Uncategorized

Kisah Kematian Tragis Utsman Bin Affan

Abu Hurairah menangis mengingat wafatnya Utsman bin ‘Affan. Terbayang di hadapannya apa yang diperbuat bughat terhadap khalifah. Sebuah tragedi tercatat dalam lembaran tarikh Islam; menorehkan peristiwa kelabu atas umat ummiyah.
Dengan keji, pembunuh-pembunuh itu menumpahkan darah. Tangan menantu Rasulullah n ditebas, padahal jari-jemari itulah yang dahulu dipercaya Rasul n mencatat wahyu Allah. Darah pun mengalir membasahi Thaybah.
Dengan penuh cinta dan ridha kepada Allah, Amirul Mukminin mengembuskan nafas terakhir, meraih syahadah dengan membawa hujjah dan kemenangan yang nyata.
Ya Allah, tanamkan cinta dan ridha di hati kami pada sahabat-sahabat Nabi-Mu. Selamatkan hati kami dari kedengkian kepada mereka. Selamatkan pula lisan kami dari cercaan kepada mereka sebagaimana Engkau telah selamatkan tangan kami dari darah-darah mereka.


Utsman bin ‘Affan, sahabat yang mulia
Beliau adalah ‘Utsman bin Affan bin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdisy-Syams bin Abdi Manaf. Pada kakeknya, Abdu Manaf, nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah.
Lahir enam tahun setelah tahun gajah. Beriman melalui tangan Abu Bakr Ash-Shiddiq –Abdullah bin Abi Quhafah–, dan termasuk as-sabiqunal awwalun.
Tampan wajahnya, lembut kulitnya, dan lebat jenggotnya. Sosok sahabat mulia ini sangat pemalu hingga malaikat pun malu kepadanya. Demikian Rasulullah menyanjung:
“Tidakkah sepatutnya aku malu kepada seorang (yakni Utsman) yang para malaikat malu kepadanya?”
Mudah menangis kala mengingat akhirat. Jiwanya khusyu’ dan penuh tawadhu’ di hadapan Allah Rabbul ‘alamin.
Beliau adalah menantu Rasulullah yang sangat dikasihi. Memperoleh kemuliaan dengan menikahi dua putri Nabi, Ruqayyah kemudian Ummu Kultsum hingga mendapat julukan Dzunurain(pemilik dua cahaya). Bahkan Rasulullah bersabda: “Seandainya aku masih memiliki putri yang lain sungguh akan kunikahkan dia dengan Utsman.”
Utsman bin ‘Affan adalah figur sahabat yang memiliki kedermawanan luar biasa. Sebelum datangnya risalah Nabi Muhammad, beliau telah menekuni perdagangan hingga memiliki kekayaan. Setelah cahaya Islam terpancar di muka bumi, harta tersebut beliau infakkan untuk menegakkan kalimat Allah.

Sumur Ar-Rumah
Tahukah Anda, apa itu sumur Ar-Rumah? Sumber air Madinah yang beliau beli dengan harga sangat mahal sebagai wakaf untuk muslimin di saat mereka kehausan dan membutuhkan tetes-tetes air. Rasulullah menawarkan jannah bagi siapa yang membelinya. Utsman pun bersegera meraih janji itu. Demi Allah! Beliau telah meraih jannah yang dijanjikan.
Sosok yang mulia ini, tidak pernah berat untuk berinfak di jalan Allah, berapapun besarnya harta yang diinfakkan. Beliau keluarkan seribu dinar (emas) guna menyiapkan Jaisyul ‘Usrah, pasukan perang ke Tabuk, yang berjumlah tidak kurang dari 30.000 pasukan. Seraya membolak-balikan emas yang Utsman infakkan, Rasulullah bersabda:
“Tidaklah membahayakan bagi Utsman apapun yang dia lakukan sesudah hari ini.” (Karena sesungguhnya dia telah diampuni)
Allahu Akbar! Betapa indah sabda Rasulullah mengiringi pengorbanan Utsman bin Affan. Allah l terima infak itu, Allah l pelihara dengan tangan kanan-Nya yang mulia dan Dia lipat gandakan pahala untuknya.
Di antara keutamaan ‘Utsman bin ‘Affan, Allah jamin jannah atasnya bersama sembilan orang lainnya. Rasulullah bersabda:
“… Dan ‘Utsman di jannah….” (Al-Hadits)
Sebagian kecil keutamaan di atas cukup sebagai dalil yang muhkam –pasti– atas keutamaan Utsman bin ‘Affan. Di atas keyakinan inilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah beragama.

Fitnah itu akan terjadi
Wafatnya Umar bin Al-Khaththab adalah awal kemunculan fitnah. Umar adalah pintu yang menutup fitnah. Begitu pintu dipatahkan, gelombang fitnah akan terus menimpa umat ini, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Hudzaifah bin Al-Yaman dalam Shahihain.
Pernahkah terbayang bahwa Utsman akan dibunuh dalam keadaan terzalimi? Mungkin kita tidak membayangkannya. Tetapi demi Allah, Utsman bin Affan telah mengetahui dirinya akan terbunuh, dengan kabar yang diperolehnya dari kekasih Allah, Nabi Muhammad.
Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, beliau berkata:
“Rasulullah pernah menyebutkan sebuah fitnah, lalu lewatlah seseorang. Beliau bersabda: “Pada fitnah itu, orang yang bertutup kepala ini akan terbunuh.” Berkata Ibnu ‘Umar:” Akupun melihat (orang itu), ternyata ia adalah ‘Utsman bin ‘Affan.”
Segala yang terjadi di muka bumi ini telah Allah tetapkan dan catat dalam Lauhul Mahfuzh. Sebagian dari takdir, Allah beritahukan kepada Rasul-Nya, termasuk berita terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan dalam keadaan syahid. Utsman menunggu saat-saat itu dengan penuh ridha dan keyakinan.
Rasulullah mengiringi berita tersebut dengan wasiat tentang apa yang harus dilakukan saat fitnah menerpa, sebagaimana akan kita lalui bersama sebagian riwayat tersebut. Maka berjalanlah Utsman dalam menghadapi fitnah tersebut dengan memegang teguh wasiat Rasulullah.

Abdullah bin Saba’ di balik wafatnya Utsman bin Affan
Abdullah bin Saba’ atau Ibnu As-Sauda’ adalah seorang Yahudi yang menampakkan keislaman di masa ‘Utsman bin ‘Affan. Dia muncul di tengah-tengah muslimin dengan membawa makar yang sangat membahayakan, menebar bara fitnah untuk memecah-belah barisan kaum muslimin.
Tidak mudah memang bagi Ibnu Saba’ menyalakan api di tengah kejayaan Islam, di tengah kekuasaan Islam yang telah meluas ke seluruh penjuru timur dan barat, di saat muslimin memiliki kewibawaan di mata musuh-musuhnya kala itu. Namun setan tak pernah henti mengajak manusia menuju jalan-jalan kesesatan, sebagaimana Iblis telah berkata di hadapan Allah:
Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (Al-A’raf: 16-17)
Ibnu Saba’ memulai makarnya bersama para pendukungnya dengan menanamkan kebencian pada khalifah ‘Utsman bin Affan di tengah kaum yang dungu lagi bodoh. Tujuannya pasti: Memudarkan kemulian-kemuliaan ‘Utsman bin Affan di hadapan manusia dan menjatuhkan kewibawaan khalifah.
Kenapa orang-orang bodoh yang dituju? Karena mereka itulah kaum yang tidak mengerti siapa Utsman. Mereka pula kelompok yang mudah disetir hawa nafsunya. Demikianlah gaya dan model pemberontak. Sebelum menggulingkan penguasa, mereka sebarkan kejelekan di tengah orang-orang bodoh, membuat arus bawah yang sukar untuk dibendung.
Kaki Ibnu Sauda’ yang penuh kebengisan dan kedengkian pada syariat Allah menjelajah negeri. Fitnahnya dia mulai dari Hijaz; Makkah, Madinah, Thaif, lalu Bashrah, lalu Kufah. Kemudian masuklah ia ke wilayah Damaskus (Syam). Usaha demi usaha dia tempuh di sana, namun impian belum mampu ia wujudkan. Dia tidak kuasa menyalakan api kebencian terhadap khalifah ‘Utsman di tengah-tengah kaum muslimin di negeri-negeri tersebut, hingga penduduk Syam mengusirnya.
Dengan segala kebusukan, pergilah Ibnu Saba’ ke Mesir. Di sanalah dia dapatkan tempat berdiam. Di tempat baru inilah dia dapatkan lahan subur untuk membangun makar besarnya, menggulingkan khalifah Utsman dan merusak agama Islam.
Mulai Ibnu Saba’ leluasa menghubungi munafiqin dan orang-orang yang berpenyakit, hingga terkumpul massa dari penduduk Mesir dan Irak guna membantu makarnya. Bersama pembantu-pembantunya, dia sebarkan keyakinan-keyakinan menyimpang serta tuduhan-tuduhan dusta atas khalifah di tengah-tengah kaum yang bodoh lagi menyimpan kemunafikan. Hingga suatu saat nanti, terwujudlah cita-citanya: menumpahkan darah khalifah dan memecah-belah barisan muslimin.

Syubhat-syubhat Ibnu Saba’ untuk menjatuhkan kehormatan Utsman bin Affan
Mereka yang mengetahui kemuliaan Utsman dari sabda Rasulullah tidak akan terpengaruh hasutan Ibnu Saba’, sehingga tidaklah mengherankan kalau dia tidak berhasil melakukan makarnya di tengah-tengah ahli Madinah atau Makkah. Berbeda keadaannya di Mesir, ia berhasil menebar syubhat-syubhat berisi celaan kepada Utsman bin ‘Affan, yang seandainya diketahui hakikatnya justru merupakan keutamaan dan pujian atas Utsman bin Affan. Namun ketika gelombang fitnah telah menggulung dan sabda Rasulullah tidak lagi dihiraukan, banyak di antara juhhal (orang-orang bodoh) berjatuhan menjadi korban.
Pada kesempatan yang sangat terbatas ini, kita cukupkan dua syubhat beserta jawabannya sebagai gambaran atas kebodohan dan jauhnya kaum pemberontak dari ilmu.
Syubhat pertama: ‘Utsman tidak mengikuti perang Badr. Ini merupakan aib (cela) bagi Utsman, maka tidak pantas ia menjadi khalifah.
Utsman bin Affan memang tidak mengikuti perang Badr, Ramadhan 2 H. Akan tetapi tidak ikutnya beliau dalam perang Badr bukanlah aib sebagaimana sahabat-sahabat lain yang tidak mengikutinya juga tidak mendapat celaan. Karena pada perang Badr Rasulullah tidak mengharuskan sahabat untuk menyertai beliau. Terlebih lagi jika kita mengetahui sebab tidak ikutnya Utsman dalam perang Badr.
Dalam perang Badr, Rasulullah memerintahkan Utsman untuk tetap di rumah merawat istrinya, Ruqayyah, yang merupakan putri Rasulullah. Maka jawablah dengan jujur: “Pantaskah seorang yang melaksanakan perintah Rasul kemudian dicela dengan sebab itu?”
Bahkan sebaliknya, dengan melaksanakan perintah Rasul beliau mendapat keutamaan taat di samping beliau juga mendapatkan keutamaan ahlu Badr dan pahala mereka. Oleh karena itu, Rasulullah mengikutsertakan Utsman dalam ghanimah Badr.
Suatu saat, seorang Khawarij bertanya kepada Abdullah bin ‘Umar di Masjidil Haram: “Wahai Ibnu ‘Umar, apakah ‘Utsman mengikuti perang Badr?” Ibnu ‘Umar menjawab: “Tidak.” Maka dengan girangnya dia berseru: “Allahu Akbar!” –seolah-olah dia dapatkan kebenaran celaan atas Utsman bin ‘Affan–. Dengan segera Ibnu ‘Umar berkata kepadanya: “Adapun ketidakhadiran Utsman dalam perang Badr karena putri Rasulullah –istrinya– sakit, (Rasul perintahkan untuk merawatnya) dan beliau bersabda:
“Sesungguhnya bagimu pahala mereka yang mengikuti perang Badr dan bagimu pula bagian ghanimah.”
Atas dasar ini, ulama tarikh seperti Az-Zuhri, ‘Urwah bin Az-Zubair, Musa bin ‘Uqbah, Ibnu Ishaq, dan lainnya memasukkan Utsman bin Affan dalam barisan ahlu Badr (orang-orang yang mengikuti perang Badr).
Syubhat kedua: Utsman membuat ladang khusus untuk unta-unta sedekah. Ladang tersebut terlarang untuk selain unta sedekah. Kaum Khawarij menuduh perbuatan ini sebagai kezaliman, kebid’ahan, dan kedustaan atas nama Allah.
Ketika ahlu Mesir –para pemberontak– mendatangi Utsman bin Affan mereka berkata: “Bukalah surat Yunus dan bacalah.” Lalu mereka hentikan bacaan Utsman ketika sampai pada ayat:
Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.” Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (Yunus: 59)
Mereka berkata: “Berhenti kamu! Lihatlah apa yang telah kau perbuat. Engkau membuat tanah terlarang yang dibatasi. Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah l? ”
Utsman menjawab: “Bukan dalam masalah tersebut ayat ini diturunkan! Sungguh Umar bin Al-Khaththab telah melakukannya sebelumku, membatasi tanah khusus untuk unta-unta zakat, lalu aku menambahnya karena unta sedekah semakin bertambah banyak.”
Bantahan Utsman ibarat batu yang dilemparkan ke dalam mulut-mulut pemberontak. Mereka tidak mampu membalas jawaban Utsman karena ternyata beliau tidak melakukan kebid’ahan. Bahkan hal itu telah dilakukan Nabi dan Umar bin Al-Khaththab sebelumnya, yang semua itu tidak lain untuk kepentingan kaum muslimin, menjaga unta-unta zakat.

Ahlu Mesir dan Irak terprovokasi untuk memberontak Khalifah
Massa yang besar dari penduduk Mesir dan Irak terkumpul, terbawa arus syubhat Ibnu Saba’. Mereka menuju Madinah dalam keadaan membenci khalifah, bahkan bertekad menggulingkan kekhilafahannya karena menurut mereka khalifah telah berkhianat.
Dalam perjalanan menuju Madinah, mereka mendengar bahwa Utsman bin ‘Affan berada di luar Madinah, maka mereka bersegera menemui ‘Utsman bin ‘Affan, di awal-awal bulan Dzulqa’dah 35 H.
Dengan penuh kearifan, keteduhan, dan kasih sayang, Utsman menemui mereka, dan terjadilah dialog ilmiah, membantah syubhat-syubhat juhhal. Dengan taufik Allah, Utsman mendinginkan hati-hati mereka yang membara. Beliau juga membuat kesepakatan-kesepakatan dan perdamaian yang menentramkan jiwa mereka. Mereka pun ridha untuk kembali ke negeri mereka.

Meninggalkan Utsman dan kisah surat palsu
Masa yang tadinya penuh kebencian, merasa puas dengan jawaban-jawaban ‘Utsman dan kesepakatan tersebut. Mereka pun pergi untuk kembali ke negeri mereka.
Kenyataan ini membuat geram para penyulut fitnah. Mereka memutar otak dan mencari-cari jalan menyalakan kembali api kebencian yang sempat padam yang sudah sangat lama mereka nanti. Dalam keadaan itu, segera mereka munculkan makar berikutnya yang demikian keji, yaitu: Surat palsu berisi kedustaan atas ‘Utsman bin Affan.
Dalam perjalanan kembali ke Mesir, mereka berpapasan dengan seorang penunggang unta. Dia menampakkan bahwa dirinya melarikan diri, seolah-olah berkata: “Tangkaplah aku.” Mereka pun menangkapnya dan bertanya: “Ada apa dengan engkau?” Dia katakan: “Aku utusan Amirul Mukminin kepada amir Mesir.” Segera mereka periksa orang ini hingga didapatkan padanya sebuah surat atas nama ‘Utsman bin Affan, berisi perintah kepada amir Mesir agar menyalib, membunuh, dan memotong-motong tangan orang-orang Mesir setibanya mereka dari Madinah.

Kembali ke Madinah melakukan pengepungan
Dengan adanya surat palsu tersebut, api kebencian kepada khalifah kembali berkobar dalam dada-dada kaum yang bodoh. Mereka kembali menuju Madinah kemudian mereka kepung kediaman khalifah Ar-Rasyid Utsman bin Affan. Mereka tidak lagi memercayai ‘Utsman meskipun telah bersumpah bahwasanya beliau tidak pernah mengetahui apalagi menulis surat tersebut.
Tahukah kita apa yang diperbuat bughat pada orang termulia di muka bumi saat itu dan ahli jannah yang masih bernafas di dunia? Mereka paksa Utsman untuk melepaskan kekhilafahannya. Terwujudlah apa yang disabdakan Rasulullah puluhan tahun silam akan datangnya masa di mana Utsman bin Affan dipaksa melepas kekhilafahan.
Dengan tanpa kasih sayang, mereka halangi Utsman untuk shalat di Masjid Nabawi padahal beliaulah yang memperluas masjid di masa Rasulullah. Mereka halangi Utsman untuk minum dari air segar sumur Ar-Rumah yang beliau wakafkan untuk kaum muslimin. Caci-maki dan cercaan tertuju kepada beliau.
Seperti inikah Islam mengajarkan untuk berbuat kepada seorang sahabat mulia, yang menghabiskan masa hidupnya untuk membela Rasulullah, meninggikan kalimat Allah? Seperti inikah balasan kepada seorang sahabat yang matanya tak pernah kering dari air mata karena takutnya kepada Allah? Seperti inikah Islam mengajarkan untuk bersikap kepada seorang yang telah senja, di umurnya yang ke-83? Itukah kasih sayang? Seperti inikah jihad? Laa haula wala quwwata illa billah! Tidak ada yang mampu kita ucapkan melainkan: Hasbunallahu wa ni’mal wakil.

Pembelaan sahabat
Sejatinya para sahabat hendak membela Utsman bin Affan. Bahkan banyak di antara mereka menemani khalifah di rumahnya hingga hari terakhir pengepungan. Riwayat-riwayat yang shahih menunjukkan kedatangan banyak sahabat mengusulkan pembelaan dari kaum bughat. Di antara mereka adalah: Haritsah bin Nu’man, Al-Mughirah bin Syu’bah, Abdullah bin Az-Zubair, Zaid bin Tsabit, Al-Hasan bin ‘Ali, Abu Hurairah, dan lainnya.
Namun Utsman bin Affan telah mengambil sebuah keputusan dan sikap yang merupakan wasiat Rasulullah untuk bersabar dan tidak melepaskan kekhilafahan. Beliau tetap kokoh memegang sunnah (wasiat) Rasulullah saat api fitnah telah berkobar di hadapannya. Abu Hurairah sempat datang dengan pedangnya untuk melakukan pembelaan. Namun Utsman berkata: “Wahai Abu Hurairah, sukakah engkau jika banyak manusia terbunuh dan aku juga terbunuh? Sungguh demi Allah, seandainya engkau membunuh seorang manusia, seakan-akan engkau membunuh manusia seluruhnya.” Pergilah Abu Hurairah melaksanakan nasihat ‘Utsman.
Dari Rasulullah, Utsman mengetahui syahadah yang akan diperolehnya. Suatu hari Rasulullah memanggil Utsman. Beliau bisikkan rahasia akan apa yang akan menimpanya dan apa yang seharusnya dilakukan saat fitnah menimpa. Rahasia itu memang tidak banyak tersingkap, melainkan beberapa yang dikabarkan Utsman bin ‘Affan di hari pengepungan.
Al-Imam Ahmad dalam Al-Musnad (6/51-52) meriwayatkan bahwa saat sahabat menawarkan Utsman bin Affan untuk memerangi pemberontak, mereka berkata: “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau perangi mereka?” Dengan penuh keyakinan beliau katakan:
“Tidak (aku tidak akan perangi mereka), karena sesungguhnya Rasulullah telah mengambil janji dariku, dan aku sabar di atas janji itu.”
Berkali-kali sahabat Rasulullah menawarkan perang melawan pemberontak. Dengan penuh kearifan Utsman menolak, dan mengingatkan mereka untuk taat kepadanya sebagai khalifah. Suatu ketaatan yang telah Allah perintahkan atas mereka.
Saudaraku, rahimakumullah. Sekali lagi kita ingatkan, bahwasanya keputusan Utsman bin ‘Affan, bukanlah kelemahan beliau. Bukan pula ketidakberanian sahabat untuk melakukan peperangan. Tetapi, semua keputusan dan sikap Utsman sesungguhnya adalah bagian dari wasiat Rasulullah kepadanya.
Mungkin ada di antara kita bertanya, kenapa Utsman tidak melepaskan kekhilafahan agar terhindar dari fitnah ini? Bukankah kaum pemberontak hanya ingin menggulingkan Utsman dari kekhilafahan?
Ketahuilah, hal ini pun telah Rasulullah n wasiatkan dalam hadits yang shahih. Rasul bersabda:
“Dan jika mereka (pemberontak) memaksamu untuk melepaskan pakaian yang Allah l pakaikan kepadamu (yakni kekhilafahan), janganlah engkau lakukan.”
Dari riwayat-riwayat shahih terkait dengan fitnah pembunuhan Utsman bin Affan, disimpulkan bahwa sikap yang beliau pilih sesungguhnya kembali pada beberapa alasan. Di antaranya:
Wasiat Rasulullah kepada ‘Utsman untuk tidak melepaskan kekhilafahan dan menghadapi fitnah dengan kesabaran.
Beliau tidak ingin menjadi orang yang pertama kali menumpahkan darah kaum muslimin, dan menjadi penyebab peperangan di antara mereka. Sebagaimana tampak dalam riwayat Ahmad dalam Al-Musnad, beliau berkata:
“Aku tidak ingin menjadi orang pertama sesudah Rasulullah yang menyebabkan pertumpahan darah di tengah umatnya.”
Utsman yakin bahwa yang diinginkan pemberontak adalah dirinya, maka beliau tidak ingin menjadikan kaum muslimin sebagai tameng. Sebaliknya, beliau ingin menjadi tameng untuk kaum muslimin agar tidak terjadi pertumpahan darah di tengah mereka.
Utsman yakin bahwa fitnah akan redam dengan wafatnya beliau, sebagaimana kabar yang Rasulullah sabdakan. Beliau juga merasa waktunya telah dekat di saat beliau berumur 83 tahun, diperkuat dengan mimpinya bertemu Rasulullah n di hari pengepungan. Nasihat Abdullah bin Salam kepada beliau. Abdullah berkata:
“Tahanlah, tahanlah (dari peperangan) karena dengan itu hujjahmu lebih mendalam.”

Syahadah yang Rasulullah kabarkan itu diraih Utsman bin Affan
Pagi, Jum’at 12 Dzulhijjah, 35 H, di saat sebagian besar sahabat menunaikan ibadah haji, pengepungan berlanjut. Hari itu ‘Utsman berpuasa, setelah di malam harinya bertemu Rasulullah, dan dua sahabatnya: Abu Bakar serta ‘Umar, dalam mimpi yang membahagiakan. Di mimpi itu Rasulullah bersabda: “Wahai ‘Utsman, berbukalah bersama kami.” Utsman pun terbangun dengan merasa bahagia dan berpuasa.
Pagi itu Utsman berada di rumah bersama sejumlah sahabat yang terus bersikukuh hendak membela beliau dari kezaliman bughat. Di antara mereka adalah Al-Hasan bin ‘Ali, ‘Abdullah bin Umar, Abdullah bin Az-Zubair, Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah, dan sejumlah sahabat lainnya.
Dengan sangat, Utsman bin ‘Affan meminta mereka untuk keluar dari rumah, menjauhkan diri dari fitnah. Amirul Mukminin melarang para sahabat melakukan pembelaan dengan peperangan. Beliau tidak ingin terjadi pertumpahan darah di tengah-tengah kaum muslimin hanya dengan sebab beliau. Beliau tidak ingin ada sahabat-sahabat lain terbunuh dalam fitnah ini.
Setelah permintaan Utsman yang sangat kepada para sahabat, akhirnya mereka meninggalkan rumah Amirul Mukminin hingga tidak ada yang tersisa kecuali keluarga Utsman termasuk istri beliau, Na’ilah bintu Furafishah.
Amirul Mukminin, Utsman bin ‘Affan tetap di atas wasiat Rasul untuk tidak melepaskan kekhilafahan, baju yang telah Allah pakaikan untuknya. Beliau pun tetap meminta sahabat untuk tidak melakukan perlawanan, mengingat besarnya fitnah dan khawatir darah kaum muslimin tertumpah. Inilah sikap yang terbaik: kesabaran, keyakinan, dan keteguhan di atas petunjuk Rasulullah.
Utsman, beliau duduk bersimpuh di hadapan mushaf. Beliau membacanya dalam keadaan berpuasa di hari itu. Tubuh yang telah tua, rambut yang telah memutih, kulit yang telah mengeriput, usia yang telah dihabiskan untuk Allah, berjihad menegakkan kalimat Allah di muka bumi, kini duduk mentadaburi kalam Rabbul ‘Alamin. Beliau perintahkan untuk membuka pintu rumah dengan harapan para pengepung tidak berbuat sekehendak hati mereka ketika menyaksikan beliau beribadah kepada Allah, membaca Al-Qur’an.
Tetapi mereka ternyata orang yang telah keras hatinya. Dalam suasana pengepungan dan kekacauan, masuklah seseorang hendak membunuh khalifah. Orang ini datang dan menarik jenggot Ustman. Ustman dengan tenang berkata
“Jangan sentuh jenggotku karena sesungguhnya ayahmu dulu menghormati jenggot ini.” 
Kemudian pemberontak itu melepaskannya karena dia ingat bahwa bukan hanya ayahnya yang menghormati, tapi juga Rasulullah S.A.W. dan setiap orang menghormati Ustman. Utsman pun berkata mengingatkan: “Wahai fulan, di antara aku dan dirimu ada Kitabullah!” Diapun pergi meninggalkan Utsman, hingga datang orang lain dari bani Sadus. Dan ketika Ustman R.A. melihat nya datang, dia segera mengencangkan tali pengikat celananya, karena dia tidak ingin auratnya terlihat di saat-saat terakhirnya.
Dengan penuh keberingasan, dia cekik leher khalifah yang telah rapuh hingga sesak dada beliau dan terengah-engah nafas beliau, lalu dia tebaskan pedang ke arah Utsman bin ‘Affan. Amirul Mukminin menlindungi diri dari pedang dengan tangannya yang mulia, hingga terputus bercucuran darah. Saat itu Utsman berkata:
“Demi Allah, tangan (yang kau potong ini) adalah tangan pertama yang mencatat surat-surat mufashshal.”
Ya… beliau adalah pencatat wahyu Allah dari lisan Rasulullah. Namun ucapan Utsman yang sesungguhnya nasihat –bagi orang yang memiliki hati– tidak lagi dihiraukan. Darah mengalir pada mushaf tepat mengenai firman Allah:
“Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 137)
Kemudian istrinya, Na’ilah berlari untuk melindungi Utsman. Bukan hanya itu, jari jemari Na’ilah bintu Furafishah terpotong saat melindungi suaminya dari tebasan pedang kaum bughat. Subhanallah, cermin kesetiaan istri shalihah menghiasi tragedi berdarah di negeri Rasulullah.
Kemudian mereka menghujam dalam perut Ustman R.A. dengan pedang! Lalu salah satu pemberontak menerjang dada Ustman R.A. dan menusuknya 6 KALI! Dengan demikian wafatlah Ustman R.A. pada umur 83 tahun.
Terwujudlah sabda Rasulullah puluhan tahun silam. Ketika itu, Rasulullah bersama dengan Abu Bakr, Umar, dan Utsman di atas Uhud, tiba-tiba Uhud bergoncang. Rasul pun bersabda:
“Diamlah wahai Uhud, yang berada di atasmu adalah seorang nabi, seorang shiddiq, dan dua orang syahid.”
Allahu Akbar! Berbukalah Utsman bin Affan bersama Rasulullah sebagaimana mimpinya di malam itu. Ta’bir mimpi pun tersingkap sudah. Wafatlah khalifah Ar-Rasyid, di hari Jum’at, dalam usia 83 tahun. Pergilah manusia termulia saat itu menemui ridha Allah dan ampunan-Nya. Menuju jannah-Nya.
Seusai pembunuhan, berteriaklah laki-laki hitam pembunuh ‘Utsman, mengangkat dan membentangkan dua tangannya seraya berkata “Akulah yang membunuh Na’tsal! “
Beberapa lama setelah Utsman dibunuh, para pemberontak tidak memperbolehkan seorang pun untuk menguburkan jenazahnya. Pada akhirnya, istri Rasulullah, Umayya Habiba menaiki tangga masjid Rasulullah dan berkata
“Wahai pemberontak! Jika kalian tidak mengizinkan kami untuk mengubur Ustman R.A., maka AKU ISTRI RASULULLAH S.A.W., AKU KEHENDAK RASULULLAH S.A.W., AKU KEKASIH RASULULLAH S.A.W., AKU IBU ORANG-ORANG BERIMAN, akan turun ke jalan Madinah tanpa menutupi rambutku dan AKU SENDIRI yang akan menguburkan Ustman!”

Dia tahu bahwa tidak ada satu pemberontak pun yang berani terhadap istri Rasulullah S.A.W. Ka’ab ibn Malik R.A. meriwayatkan: 
“Demi Allah, jika Umayya ibn Habiba R.A. turun ke jalanan Madinah tanpa menutupi rambutnya, maka Allah akan MENURUNKAN HUJAN BATU DARI LANGIT!”

Dan ketika para pemberontak mendengar ancaman dari istri Rasulullah S.A.W., mereka membolehkan jenazah Ustman dikuburkan oleh empat orang: Hasan R.A., Hussain R.A., Ali R.A., dan Muhammad ibn Talha R.A. Dan ketika mereka membawa jenazah Ustman untuk dikuburkan, para pemberontak mulai melempari batu ke jenazah Ustman R.A.
Amrita bin Arta meriwayatkan
“Ketika aku dan Aisyah R.A. pulang dari berhaji, kami melihat Al-Qur’an dimana darah Ustman terjatuh ke atasnya pada ayat ‘Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 137).’
Akibat dari kematian Ustman begitu besar, sampai-sampai Hasan (cucu Rasulullah) meriwayatkan:
“Aku melihat kakekku (Rasulullah) di dalam mimpi, dan dia berdiri di hadapan Arsy Allah S.W.T. Dan inilah pertama kalinya aku melihatnya dalam mimpi dimana dia terlihat khawatir. Kemudian Abu Bakar R.A. datang dari belakangnya dan dia menempatkan tangannya di bahu Rasulullah S.A.W. Kemudian Umar R.A. datang dari belakangnya dan dia menempatkan tangannya di bahu Abu Bakar R.A.  Tidak lama setelahnya, Ustman R.A. datang dan wajahnya yang berlumuran darah. Tangannya menggenggam kepalanya dan dia berkata ‘Wahai Rasulullah, tanyakan kepada mereka karena dosa apakah mereka menjagalku seperti seekor sapi?’ Ketika Ustman R.A. berkata seperti ini, Arsy Allah mulai bergetar! Kemudian dua sungai darah mengalir dari Arsy Allah S.W.T.”
Pada hari kiamat, ada banyak orang yang gugur sebagai syuhada. Untuk para syuhada itu, tanah tempatnya meninggal dunia akan bersaksi, namun untuk Ustman ibn Affan, Al-Qur’an yang akan menjadi saksinya, karena dia meninggal dunia tepat di hadapan sebuah Al-Qur’an!
Asyhadu an-La ilaha illallah, wa anna Muhammadan Rasulullah! Sabda Rasulullah bahwa Utsman akan meraih jannah dengan cobaan yang menimpanya benar-benar terjadi. Abu Musa Al-Asy’ari mengatakan bahwa:
“Rasulullah memerintahkan Abu Musa untuk memberi kabar gembira kepada Utsman dengan jannah, dengan ujian yang akan menimpanya.”



Akhir kehidupan pembunuh-pembunuh ‘Utsman bin ‘Affan R.A
Orang-orang yang memberontak Utsman R.A dan memiliki andil dalam pembunuhan khalifah yang terzalimi mendapat hukuman pedih dari Allah. Demikianlah akibat bagi mereka yang memusuhi wali-wali Allah. Benarlah firman Allah dalam sebuah hadits Qudsi:
“Barangsiapa menyakiti wali-Ku, sungguh Aku umumkan perang dengannya…”
Khurqush bin Zuhair As-Sa’di dibunuh oleh ‘Ali bin Abi Thalib pada perang Nahrawan tahun 39 H.‘Alba’ bin Haitsam As-Sadusi dibunuh pada perang Jamal.Amr bin Al-Hamaq Al-Khuza’i hidup hingga tahun 51 H, ia ditikam.‘Umair bin Dhabi’ yang mematahkan tulang rusuk ‘Utsman z, hidup hingga zaman Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, dia pun dibunuh. Demikian pula para pembunuh ‘Utsman z yang selain mereka.
Wallahu a’lam.

Uncategorized

Kisah Keguguran Fatimah Az-zahra Putri Rasulullah Sebelum Meninggal

Sering kita dengar tentang penderitaan yang menimpa keluarga Nabi, kisah-kisah yang membangkitkan emosi, tapi celakanya akal pun jadi tertutup dan tidak lagi berkesempatan untuk berpikir. 
Qunfudz diutus oleh Abubakar dan mencambuk Fatimah
Fatimah menghalangi para penyerang hingga tidak bisa menyentuh Ali di pintu rumah, lalu Qunfudz mencambuknya dengan cambuk, sampai di sini, sementara dalam bagian lain disebutkan : Abubakar mengutus Qunfudz untuk mencambuk Fatimah, lalu berhasil memaksa Fatimah untuk berada di balik pintu, lalu Qunfudz mendorongnya hingga tulang rusuknya patah dan janin yang dikandungnya gugur.
Lihat Al Ihtijaj jilid 1 hal 212, Mir’atul Uqul jilid 5 hal 320.
Qunfudz mencengkeramnya di pintu rumah
Qunfudz berhasil membuat Fatimah terpepet di pintu dan berhasil didorong, lalu Qunfudh mematahkan tulang rusuk dan janin yang ada di perutnya seketika keluar, Fatimah terbaring di tempat tidur hingga wafat sebagai syahid.
Lihat Kitab Sulaim bin Qais, Tahqiq Muhammad Baqir Al Anshari. Jilid 3 hal 588
Qunfudz budak orang itu, memukul Fatimah dengan gagang pedang
Dari Abu Bashir, dari Abu Abdillah Alaihissalam dalam haditsnya : sebab wafatnya Fatimah adalah ketika Qunfudz budak orang itu memukulnya dengan gagang pedang atas perintahya, lalu menggugurkan janin Muhsin, dan membuat Fatimah sakit parah, dia melarang orang yang menyakitinya dari menjenguknya,
Lihat Dala’ilul Imamah, At Thabari, hal 45
Umar menendang pintu dan pintu, Fatimah jatuh tertimpa pintu, -tanpa patah tulang-
Fatimah mendorong pintu agar menghalangi mereka masuk, Umar menendang pintu hingga terlepas dan mengenai perut Fatimah hingga Muhsin gugur dari perut ibunya.
Multaqal Bahrain hal 81, Al Jannah Al Ashimah hal 251
Umar menggunakan pedang dan cambuk tanpa menyentuh pintu
Fatimah berteriak Wahai Ayahku, Wahai Rasulullah, lalu Umar mengangkat pedang yang masih di sarungnya dan memukul perut Fatimah, lalu Fatimah berteriak lagi, wahai ayahku, lalu Umar mencambuk tangan Fatimah,  Fatimah memanggil Wahai Rasulullah, betapa buruk penggantim, Abubakar dan Umar, Ali melompat dan mencengkeram baju Umar dan membantingnya, dan memukul hidung serta lehernya. Ali berniat membunuh Umar tetapi dia teringat wasiat Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam.
Kitab Sulaim bin Qais , jilid 3 hal 538
Fatimah didorong di pintu, tanpa ditendang, tanpa pedang, cambuk atau paku
Al Mas’udi, seorang ahli sejarah mengatakan : Amirul Mu’minin Ali tinggal di rumahnya beserta beberapa pengikutnya, seperti yang dipesankan oleh Rasulullah, lalu mereka menuju rumah Ali dan menyerbunya, membakar pintu rumah dan memaksa orang yang di dalamnya untuk keluar, mereka mendorong Fatimah di pintu hingga janinnya gugur, mereka memaksa Ali untuk berbaiat dan Ali menolak, dan mengatakan : aku tidak mau, mereka mengatakan : kalau begitu kami akan membunuhmu, Ali mengatakan: jika kalian membunuhku maka aku adalah Hamba Allah dan saudara RasulNya. Lihat Itsbatul Washiyyah hal 123.
Yang memukul Fatimah adalah Mughirah bin Syu’bah
Imam Hasan berbicara pada Mughirah bin Syu’bah di majlis Muawiyah: kamu memukul fatmah binti Rasulullah hingga berdarah dan gugur janinnya, kamu melakukan itu untuk menghinakan Rasulullah, dan melanggar perintahnya, menghina kehormatannya, Rasulullah pernah bersabda padanya : engkau adalah penghulu wanita penghuni sorga, semoga Allah memasukkanmu ke dalam neraka. Lihat dalam  Al Ihtijaj dan Biharul Anwar jilid 10.
Umar menyerbu rumah Ali bersama tiga ratus orang.
Diriwayatkan mengenai penyebab wafatnya Fatimah : Umar bin Khattab menyerang rumah Ali dan Fatimah bersama tiga ratus orang. Lihat dalam kitab Al Awalim jilid 2 hal 58
Umar memukul Fatimah di jalan, bukan di rumah
Fatimah berhasil meminta surat dari Abubakar yang berisi pengembalian tanah Fadak pada Fatimah, ketika di jalan Fatimah bertemu Umar dan kemudian Umar bertanya: wahai putri Muhammad, surat apa yang ada di tanganmu? Fatimah menjawab: surat dari Abubakar tentang pengembalian tanah Fadak, Umar berkata lagi : bawa sini surat itu, Fatimah menolak menyerahkan surat itu, lalu Umar menendang Fatimah
Amali Mufid hal 38, juga kitab Al Ikhtishash
Yang mencengkram Fatimah hingga janinnya gugur adalah Khalid bin Walid
At Thuraihi mengatakan : ketika Khalid binWalid mencengkeramnya dan janin Muhsin pun gugur.
Lihat Ma’sat Az Zahra jilid 2 hal 143, Sayyid Ja’far Murtadha
Al Muntakhab, hal 136 karya At Thuraihi
Tidak jelas siapa yang memukul Fatimah
As Shaduq meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu Alaihi wasallam bersabda : seakan saya melihat rumahnya dimasuki kehinaan, kehormatannya dilecehkan, diserobot haknya, dihalangi untuk menerima warisannya, tulang rusuknya dipatahkan, dan janinnya digugurkan.
Amali Shaduq hal 100
Fatimah dicambuk.
Yang disesalkan adalah mereka memukul Fatimah Alaihassalam, telah diriwayatkan bahwa mereka memukulnya dengan cambuk
Talkhis Syafi jilid 3 hal 156
Punggungnya dicambuk dan dipukul dengan pedang.
Lalu Miqdad berdiri dan mengatakan : putri Nabi telah meninggal dunia, sedang darah mengalir di punggung dan rusuknya karena kalian mencambuknya dan memukulnya dengan pedang, sedangkan di mata kalian aku lebih hina dibanding Ali dan Fatimah
Ahwal Saqifah/ Kamil Al Baha’I, Hasan bin Ali bin Muhamamd bin Ali bin Hasan At Thabari yang dikenal dengan nama Imadudin At Thabari, jilid 1 hal 312
Ada baiknya disini kita simak bersama penuturan Sayid Ja’far Murtadha Al Amili dalam kitab “ Zhulumat Ummi Kaltsum”:
Tidak perlu dijelaskan lagi, bahwa jika nampak kontradiksi dalam banyak riwayat yang menceritakan tentang suatu kejadian, maka sangat wajar jika kita meragukan validitas riwayat-riwayat itu, bahkan keraguan akan muncul di hati para peneliti, dan memaksanya untuk mencari riwayat yang shahih dan mana yang berisi kebohongan dari riwayat-riwayat itu, ini jika kita tidak ingin mengatakan : kontradiksi ini membuat kita ragu dan bertanya apakah kejadian itu benar terjadi atau tidak.
Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara . Al Hujurat ayat 10
Jalinan persaudaraan yang ada antara kaum muslimin adalah jalinan yang lahir akibat adanya persamaan yang mendasar antara mereka, yaitu persamaan akidah tauhid yang terwujud melalui dua kalimat syahadat, dengan demikian seluruh yang mengucapkan dua kalimat syahadat menjadi bersaudara. Ukhuwah Islamiyah memiliki peranan yang penting bagi kehidupan muslim. Sehingga syareat Islam menggariskan beberapa aturan agar hubungan sesama kaum muslimin selalu Bagai tanaman yang harus dipupuk dan disiram, begitu pula ukhuwah Islamiyah haruslah dijaga dan dikokohkan.
Dengan persatuan yang kokoh musuh tidak dapat mengalahkan dan menjajah kaum muslimin, derita yang dialami oleh kaum muslimin, kurangnya persatuan dan adanya kaum munafikin yang bermuka dua, mereka bermuka manis di depan kaum muslimin dan bekerja untuk kepentingan musuh, kaum munafikin yang memecah belah kaum muslimin dan membantu orang kafir dalam melancarkan makar-makar mereka untuk memecah belah kaum muslimin. Mereka bagaikan musuh dalam selimut dan musang berbulu domba yang selalu bermanis muka di depan kaum muslimin sementara di kegelapan malam mereka bekerjasama dengan musuh untuk melancarkan makar mereka.
Allah telah memberi isyarat bagi kaum muslimin untuk menghindari perpecahan dengan memerintahkan untuk menghindari faktor-faktor yang dapat menimbulkan percikan api perselisihan dan perpecahan.
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. 49:6)
Ini karena salah satu faktor utama perpecahan adalah berita bohong, karena itulah Allah memanggil orang beriman –hanya orang beriman saja, orang munafik dan orang kafir tidak ikut mendapat panggilan Allah dalam ayat ini- agar meneliti berita yang disebarkan oleh orang fasik, agar tidak bersikap keliru terhadap orang yang salah, akhirnya ketika sikap keliru itu dimanifestasikan dalam ucapan dan perbuatan, maka akan berpotensi mengakibatkan perpecahan.
Sering kita dengan mereka-mereka yang menghasut kaum muslimin agar membenci sahabat Nabi, dengan menyebarkan cerita-cerita bohong yang sayangnya jarang dari kita yang mau meluangkan waktu untuk meneliti cerita-cerita itu. Hingga akhirnya banyak dari kaum muslimin yang terperangkap pada perbuatan membenci sahabat Nabi yang dicintai Allah. Allah berfirman:
tetapi Allah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hati kalian serta menjadikan kalian benci kepada kekefiran, kefasikan dan kedurhakaan.Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus, (QS. 49:7)
Allah menjadikan sahabat mencintai keimanan, membuat iman jadi indah di hati mereka. Lalu mengapa kita membenci sahabat Nabi yang beriman karena cerita-cerita yang ternyata tidak jelas?
Uncategorized

Detik Haru Kematian Putri Rasulullah Fatimah Az-zahra AS

Detik-detik terakhir kehidupan Fatimah Az-Zahra as  Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad 
Hari ini Fatimah as tampak dalam keadaan terbaik yang seharusnya setiap wanita seperti itu. 
 Fatimah as memegang Hasan as dan Husein as dan membasuh kepala mereka Lalu ia bertemu Imam Ali as dan berkata: “Hai Abu Hasan, jiwaku telah membisikiku bahwa tak lama lagi aku akan berpisah denganmu, Aku mempunyai wasiat yang telah kupendam dalam dadaku yang ingin aku wasiatkan padamu” Ali as menjawab:
“Wasiatkanlah apa saja yang kau sukai, niscaya kau dapati aku sebagai orang yang menepati dan melaksanakan semua yang kau perintahkan padaku, Dan aku dahulukan urusanmu atas urusanku” Fatimah as mulai berkata: “Abu Hasan, engkau tidak pernah mendapatiku berdusta dan berkhianat, Dan aku tidak pernah menentangmu sejak engkau menikah denganku” baca selanjutnya. Ali as menjawab: “Aku berlindung kepada Allah, engkau orang yang paling baik disisi Allah, paling ‘alim dan paling takwa,Tidak wahai Fatimah, engkau begitu mulia dan tidak pernah membantahku,
Sungguh berat bagiku berpisah dan meninggalkanmu,Tetapi ini adalah hal yang harus terjadi”. “Demi Allah engkau mengulangi musibah Rasulullah saww atasku, Sungguh besar musibah kematianmu dan kepergian atasku, Kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali, Atas musibah yang sangat besar, sangat menyakitkan dan sangat menyedihkan”. Kemudian Ali as mengusap kepala Fatimah sambil menangis
Lalu Fatimah melanjutkan wasiatnya: “Abu Hasan, jika aku telah meninggal, Mandikanlah aku, hunuthlah tubuhku dengan sisa hunuth yang telah dipakai oleh ayahku Rasulullah SAW, lalu kafanilah aku, Shalatilah aku dan jangan biarkan orang-orang yang memperlakukan aku secara kejam menghadiri jenazahku, Baik dari kalangan mereka maupun dari pengikut mereka”. Kemudian Fatimah meneruskan: “Kuburlah aku diwaktu malam saat keheningan menyelimuti bumi dan mata terlelap dalam tidur, Dan sembunyikanlah letak kuburanku”. 
“Abu Hasan, aku berwasiat kepadamu agar menjaga Zainab, juga Hasan as dan Husein as, Jangan kau bentak mereka, Karena mereka akan menjadi anak-anak yatim yang penuh derita, Baru saja kemarin mereka ditinggal oleh kakek mereka Rasulullah saw, Dan hari ini mereka akan kehilangan ibu mereka, Fatimah as”.  Kemudian Imam as keluar menuju mesjid. Fatimah as berdiri dan memandikan Hasan as dan Husein as, Ia mengganti pakaian Hasan as dan Husein as setelah menyiapkan makanan bagi mereka.


Fatimah as berkata kepada mereka: “Keluarlah kalian dan pergilah ke Mesjid” Sebagaimana biasa, Fatimah as menitipkan Zainab kerumah ummu Salamah. Hingga tak seorangpun dari anaknya yang ada dirumah. Asma’ binti Umais berkata bahwa ia melihat Fatimah as dan ia berkata kepadaku: “Wahai Asma’, aku akan masuk kedalam kamarku ini untuk mengerjakan shalat-shalat sunahku, Dan membaca wirid-wiridku dan Al-Quran”. “Bila suaraku terhenti, maka panggillah aku bila aku masih bisa menjawab,Kalau tidak, berarti aku telah menyusul ayahku Rasulullah saww”. Asma’ berkata: “ Lalu, Fatimah as masuk ke dalam kamar”. Tatkala aku sedang asyik mendengar suaranya yang membaca Al-Qur’an,tiba-tiba suara Fatimah as berhenti. 
Aku memanggilnya: “Ya Zahra… ia tak menjawab, hai ibunya Hasan…iapun tak menjawab, Aku masuk kekamar dan Fatimah as telah terbentang kaku menghadap kiblat, Sambil meletakkan telapak tangannya dibawah pipi kanannya. Fatimah as menemui ajalnya dalam keadaan dianiaya, syahid dan sabarAsma’ berkata: “Aku menciuminya dan berkata kepadanya: “Wahai Tuanku/Pemimpinku”,“Sampaikan salamku kepada Ayahmu Rasulullah saw”. 
Saat aku dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.Hasan as dan Husein as yang masih kanak-kanak itu, pulang dari Masjid, Saat mereka masuk, Husein as yang pertama kali bertanya kepadaku:“Asma’, dimana ibu kami Fatimah as ?
”Aku menjawab: “Kedua pemimpinku, ibu klalian sedang tidur” Husein as berkata: “Apa yang membuat ibu kami tertidur disaat ini, saat waktu shalatnya? Tidak biasanya ia tertidur disaat ini”. 
Aku berkata: “Wahai Dua Pemimpinku, duduklah hingga aku bawakan makanan untuk kalian”. Asma’ berkata: “Aku letakkan makanan dihadapan Hasan as dan Husein as”.
Mereka memanggut-manggut, kepala mereka kearah bawah.“Sekarang… ini makanannya, duhai Hasan, Cahaya Mata, duhai Husein as”.Husein as berkata: “Wahai Asma’, sejak kapan kami makan tanpa ditemani ibu kami Fatimah as?
Setiap hari kami makan bersama Ibu kami Fatimah as, mengapa hari ini tidak?”  Perasaan Husein as tidak enak, ia berlari kekamar… Kemudian ia duduk didepan kepala Fatimah as dan menciuminya, Lalu berkata: “Oh ibu, berbicaralah kepadaku, aku putra tercintamu Husein, Ibu.., berbicaralah padaku sebelum rohku keluar dari badanku”. 
Husein berteriak: “Hai Hasan as…, semoga Allah melipat gandakan pahala padamu atas kematian Ibu kita Fatimah as”. Imam Hasan as datang dan merangkul Ibunya dan menciuminya Asma’ berkata: “Aku masuk kamar… Demi Allah, Husein as telah merobek-robek hatiku”.
Aku melihatnya menciumi kaki ibunya Fatimah asDan dia berkata: “Ibu…, Berbicaralah padaku sebelum jiwa berpisah dari badanku”. 
Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun     
Uncategorized

Ziarah Kubur Untuk Mengingat Kematian

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar dan Mahmud bin Ghailan dan Al Hasan bin Ali Al Khallal mereka berkata;
Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim An Nabil telah menceritakan kepada kami Sufyan dari ‘Alqamah bin Martsad dari Sulaiman bin Buraidah dari Bapaknya berkata;
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Saya pernah melarang kalian berziarah kubur. Sekarang telah diizinkan untuk Muhammad menziarahi kuburan ibunya, maka berziarahlah, karena (berziarah kubur itu) dapat mengingatkan akhirat.” (Abu Isa At Tirmidzi)
berkata; “Hadits semakna diriwayatkan dari Abu Sa’id, Ibnu Mas’ud, Anas, Abu Hurairah dan Umu Salamah.”
Abu Isa berkata; “Hadits Buraidah adalah hadits hasan sahih. Ulama mengamalkannya mereka berpendapat bahwa ziarah kubur tidak mengapa. Ini adalah pendapat Ibnu Mubarak, Syafi’i, Ahmad dan Ishaq”
√ HR. Tirmidzi
Uncategorized

Doa Tahlil – Hukum Tahlilan Kematian



Hukum Tahlilan Kematian

Pertanyaan.

Assalamu’alaikum. Ada hadits yang menerangkan bahwa Nabi pernah akan mendoa’akan ayahnya yang sudah meninggal, tapi dilarang oleh Allâh Azza wa Jalla . Kenapa  Banyak orang-orang mengadakan yasinan, tahlilan dengan alasan mendo’akan orang tua yang sudah meninggal. Mereka juga mengatakan bahwa ini merupakan sebentuk perwujudan anak shaleh mendo’akan orang tua. Dan  kyainya menyebutkan bahwa ini acara tradisi. Bolehkah menghadiri acara tersebut ? Kalau tidak, dimana kemungkarannya ? Bagaimana cara mendo’akan yang sesuai sunnah. Terima kasih, wasalam.

Jawaban.

Wa’alaikumussalam. Yang kami ketahui, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memohonkan ampun untuk ibunya tetapi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diidzinkan. Sebagaimana hadits di bawah  ini:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ  اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menziarahi kubur ibunya, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis dan membuat orang-orang di sekitarnya menangis juga. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku meminta idzin kepada Rabbku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, tetapi aku tidak diberi idzin. Dan aku meminta idzin kepadaNya untuk menziarahi kuburnya, maka aku diberi idzin.  Maka hendaklah kamu berziarah kubur, karena ziarah kubur itu  bisa  mengingatkan kepada kematian.[HR. Muslim]

Adapun tentang ayah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadits sebagai berikut :

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِى قَالَ  فِى النَّارِ. فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ  إِنَّ أَبِى وَأَبَاكَ فِى النَّارِ

Dari Anas Radhiyallahu anhu bahwa seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, dimanakah ayahku?”, beliau menjawab, “Di dalam neraka”. Ketika dia berpaling, beliau memanggilnya lalu bersabda, “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di dalam neraka”. [HR. Muslim]

Untuk menjawab pertanyaan saudara, kami akan membaginya dalam tiga point yaitu :

Bolehkah Menghadiri Acara Yasinan Atau Tahlilan Untuk Mendoakan Orang Yang Telah Mati ?

Jawaban kami untuk pertanyaan ini adalah tidak boleh menghadirinya. Karena hal ini tidak dituntunkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Kecuali jika dia hadir dalam rangka menjelaskan kemungkarannya, lalu meninggalkannya. Anggapan bahwa itu sebagai aktualisasi dari kebaikan anak yang shalih untuk orang tua, tidak lantas bisa dijadikan legitimasi bagi amalan ini. Karena cara mewujudkan bakti kepada orang tua yang sudah meninggal telah dijelaskan caranya-caranya dalam Islam seperti memohon ampun atau menyambung tali silaturrahim dengan teman dekatnya. Begitu juga klaim, acara ini sebagai tradisi semata, tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk memperbolehkan amalan ini. Karena faktanya mereka yang melakukan itu berharap pahala dari Allah Azza wa Jalla ketika melaksanakannya bahkan disebagian tempat orang yang tidak melaksanakannya dianggap tidak mau melaksanakan sunnah. Bukankah ini berarti ibadah ? Sementara yang namanya ibadah harus berlandaskan dalil. Kalaupun dianggap sebagai tradisi, maka dalam Islam, tradisi itu boleh dipertahankan selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sementara yasinan yang mereka klaim sebagai tradisi ini ternyata menyelisihi agama Islam yang telah sempurna yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang membuat suatu yang baru dalam ajaran kami yang tidak berasal darinya, maka perkara itu tertolak[1]

Dimanakah Letak Kemungkarannya ?

Kemungkaran-kemungkaran amalan ini banyak, diantaranya :

– Yasinan atau tahlilan merupakan bentuk ibadah yang tidak dituntunkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

-Berkumpul di rumah orang yang kena musibah kematian dan apalagi disertai dengan penghidangan makanan dari tuan rumah setelah penguburan merupakan bentuk niyâhah (meratap) yang dilarang oleh agama.

– Jamuan yang diberikan tuan rumah kepada tetamu bertentangan dengan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan para tetangga untuk memberi makan kepada keluarga mayit, bukan keluarga mayit yang menghidangkan makanan kepada tetangga.

– Bertentangan dengan akal. Karena orang yang sedang didera kesusahan dengan sebab kematian anggota keluarganya sepantasnya dihibur. Bukan ditambahi beban dengan menghidangkan jamuan buat para tamu, baik tetangga maupun kerabat atau dengan membayar orang yang membacakan al-Qur’ân, tahlil atau doa.

– Mengadakan perayaan untuk kematian, seperti perayaan pada hari ketiga, kesembilan dan seterusnya adalah kebiasaan yang berasal dari ajaran agama Hindu. Oleh karena itu, selayaknya umat Islam meninggalkannya.

Dan berbagai kemungkaran lainnya yang tidak mungkin disebutkan di sini, karena terkadang jenis kemungkaran ini berbeda-beda sesuai dengan daerahnya.

Bagaimana Cara Yang Benar Dalam Mendo’akan Mayit ?

Sebatas yang kami tahu, cara mendo’akan mayit menurut Sunnah adalah sebagai berikut :

– Mendo’akan dan memohonkan ampunan ketika mendengar berita atau mengetahui kematian seorang muslim.
– Mendo’akan dan memohonkan ampunan saat shalat jenazah.
– Mendo’akan dan memohonkan ampunan ketika ziarah kubur
– Mendoakan dan memohonkan ampunan di setiap ada waktu dan kesempatan, dengan tanpa menentukan waktu, tempat dan tata-cara khusus yang tidak diajarkan oleh Allâh dan RasulNya.

Inilah jawaban kami secara ringkas. Bagi para pembaca yang ingin mendapatkan penjelasan secara rinci bisa meruju’ ke kitab-kita Ulama yang membahas masalah hukum-hukum jenazah, seperti kitab Ahkâmul Janâ‘iz karya syaikh al-Albâni rahimahullah , dan kitab-kitab yang lain.

Footnote

[1] HR Bukhâri dan Muslim