorang, apabila dia merasa dirinya sebagai ‘orang baik’

.
Perkataan beliau ini mengingatkan kita tentang nasehat dari Ummul Mu`miniin ‘Aa`isyah radhiyallaahu ‘anha ketika beliau ditanya:
.
مَتَى يَكُوْنُ الرَّجُلُ مُسِيْأً
.
Kapan seseorang itu dikatakan buruk?
.
Beliau menjawab:
.
إِذَا ظَنَّ أَنَّهُ مُحْسِنٌ
.
Ketika dia menyangka dirinya seorang yang baik.
.
(At-Taisiir bisyarh Al-Jaami’ as-Shoghiir 2/606; kutip dari web ust. firanda)
.
Benarlah perkataan beliau, awal mula keterperosokan seseorang dalam keburukan, ketika dia menilai dirinya sebagai seorang yang baik. Maka dia pun akan mulai merendahkan orang lain. Maka dia pun merasa serba-berkecukupan, sehingga menghalangi dirinya untuk terus memperbaiki segala keburukannya, kesalahannya, kekeliruannya, serta kekurangan-kekurangannya dalam penunaian kebaikan.
.
[2] Demikian pula, Seseorang itu sulit mendapatkan ilmu, ketika sudah merasa berilmu.
.
Fudhayl bin ‘Iyyaadh ditanyakan tentang tawadhu’, maka beliau menjawab:
.
أَنْ تَخْضَعَ لِلْحَقِّ وَتَنْقَادَ لَهُ وَلَوْ سَمِعْتَهُ مِنْ صَبِيٍّ قَبِلْتَهُ مِنْهُ، وَلَوْ سَمِعْتَهُ مِنْ أَجْهَلِ النَّاسِ قَبِلْتَهُ مِنْهُ
.
Engkau tunduk dan patuh pada kebenaran, meskipun engkau mendengarnya dari seorang anak kecil; (ketika engkau mendapati ia menyampaikan kebenaran), maka engkau menerima kebenaran tersebut darinya. Meskipun engkau mendengarnya dari manusia yang paling bodoh; (ketika engkau mendapati ia menyampaikan kebenaran), maka engkau menerima kebenaran tersebut darinya.
.
Uncategorized

Menyelamatkan Manusia Dari Kesesatan


.
Tidak ada yang mendorong kita untuk membantah hizbiyah, mendakwahkan manhaj Salaf, mengajak untuk mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi was sallam, selain untuk mengajak manusia kepada kebaikan. Kita ingin menyelamatkan saudara-saudara kita dan kita juga ingin meraih pahala untuk diri kita ketika kita mendakwahi mereka.Nabi shallallahu alaihi was sallam bersabda:
.
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
.
“Siapa saja yang mengajak kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala semisal pahala siapa saja yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Sebaliknya siapa saja yang mengajak kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa semisal dosa-dosa siapa saja yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun.” (Shahih Muslim no. 2674)
.
Jadi tujuan kita dari semua itu bukanlah karena kedengkian kepada seseorang atau marah kepadanya karena dunia. Bukan itu, demi Allah yang tidak ada yang berhak untuk disembah dengan benar kecuali Dia. Kita tidak menginginkan hal semacam ini, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui bahwa merupakan kedustaan dan penyesatan ketika mereka menuduh Salafiyun dengan tuduhan semacam ini. Saya tidak mengatakan tentang diri saya saja, walaupun saya yakin dari dalam hati saya, tetapi saya mengetahui saudara-saudaraku Salafiyun bahwa tidak ada yang mendorong mereka untuk melakukan ini semua kecuali mengatakan kebenaran dan mendakwahkan kebenaran. Dan orang yang mengatakan tuduhan semacam ini maka dia tidak pantas untuk belajar kepadanya walaupun dia memiliki ilmu, kecuali dia bertaubat kepada Allah. Ketika dikabarkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal bahwa Ibnu Abi Qutailah di Mekkah mengatakan bahwa Ahli Hadits adalah kaum yang buruk, maka beliau mengatakan: “Dia zindiq, zindiq, zindiq.” Dan beliau mengibaskan pakaiannya
.
.
Uncategorized

Mantra Kreatif Ahli Kubur

.
Quburiyyun itu bener2 super kreatif, mereka launching do’a (alias mantra) yg isinya mengajarkan kesyirikan. Laa hawlaa walaa quwwata illaa billaah
.
.
‘Doa Fulus’ (dalam teks kitab quburiyyun)
.
.
.*Yaa robbana yaa quddus*
*Sahhil lanaa bil fulus*
*Kertas ijo yang alus-alus*
*Bibarkati habib husein al aydrus*
.
.
Allahul musta’an
.
Jelas ini suatu kesyirikan yang nyata
.
Ketahuilah, Allah Tidak Butuh Perantara, Karena Itu Adalah Syirik !!
.
.
Tidak ada kuburan keramat yg dapat mengqabulkan hajat, karena itu adalah perbuatan SYIRIK !!
.
.
Dalam berdoa kepada Allah, kita tidak perlu melalui perantara, karena hal itu termasuk perbuatan syirik. Allah Ta’ala berfirman yg artinya, “Dan mereka (kaum musyrikin) beribadah kepada selain Allah sesuatu yang tidak sanggup mendatangkan mudharat dan manfaat untuk mereka. Dan mereka beralasan, ‘Mereka itu adalah pemberi syafaat bagi kami di sisi Allah’” (QS. Yunus : 18).
.
AllahTa’ala juga berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai penolong mengatakan, ‘Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka, melainkan hanya supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’ ” (QS. Az-Zumar : 3)
.
Dalam dua ayat ini Allah menjelaskan kepada kita tentang alasan yg diajukan oleh kaum musyrikin untuk mendukung kesyirikan mereka. Mereka berkata bahwa mereka memiliki niat yg baik. Mereka hanya ingin menjadikan orang-orang shalih yg sudah meninggal sebagai perantara doa mereka kepada Allah. Mereka menganggap bahwa diri mereka penuh dengan dosa, sehingga tidak pantas untuk langsung berdoa kepada Allah. Sedangkan orang2 shalih memiliki keutamaan di sisi Allah. Mereka ingin agar semakin dekat dengan Allah dengan perantaraan orang2 shalih itu, ini adalah suatu kesalahan besar karena ini adalah suatu perbuatan syirik
.
Tidak ada yang mencela niat baik ini. Akan tetapi, lihatlah cara yg mereka tempuh. Mereka menjadikan kuburan sebagai perantara doa doa mereka. Ini adalah PERBUATAN SYIRIK !!
.
.
Allahu yahdik
.
.
Uncategorized

Mari Istighfar

Istighfar

Bismillaah…
Siapa sih di dunia ini yg gak pernah berbuat salah?
Dengan taubat, Allah menghapuskan segala dosa…
.
“Katakanlah : ” Wahai hamba-hamba-Ku yg melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah”. (QS. AZ Zumar : 53)
.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Seluruh anak Adam berdosa, dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat” (HR Ibnu Majah)
.
Dalam hadits qudsi, Allah berfirman :
.
“Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian berdosa siang dan malam, dan Aku maha mengampuni dosa, maka mintalah ampunan kepadaKu niscaya Aku akan mengampuni kalian” (HR Muslim)
.
#
Uncategorized

Jangan Asal Ibadah, Harus Ada Dalilnya

Hukum Asal Ibadah, Haram Sampai Ada Dalil
.
Sebagian kalangan mengemukakan alasan ketika suatu ibadah yang tidak ada dalilnya disanggah dengan celotehan, “Kan asalnya boleh kita beribadah, kenapa dilarang?” Sebenarnya orang yang mengemukakan semacam ini tidak paham akan kaedah yang digariskan oleh para ulama bahwa hukum asal suatu amalan ibadah adalah haram sampai adanya dalil. Berbeda dengan perkara duniawi (seperti HP, FB, internet), maka hukum asalnya itu boleh sampai ada dalil yang mengharamkan. Jadi, kedua kaedah ini tidak boleh dicampuradukkan. Sehingga bagi yang membuat suatu amalan tanpa tuntunan, bisa kita tanyakan, “Mana dalil yang memerintahkan?”
.
Ada kaedah fikih yang cukup ma’ruf di kalangan para ulama,
.
الأصل في العبادات التحريم
.
“Hukum asal ibadah adalah haram (sampai adanya dalil).”
.
Guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri –semoga Allah menjaga dan memberkahi umur beliau- berkata, “(Dengan kaedah di atas) tidak boleh seseorang beribadah kepada Allah dengan suatu ibadah kecuali jika ada dalil dari syari’at yang menunjukkan ibadah tersebut diperintahkan. Sehingga tidak boleh bagi kita membuat-buat suatu ibadah baru dengan maksud beribadah pada Allah dengannya. Bisa jadi ibadah yang direka-reka itu murni baru atau sudah ada tetapi dibuatlah tata cara yang baru yang tidak dituntunkan dalam Islam, atau bisa jadi ibadah tersebut dikhususkan pada waktu dan tempat tertentu. Ini semua tidak dituntunkan dan diharamkan.” (Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah fil Qowa’idil Fiqhiyyah, hal. 90).
.
Uncategorized

5 Hal Berfaedah

5 Hal Yang Bermanfaat
Lakukanlah lima hal sebelum terwujud lima hal yang lain.
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara :
[1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,
[2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,
[3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,
[4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,
[5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.”
(HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir)
.
Al Munawi mengatakan, “Lima hal ini (waktu muda, masa sehat masa luang, masa kaya dan waktu ketika hidup) barulah seseorang betul-betul mengetahui nilainya setelah kelima hal tersebut hilang.” (At Taisir Bi Syarh Al Jami’ Ash Shogir, 1/356)
_____
Uncategorized

Celana Cingkrang Dihujat

Pernah ada yang bertanya begini *
.
Apa hubungannya celana cingkrang sama masuk neraka?orang masuk surga itu karna amal ibadahnya kaliii…. bukan karna celana cingkrang  *
.
Ada juga yang pernah komentar begini
.
Kok aneh si masa baca yasin dikuburan aja ga boleh?kan isinya ayat ayat Alquran.alquran kan isinya baik toh. *
.
Atau komentar2 lainnya yang banyak bertanya dan mendebat dalil dalil dr Alquran dan As sunnah.
.
Maka setinggi apapun gelar anda,seluas apapun pemikiran anda,secerdas apapun anda, maka tidak akan mungkin bisa melebihi apa apa yang sudah Allah dan rasulNya sampaikan.
.
Ketika sudah ada dalil sohih maka sudah sepantasnya kita ikuti.Iya….Memang benar surga dan Neraka adalah haq Allah azza wa jala.tapi sungguh sombongnya apabila kita berharap surga dan syafaat dr rasulullah ,tapi masih mempertanyakan kenapa dan kenapa..kalau menurut kita ga nyambung gamau ngerjain ah…kl menurut logika kita bener baru deh mau ngerjain … *
.
Bayangkan.. apa jadinya islam kalau semua pakai logika masing masing? Ada yg enggan berhijab dgn alasan yang penting kan hatinya. Ada yg gamau sholat dgn alasan yg penting inget Allah aja dan berbuat baik.Ada juga yg mungkin akan berzina dgn alasan yang penting masih tetep sholat.
Kalaulah islam itu pakai logika,untuk apa Rasulullah diutus? Semua akan pakai logika masing2 dgn niat yg penting baik aja… *
.
Ibadah suka suka gw aja lah kan yang penting baik. *
.
Kalaulah islam itu agama logika,maka saat batal wudhu wktu buang gas mengapa kita disuruh mengulangi wudhu?mengapa tdk membasuh maaf (dub*r )saja.?
Karna dalilnya kita disuruh Berwudhu ulang ..bukan membasuh dub*r
.
Inilah logika kita kalau kita selalu menomorsatukan logika kita dalam ibadah..Tapi nyatanya tidak bs..karna islam adalah agama dalil.islam adalah agama wahyu. bukan agama logika.
.
Maka sudah seharusnya kita campakkan kecerdasan kita ,apabila sudah berhadapan dgn perkataan Allah dan rasulNya.