Uncategorized

Fakta Pahlawan Perang Uhud

Mengenal Anas bin Nadhar Pahlawan Perang Uhud

Nasab dan Kabilahnya

Orang Arab sangat memperhatikan nasab mereka. Bagi mereka mengetahui asal-usul pribadi dan silsilah keluarga sangatlah penting. Berbeda dengan tradisi di negeri kita, mengetahui bibit, bebet, dan bobot seseorang hanya diperhatikan ketika hendak mencari pasangan. Oleh sebab itu, orang-orang Arab tidak pernah bertanya asal daerah, tapi yang mereka tanyakan adalah nasab.

Karena itulah, ketika membahas biografi seorang sahabat, penting pula bagi kita mengetahui nasabnya. Sahabat Anas bin an-Nadhar adalah Abu Amr Anas bin Nadhar bin Dakhm an-Najjari al-Khazraji al-Anshari. Beliau merupakan paman dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, khadim Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari nasab Anas kita mengetahui bahwa ia masih memiliki kekerabatan dengan Nabi. Karena buyut Nabi yang bernama Hasyim menikahi seorang wanita dari Bani Najjar dan lahirlah kakek beliau Syaibatul Hamd atau yang kita kenal dengan laqob Abdul Muthalib.

Memeluk Islam

Anas bin Nadhar radhiallahu ‘anhu memeluk Islam setalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah. Dan ia termasuk seorang yang dipuji oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Menyertai Rasulullah Dalam Perang Uhud

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkisah:

Pamanku, Anas bin an-Nadhar, tidak turut serta bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Perang Badar. Ia pun berkata kepadaku, “Aku luput dari perang pertama yang dilakoni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sekiranya Allah mengizinkanku nanti untuk turut berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah akan melihat apa yang akan kulakukan”. Ia takut berkata lebih dari itu.

Kemudian ia pun turut berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Perang Uhud di tahun berikutnya (setelah Perang Badar). Saad bin Muadz radhiallahu ‘anhu datang menemuinya dan berkata, “Wahai Abu Amr hendak kemana?” tanya Saad. Anas menjawab, “Ini dia kurasakan harum angin surga di balik Uhud”. Ia pun berperang hingga syahid di medan Uhud.

Saat ditemukan jasadnya, terdapat 80-an sobekan luka. Tusukan tombak dan bekas anak panah yang menancap. Kata Anas bin Malik, “Bibiku, ar-Rubai’ binti an-Nadhar berkata, ‘Aku hampir tidak mengenali saudaraku kecuali melalui ruas-ruas jarinya’.”

Peranannya

Dalam riwayat al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami memandang ayat ini turun tentang Anas bin an-Nadhar:

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُم مَّن قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلاً

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya).” [Quran Al-Ahzab: 23]

Diriwayatkan juga oleh al-Bukhari dari Anas bahwasanya bibinya Rubai’ binti an Nadhar mematahkan gigi seri seorang gadis. Dari keluarga Rubai’ meminta diyat dan maaf sedangkan keluarga gadis itu keberatan. Mereka pergi mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi memerintahkan mereka untuk melaksanakan qishash. Anas bin an-Nadhar berkata, “Apakah harus dipatahkan gigi Rubai’ wahai Rasulullah? Tidak demi Allah yang telah mengutus Anda dengan benar, janganlah patahkan giginya.” Rasulullah bersabda, “Hai Anas, menurut kitabullah adalah qishash.” Akhirnya keluarga gadis merelakan dan memberi maaf. Maka Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya di antara hamba Allah ada orang yang jika bersumpah atas nama Allah, Allah menerimnya.”

Dari Al-Fazari dari Humaid dari Anas terdapat tambahan “Keluarga perempuan tersebut ridha dan menerima diyatnya.”

Kepahlawanan di Perang Uhud

Saat Perang Uhud tengah berkecamuk, tersebar berita bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam gugur. Beliau terbunuh dalam peperangan. Anas bin an-Nadhar terus berperang. Ia melihat Umar dan beberapa orang bersamanya sedang terduduk. Ia berkata, “Kenapa kalian duduk (bersedih)?” Mereka menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah terbunuh.”

“Jika begitu, apalagi yang akan kalian perbuat mengisi hidup setelah beliau wafat? Berdirilah! Gugurlah dengan cara beliau meninggalkan dunia!” Kata Anas membakar semangat para sahabat. Kemudian Anas menghunuskan pedangnya hingga ia gugur dalam Perang Uhud.

Wafat

Anas bin an-Nadhar radhiallahu ‘anhu syahid di medan Perang Uhud. Tubuhnya berselimut luka. Setidaknya ada 80-an luka dari sabetan pedang, tusukan tombak dan anak panah. Saking banyak luka di tubuhnya, jasadnya sulit dikenali. Hanya saudarinya, Rubai’, yang mengenalinya melalui ruas-ruas jarinya.

Semoga Allah meridhai beliau, sahabat yang mulia, Anas bin an-Nadhar radhiallahu ‘anhu.

Uncategorized

Perintah Umar

Para wali Allah ﷻ memiliki karomah. Keajaiban yang tidak mampu dinalar logika. Tapi mereka tidak pernah mempelajarinya. Tidak pula mengulang-ulangnya bak sebuah atraksi di sebuah pertunjukan. Di antara wali Allah ﷻ yang memiliki karomah adalah Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu. Ia pernah berkhutbah di atas mimbar Nabi ﷺ di Madinah, namun suaranya sampai kepada pasukan yang tengah diutus menghadapi Persia di wilayah Syam. Pasukan tersebut dipimpin oleh Sariyah bin Zanim radhiallahu ‘anhu.

Siapakah Sariyah bin Zanim?

Ia adalah Sariyah bin Zanim bin Abdullah bin Jabir bin Muhammiyah bin Kinanah ad-Duali. Di masa jahiliyah, ia senang menyendiri di gua. Kecepatan larinya luar biasa. Saking cepatnya, orang-orang menggambarkan kecepatannya dengan ungkapan, mampu mendahului kuda (Ibnu Hajar, al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah, 3/5).

Tidak diketahui pasti kapan Sariyah memeluk Islam. Yang jelas ia termasuk sahabat yang terakhir menjadi seorang muslim. Karena namanya tidak termaktub dalam pasukan Badar, Uhud, dan Khandaq. Diperkirakan ia memeluk Islam sebelum penaklukkan Kota Mekah.

Memimpin Pasukan Menghadapi Persia

Sariyah dikenal sebagai seorang yang sangat pemberani. Ia juga seorang yang cepat dan tepat dalam mengambil keputusan. Umar mempercayainya memimpin pasukan untuk menghadapi negara adidaya Persia. Dan melalui dirinya, dua kota penting Persia berhasil ditaklukkan.

Suatu hari, Umar bin al-Khattab berkhutbah Jumat di atas mimbar Masjid Nabawi. Ia naik ke mimbar kemudian berucap lantang, “Wahai Sariyah bin Zanim, bukit. Wahai Sariyah bin Zanim, bukit…” Maksudnya jadikan bukit untuk berlindung.

Kemudian Umar melanjutkan khutbahnya hingga selesai.

Beberapa waktu kemudian, datang surat dari Sariyah bin Zanim kepada Umar bin al-Khattab di Madinah. Surat tersebut mengabarkan, “Sesungguhnya Allah telah memberikan kemenangan kepada kami pada hari Jumat, pada waktu demikian”.

Waktu yang termaktub dalam surat tersebut adalah saat dimana Umar berbicara di atas mimbar.

Sariyah berkata, “Aku mendengar suara (yang menyeru) ‘Wahai Sariyah bin Zanim, bukit. Wahai Sariyah bin Zanim, bukit…’. Aku dan pasukan pun naik ke atas bukit. Sebelumnya kami berada di lembah, dalam keadaan terkepung musuh. Akhirnya Allah memberi kami kemenangan.”

Ada yang bertanya kepada Umar, “Ucapan macam apa itu?” “Demi Allah, aku tidak memikirnya dalam-dalam. Suatu kalimat datang begitu saja di lisanku”, jawab Umar (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq, 20/25).

Dari sini kita bisa melihat ketulusan Umar. Jarak antara Kota Madinah dan wilayah Syam begitu jauh. Bagaimana bisa Sariyah bin Zanim mendengar suara Umar? Itulah karomah. Karomah buah dari keimanan yang ditanam oleh Rasulullah ﷺ pada diri para sahabatnya, radhiallahu ‘anhum ajma’in.

Umar tidak sebutkan bahwa ia melakukan persiapan. Berlatih sebelumnya. Melakukan amalan-amalan tertentu. Dll. Apa yang terjadi semata-mata karomah yang Allah ﷻ berikan kepadanya. Kemudian di lain kesempatan tidak ditemukan riwayat Umar mengulangi hal ini. Kejadian ini hanya terjadi satu kali.

Inilah karomah yang diberikan Allah ﷻ pada para walinya,

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63)

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang beriman dan selalu bertaqwa.

Ada yang menambahkan kisah ini bahwasanya Umar melihat apa yang terjadi di Syam, maka hadits-hadits tentang hal itu bersumber pada hadits yang lemah.

Uncategorized

Pemuda Anshar Yang Cerdas

Nabi ﷺ dikelilingi oleh orang-orang istimewa. Orang-orang yang tidak hanya shaleh secara spiritual, tapi mereka juga memiliki keunggulan individual. Merekalah para sahabat yang mulia. Di antara mereka ada yang menjadi gambaran seorang pemberani. Ada yang bijaksana, tegas, dermawan, cerdas, sangat sabar, dll. Salah satu dari pribadi istimewa itu adalah Qays bin Saad bin Ubadah radhiallahu ‘anhuma.

Qays adalah seorang tokoh Anshar. Saat usianya masih sangat muda, orang-orang Anshar sudah memandangnya sebagai seorang tokoh besar mereka. ditokohkan karena senioritas usia dan pengalaman adalah lumrah. Namun saat masih muda telah menyandang kedudukan demikian, tentu istimewa. Namun sayang, secara penampilan, Qays belum komplit disebut pemimpin. Karena ia tak berjenggot. Jenggot kadung dianggap sebagai aksesoris seorang pemimpin. Rambut di dagu itu melahirkan aura wibawa yang tak dimiliki oleh dagu-dagu yang licin. Lihatlah pemimpin dunia yang melegenda. Dagu mereka tidak klimis. Ada rambut penanda bahwa mereka seorang laki-laki yang berwibawa. Orang-orang Anshar mengatakan, “Seandainya kami bisa membelikan jenggot untuk Qays dengan harta-harta kami, pasti kami lakukan.”

Siapakah Qays?

Qays adalah pembantu Nabi ﷺ. Sahabatnya sekaligus panglima pasukannya. Ia adalah tokoh kabilah Khazraj, putra dari tokoh Khazraj dan Anshar, kakek dan buyutynya pun seorang tokoh Khazraj. Jiwa kepemimpinan yang seolah-olah terwarisi. Ayahnya adalah seorang sahabat yang mulia, Saad bin Ubadah bin Dulaim radhiallahu ‘anhu. Kakeknya adalah Ubadah bin Dulaim bin Haritsah as-Sa’idi al-Khazraji. Ibunya adalah Ummu Fukaihah binti Ubaid bin Dulaim al-Khazrajiyah.

Keluarganya adalah keluarga terpandang di tengah bangsa Arab. Karena terkenal dengan kedermawanannya.

Adapun kun-yahnya adalah Abul Fadhl. Ada juga yang mengatakan Abu Abdullah. Atau Abu Abdul Malik.

Amr bin Dinar mengatakan, “Qays adalah seorang yang besar badannya. Kepalanya kecil. Tidak berjenggot. Kalau ia menunggangi keledai, kakinya terseret-seret menyentuh tanah. Ia pernah datang ke Mekah, lalu ada orang yang berkata, ‘Siapa yang ingin membeli daging onta?’ (mengungkapkan besarnya badan Qays).”

Walaupun berbadan besar dan tak berjenggot, tapi Qays adalah seorang yang tampan.

Kedudukannya

Ketika ayah Qays, Saad bin Ubadah radhiallahu ‘anhu, memeluk Islam, ia memegang tangan putranya dan membawanya ke hadapan Rasulullah ﷺ. “Ini adalah pembantumu wahai Rasulullah.”, kata Saad. Rasulullah ﷺ pun memandangi Qays dan melihat aura kebaikan pada dirinya. Kemudian beliau ﷺ mendekatkan Qays di sisinya. Qays pun menempati kedudukan mulia sebagai orang yang dekat dengan Nabi ﷺ.

Diriwayatkan oleh at-Turmudzi, Abu Nu’aim al-Ashbahani, dan selain keduanya banyak hadits yang menjelaskan tentang khidmat Qays bin Saad radhiallahu ‘anhuma di rumah kenabian. Seperti hadits:

عَنْ قَيْسِ بْنِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ: أَنَّ أَبَاهُ دَفَعَهُ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم يَخْدِمَهُ، قال: فَأَتَى علىَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم، وقَدْ صَلَّيْتُ، قال: فَضَرَبَنِي بِرِجْلِهِ، وَقَال: “أَلا أَدُلُّكَ عَلَى بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ؟”، قُلْتُ: بَلَى، قال: “لا حَوْلَ ولا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ

Dari Qays bin Saad bin Ubadah, ayahnya menyerakan Qays kepada Nabi ﷺ untuk menjadi pembantu beliau. Qays berkata, “Nabi ﷺ datang menemuiku, saat itu aku baru selesai dari shalat. Beliau menyentuhku dengan kakinya. Kemudian bersabda, ‘Maukah aku tunjukkan engkau dengan pintu di antara pintu-pintu surga?’ ‘Tentu’, jawabku. Beliau bersabda, ‘(ucapkanlah dzikir) laa haula walaa quwwata illaa billaah’.” (HR. at-Turmudzi dan al-Albani berkomentar ‘Hadits ini shahih’).

Dari Maimun bin Abi Syabib, dari Qays bin Saad radhiallahu ‘anhuma, ia berkata,

“دَفَعَنِي أَبِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْدُمُهُ”

“Ayahku menyerahkanku kepada Nabi ﷺ agar aku membantu beliau.”

وَعَنْ مَرْيَمَ بْنِ أَسْعَدَ، قَالَ: “كُنْتُ مَعَ قَيْسِ بْنِ سَعْدٍ، وَقَدْ خَدَمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ سِنِينَ، تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ

Dari Maryam bin As’ad, ia berkata, “Aku pernah bersama Qays bin Saad. Ia berkhidmat (menjadi pembantu) Nabi ﷺ selama 10 tahun. Ia menyiapkan wudhu dan mengusapkan sepatu beliau.”

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas bin  Malik radhiallahu ‘anhu bahwasanya Qays bin Saad bin Ubadah bagi Nabi ﷺ kedudukannya bagaikan pemiliki syarat di sisi pemimpin. Karena dia diserahkan beberapa urusan. Ketika Kota Mekah berhasil dibebaskan pada tahun 8 H, Saad berkata kepada Nabi ﷺ agar Qays digeser dari posisi yang beliau berikan. Sang ayah khawatir anaknya mengutamakan sesuatu. Lalu Nabi pun menepikannya.

Ibnu Syihab mengatakan, “Yang membawa bendera Anshar bersama Rasulullah ﷺ adalah Qays bin Saad bin Ubadah.” Rasulullah ﷺ memberinya bendera (kepemimpinan) pada saat pembebasan Kota Mekah, setelah beliau ﷺ mencopot ayahnya karena berkata (kepada Abu Sufyan), “Hari ini adalah hari pembalasan. Hari saat yang haram dihalalkan. Dan hari ini Allah menghinakan kaum Quraisy”. Lalu Rasulullah ﷺ membantahnya dengan sabdanya, “Hari ini adalah hari kasih sayang. Hari dimana Allah muliakan orang-orang Quraisy”.

Mereka Allah muliakan dengan memeluk Islam. Siapa yang memeluk Islam, maka ia mulia. tidak lagi menyembah kepada sesama makhluq (sesama ciptaan). Tapi berganti menyembah sang Khaliq (sang Pencipta). Mereka menjadi merdeka karena terbebas dari penghambaan kepada selain Allah.

Dari ‘Ashim bin Amr bin Qatadah, Rasulullah ﷺ menugaskan Qays bin Saad bin Ubadah mengambil zakat. Qays bin Saad bin Ubadah radhiallahu ‘anhuma adalah seorang pemimpin yang ditaati, kaya, dermawan, salah seorang sahabat yang utama, orang Arab yang paling berani dan paling dermawan. Ia juga memiliki pemikiran yang bijak dan tepat. Juga pandai dalam strategi perang. Dan keluarganya adalah keluarga yang terpandang.

Abu Umar al-Waqidi mengatakan, “Qays bin Saad bin Ubadah merupakan salah seorang sahabat Rasulullah ﷺ yang paling dermawan dan paling pemberani. Ia merupakan singanya bangsa Arab. Seorang cendekiawan yang pandai dalam strategi perang. Tak terbantahkan lagi, ia adalah pemuka kaumnya. Dia, ayahnya, dan kakeknya adalah tokoh kaumnya. Dia, ayahnya, dan saudara laki-lakinya, Said bin Saad bin Ubadah adalah sahabat Nabi ﷺ.”

Kedermawanan Putra Kabilah Khazraj

Qays bin Saad memiliki karakter mulia yang banyak. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Namun yang begitu menonjol adalah sifat dermawan dan cerdas. Kedermawanan Qays layaknya warisan keluarga. Sejak dulu, orang-orang Arab telah mengenal kakek dan ayahnya sebagai dermawannya bangsa Arab. Mereka melayani tamu di siang hari. Dan menghidupkan api (memasak) mengundang orang asing untuk makan di malam hari.

Orang-orang mengatakan, “Siapa yang ingin lemak atau daging (siapa yang ingin gemuk), datanglah ke tempat makan Dulaim bin Haritsah. Kemudian pembantu Ubadah juga mengundang orang untuk yang demikian. Setelah Ubadah wafat, pembantunya Saad juga mengundang untuk itu”.

Nafi’ mengatakan, “Kemudian aku melihat Qays bin Sad bin Ubadah (bin Dulaim), dia adalah orang yang paling dermawan”.

Dikenal sebagai dermawan artinya telah berulang kali melakukan perbuatan derma. Saking seringnya perbuatan derma itu dilakukan hingga ia melekat kepada pelakunya dan disebut sebagai dermawan. Lalu bayangkan! Kedermawanan keluarga Qays telah dikenal sejak buyutnya. Orang-orang Arab dikenal dengan mudah memberi. Ketika orang-orang Arab menyifati seseorang dengan dermawan artinya orang tersebut sangat sering memberi. Apalagi ia disifati yang paling dermawannya dari bangsa Arab. Alangkah luar biasanya keluarga Qays dalam memberi.

Abdul Malik bin Said bin Saad bin Ubadah mengabarkan bahwa dulu Dulaim mempersembahkan 10 onta untuk Manat setiap tahun. Kemudian diteruskan oleh Ubadah. Kemudian Saad melanjutkannya. Ketika Qays bin Saad memeluk Islam, ia mengatakan, “Sungguh akan kupersembahkan untuk Ka’bah.” Maksudnya agar dinikmati bagi peziarah Ka’bah.

Qays bin Saad pernah berdoa, “Ya Allah, karuniakanlah aku keterpujian dan kehormatan. Sesungguhnya tidak ada sifat terpuji kecuali dengan melakukan sesuatu (aksi nyata). Dan tidak ada kehormatan kecuali dengan harta. Ya Allah, yang sedikit itu tidak memperbaikiku dan aku tidak memperbaiki keadaan (orang lain) dengannya”. Ada seseorang yang datang untuk berutang kepada Qays sebanyak 3000. Ketika orang itu mau melunasi hutangnya, Qays tidak menerimanya. Ia berkata, “Sesungguhnya kami tidak menerima kembali sesuatu yang telah kami beri”.

Dengan harta seseorang tidak akan meminta-minta, sehingga ia menjadi pribadi terhormat.

Abu Bakar, orang yang pernah mendermakan semua harta. Dan Umar, pernah menyumbangkan setengah yang ia miliki. Keduanyapun masih takjub dengan kedermawanan anak muda yang bernama Qays bin Saad radhiallahu ‘anhuma ini.

Aurah bin Zubair rahimahullah berkata, “Qays bin Saad menawarkan harta pemberian Muawiyah yang berjumlah 9000. Ia memerintahkan seseorang untuk mengumumkan kepada penduduk Madinah, ‘Siapa yang ingin berutang, silahkan datang ke rumah Saad’. Ada yang berutang 4000, 5000, dan 1000nya ia hadiahkan. Setelah itu ia mencatat orang-orang yang berhutang itu di sebuah buku catatan. Beberapa saat berlalu, ia jatuh sakit sehingga membuat simpanan bekalnya menipis. Qays berkata kepada istrinya, Quraibah bin Abi Quhafah, saudara perempuan Abu Bakar ash-Shiddiq, ‘Quraibah, tidakkah kau llihat perbekalanku semakin sedikit?’ ‘Hartamu ada pada orang-orang yang berutang’, jawab Quraibah. Lalu Qays mengutus seseorang menemui setiap pengutang dengan membawa catatan. Ia memerintahkan orang itu berseru, ‘Siapa yang memiliki utang pada Qasy bin Saad, maka harta itu untuk dia’. Yakni telah diberikan kepada mereka dan tak usah membayar.

Kecerdasan Qays bin Saad

Kecerdasan adalah potensi diri yang mengagumkan. Kecerdasan jika digunakan untuk kebaikan, maka bisa menghadirkan solusi di tengah kebuntuan masalah. Ide yang cerdas bisa menghadirkan perubahan di tengah kejumudan. Wajar orang-orang mengidamkan memiliki anggota keluarga yang cerdas. Qays bin Saad bin Ubadah radhiallahu ‘anhuma adala sosok pemuda Anshar yang cerdas. Ia jujur dan tahu kapasitas dirinya ketika mengatakan, “Kalau bukan karena Islam, sungguh aku bisa membuat konspirasi yang tidak bisa dipadamkan oleh orang-orang Arab”.

Potensi-potensi sumber daya manusia yang demikian, juga menjadi salah satu alasan Islam diturunkan di Arab. Dan Nabi ﷺ memilih Madinah sebagai tempat hijrah.

Sebelum Islam, Qays dikenal dengan seorang yang cerdas dan cerdik. Tidak ada orang di Madinah yang meragukan hal itu. Saat memeluk Islam, agama mulia ini mengajarkannya berinteraksi dengan manusia itu harus dengan ikhlasan bukan tipu daya.

Ibnu Syihab mengatakan, “Orang-orang yang paling cerdik dari bangsa Arab saat terjadi fitnah ada 5 orang. Mereka dikenal sebagai paling ahli dalam siasat dan strategi yang dimiliki Arab. Mereka adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, Amr bin al-Ash, Qays bin Saad bin Ubadah, al-Mughirah bin Syu’bah, dan Abdullah bin Budail bin Warqa al-Khuza’i. Qays dan Budail berada di pihak Ali. Amr berpihak pada Muawiyah. Sedangkan al-Mughirah tidak berada di pihak oposisi maupun pihak pemerintah. Kemudian ia memberi solusi untuk dua pihak itu sehingga kedua-belah pihak bersatu dengan solusi darinya.”

Setelah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu wafat, terjadi perselisihan besar antara sahabat Rasulullah ﷺ. Perselisihan itu menyebabkan peperangan. Sejarah mencatatnya dengan tinta tebal tak terlupa. Orientalis pun menemukan celah. Mereka mengatakan apapun yang mereka inginkan; sahabat Nabi ﷺ tamak terhadap dunia dan kekuasaan. Mereka ingin orang-orang lupa ayat dan hadits yang bercerita tentang keutamaan mereka. Mereka ingin kedudukan generasi pertama Islam hilang marwahnya. Sebagian orang menelan syubhat ini, baik muslim maupun non muslim. Allah ﷻ perlihatkan siapa yang benar cintanya kepada wali-wali-Nya dan siapa yang menyimpan kebencian serta mengikuti hawa nafsu.

Qays bin Saad Saat Terjadi Perselisihan Ali dan Muawiyah

Pada bagian pertama tulisan ini telah disinggung bahwa Qays berada di pihak Ali bin Abi Thalib saat terjadi perselisihan antara Ali dengan Muawiyah. Ia bersama Ali dalam Perang Shiffin, Jamal, dan Nahrawan.

Ibnu Yunus dalam Tarikhnya mengatakan, “Qays turut serta dalam penaklukkan Mesir. Kemudian ia membangun rumah di sana. Pada tahun 36 H, Ali mengangkatnya menjadi amir Mesir. Dan ia dicopot dari jabatannya tahun berikutnya, 37 H”.

Setelah tak lagi memegang kepemimpinan atas wilayah Mesir, Qays kembali ke Madinah. Ia tetap setia kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu karena yakin kebenaran lebih dekat pada Ali. Kedekatannya dengan Ali bukan karena pamrih jabatan dan kedudukan, tapi ikhlas karena kebenaran. Sebab itulah, saat jabatan hilang, hal itu tak mengubah pendiriannya. Kemudian ia berangkat ke Kufah menemui Ali bin Abi Thalib di sana. Ia tinggal di Kufah hingga sepupu Nabi ﷺ itu wafat di sana.

Setelah syahidnya Ali bin Abi Thalib, Qays membaiat Hasan bin Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin. Ia turut serta dalam pasukan besar yang dibawa Hasan menuju Syam. Sesampainya di Syam, al-Hasan mebaiat Muawiyah. Api perselisihan kaum muslimin pun padam. Baiat itu juga diikuti oleh Qays bin Saad. Kemudian ia kembali lagi ke Madinah.

Hadits-Hadit Yang Diriwayatkan Oleh Qasy

Qays bin Saad bin Ubadah radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan beberapa hadits. Banyak para sahabat dan tabi’in yang menerima hadits dari lisannya. Di antara perawi hadits yang meriwayatkan hadits darinya adalah Anas bin Malik, Tsa’labah bin Abi Malik, Bakr bin Suwadah, Abdullah bin Malik al-Jaisyani, Abdurrahman bin Abi Laila, Abu Ammar al-Hamdani, Aurah bin az-Zubair, asy-Sya’bi, Maimun bin Abi Syabib, Uraib bin Hamid al-Hamdani, al-Walid bin Abdah, Amr bin Syarahbil, Abu al-‘Ala, dll. Qasy menyampaikan hadits di Kufah, Syam, dan Mesir.

عَنْ عَبْد الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي لَيْلَى، قَالَ: كَانَ سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ، وقَيْسُ بْنُ سَعْدٍ قَاعِدَيْنِ بِالْقَادِسِيَّةِ فَمَرُّوا عَلَيْهِمَا بِجَنَازَةٍ فَقَامَا، فَقِيلَ لَهُمَا: إِنَّهَا مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ أَيْ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ، فَقَالَا: ” إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّتْ بِهِ جِنَازَةٌ فَقَامَ، فَقِيلَ لَهُ: إِنَّهَا جِنَازَةُ يَهُودِيٍّ، فَقَالَ: أَلَيْسَتْ نَفْسًا “

Dari Abdurrahmaan bin Abi Laila, ia berkata, “Sahl bin Hunaif dan Qays bin Saad pernah bertugas di al-Qaadisiyyah. Lewatlah jenazah di hadapan mereka, lalu keduanya pun berdiri. Dikatakan kepada mereka berdua, “Sesungguhnya jenazah itu adalah orang dari kalangan Ahludz-Dzimmah. Mereka berkata, “Sesungguhnya pernah lewat satu jenazah di hadapan Nabi ﷺ, lalu beliau berdiri. Dikatakan kepada beliau, ‘Sesungguhnya ia adalah jenazah orang Yahudi’. Beliau ﷺ bersabda, ‘Bukankah ia juga manusia’.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 1313, Muslim no. 960, an-Nasa’i no. 1921, dan yang lainnya).

Hadits lainnya:

وروى أبو نعيم عن قيس بن سعد بن عبادة، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “إنما جعل الاستئذان من أجل البصر

Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari Qasy bin Saad bin Ubadah bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya meminta izin (masuk rumah) disyariatkan demi menjaga pandangan mata.”

Dan hadits-hadits lainnya.

Wafat

Setelah membaiat Muawiyah bin Abi Sufyan, Qays bin Saad –radhiallahu ‘anhum jami’an- pulang menuju Madinah. Ia tinggal di kota suci itu hingga wafat pada tahun 60 H. Ada juga yang mengatakan tahun 59 H. Saat itu adalah masa akhir dari kekhalifahan Muawiyah bin Abu Sufyan.

Uncategorized

Sang Penerjemah Nabi

Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu adalah seorang sahabat Anshar. Ia dipilih sebagai ketua tim pembukuan Alquran di Abu Bakar dan di zaman Utsman bin Affan. Amanah yang besar itu tentu menunjukkan sebesar apa kapasitas dan kedudukan beliau dalam Islam dan sejarah umat Islam.

Asal-Usulnya

Beliau adalah Zaid bin Tsabit bin adh-Dhahak al-Anshari. Ia berasal dari Bani Najjar yang merupakan keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Saat Rasulullah tiba di Madinah, kondisi Zaid kala itu adalah seorang anak yatim. Ayahnya wafat pada Perang Bu’ats. Di tahun pertama hijrah itu, usia Zaid tidak lebih dari 11 tahun. Ia memeluk Islam bersama keluarganya. Rasulullah pun mendoakan keberkahan untuknya.

Kesungguhan Zaid

Sewaktu kecil, ia bersama orang-orang dewasa berangkat menemui Rasulullah untuk turut serta dalam Perang Badar. Tapi, Rasulullah tidak mengizinkannya karena ia terlalu muda dan badannya pun masih kecil. Tidak menyerah karena ditolak saat Perang Badar, saat Rasulullah menyiapkan pasukan Perang Uhud, Zaid kembali mendaftarkan diri. Kali ini ia berangkat bersama rombongan remaja seusianya. Berharap Rasulullah mengikut-sertakan mereka dalam pasukan mujahidin. Dan keluarga mereka lebih-lebih lagi harapannya agar Rasulullah menerima mereka.

Rasulullah memandangi mereka dengan pandangan terima kasih. Seakan-akan beliau menginginkan mereka untuk izin tidak ikut saja. Majulah anak muda yang bernama Rafi’ bin Khadij membawa sebuah belati atau tombak. Ia memamerkan keahliannya memegang senjata tersebut. Rafi’ berkata, “Sesungguhnya aku sebagaimana yang Anda lihat. Aku mahir dalam melempar senjata, karena itu izinkanlah aku.” Rasulullah pun mengizinkannya.

Kemudian Samurah bin Jundab pun maju. Salah seorang anggota keluarganya mengatakan, “Sesungguhnya Samurah lebih hebat dari Rafi.” Rasulullah pun mengizinkan beliau.

Tersisalah 6 orang pemuda pemberani lainnya. Di antara mereka ada Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar. Mereka mengeluarkan segala kemampuan membujuk rayu Rasulullah. Tak mempan dengan lisan, mereka bujuk dengan air mata. Belum juga berhasil dengan cara mengiba itu, mereka unjuk kekuatan dengan menunjukkan otot-otot mereka. Tapi usia mereka masih terlalu muda. Dan tubuh mereka masih begitu kecil. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak mereka secara halus sekaligus menghibur mereka dengan berjanji akan mengajak mereka pada perang selanjutnya.

Akhirnya, Zaid dan Tsabit bersama anak-anak seusiasanya memulai pengalaman jihad mereka di Perang Khandaq. Pada tahun 5 H.

Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu berkata, “Pada Perang Bu’ats aku berusia 6 tahun. Hal itu terjadi 5 tahun sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah. Dan saat itu aku berusia 11 tahun. Aku dipertemukan dengan Rasulullah. Mereka berkata, ‘Ada seorang anak dari Kabilah Khazraj yang telah menghafal 16 surat’. Namun beliau tidak mengizinkan aku di Perang Badar dan Uhud. Barulah aku diizinkan di Perang Khandaq.”

Zaid memegang bendera Bani Najjar di Perang Tabuk. Awalnya bendera tersebut di pegang Umarah bin Hazm, tapi Rasulullah mengambilnya dan menyerahkannya kepada Zaid. Umarah berkata, “Wahai Rasulullah, apakah ada sesuatu tentangku (yang buruk) yang sampai kepadamu?” “Tidak ada. Tapi, yang lebih banyak menghafal Alquran layak dikedepankan. Dan Zaid lebih banyak menghafal Alquran daripada engkau.”

Perlu diketahui, dahulu para sahabat menghafal 10 ayat-10 ayat. Ketika mereka sudah paham dan mengamalkannya barulah mereka menambah hafalan. Sehingga siapa yang paling banyak hafalannya, maka semakin baik kualitasnya di antara mereka.

Pemuda Anshar Yang Cerdas

Dari Amir, ia menceritakan:

Sesungguhnya tebusan tawanan Perang Badar adalah 40 ukiyah emas. Siapa yang memiliki kepandaian baca-tulis, mereka diperintahkan mengajar baca-tulis kepada 10 orang kaum muslimin. Di antara yang mendapat pengajaran adalah Zaid bin Tsabit. Zaid adalah seorang cendekia dan memiliki keistimewaan dalam berbagai bidang. Ia seorang penghafal Alquran. Juru tulis Nabi yang menulis wahyu yang turun kepada Rasulullah. Ia memiliki kualitas ilmu dan hikmah yang mendalam.

Ketika Rasulullah mulai menyampaikan risalah Islam keluar Madinah, melakukan surat-menyurat kepada para raja dan kaisar, beliau memerintahkan Zaid untuk mempelajari bahasa-bahasa mereka. Zaid pun berhasil menguasai bahasa-bahasa tersebut dalam waktu yang singkat.

Zaid bin Tsabit mengatakan, “Aku dipertemukan dengan Nabi saat beliau tiba di Madinah. Ada yang mengatakan, ‘Ini adalah seorang anak dari Bani Najjar. Ia telah menghafal 17 surat (diriwayat sebelumnya 16)’. Aku pun membacakannya di hadapan beliau. Beliau sangat terkesan. Lalu beliau berkata, ‘Pelajarilah bahasa Yahudi (bahasa Ibrani). Sesungguhnya aku tidak bisa membuat mereka beriman dengan kitabku’. Aku pun melakukan apa yang beliau minta. Berlalulah waktu tidak lebih dari setengah bulan, aku pun menguasainya. Kemudian aku menulis surat Nabi kepada mereka. Apabila mereka yang mengirimkan surat kepada beliau, akulah yang menerjemah.”

Dari Tsabit bin Ubaid dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, Rasulullah berkata kepadaku, “Apakah engkau bisa Bahasa Suryaniyah?” “Tidak,” jawabku. “Pelajarilah. Sungguh nanti akan datang surat-surat kepada kita”, pinta Rasulullah. Aku pun mempelajarinya dalam rentang waktu 17 hari.

Kita teringat dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ مَعَالِيَ الْأُمُوْرِ وَأَشْرَافِهَا وَيَكْرَهُ سَفْسَافَهَا

“Sesungguhnya Allah mencintai perkara yang terbaik dan membenci sesuatu yang asal-asalan.” (HR. ath-Thabrani).

Bagaimana pengaruh pendidikan Rasulullah terhadap para sahabat. Selain faktor kecerdasarn, tentu tekad dan kesungguhan juga berpengaruh besar. Sehingga Zaid begitu cepatnya menguasai bahasa-bahasa asing tersebut.

Al-A’masy mengatakan, “Pernah datang surat-surat kepada Zaid. Tapi ia tidak tertarik membacanya, kecuali yang ia percaya saja. Dari sinilah ia dikenal dengan panggilan Penerjemahnya Rasul.”

Penghafal Alquran

Sejak dimulainya dakwah Islam selama lebih kurang 20 tahun sejak wahyu pertama turun, terdapat sekelompok sahabat yang mampu menghafal dengan kemampuan biasa. Ada yang mampu menghafal semua yang tertulis. Ada pula yang menghafal semua ayat yang tersusun. Di antara mereka adalah Ali bin Abu Thalib, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, dan Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhum ajma’in. Setelah Alquran diturunkan secara sempurna, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakannya kepada para sahabat dengan berurutan sebagaimana susunan surat dan ayat yang kita ketahui sekarang.

Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu pernah menyetorkan hafalannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun wafat beliau. Di tahun itu, Zaid menyetorkan hafalannya sebanyak dua kali. Dan qiro-at tersebut dinamakan qiro-at Zaid bin Tsabit. Karena dia pula yang menulis dan mengajukannya kepada Nabi agar dikoreksi. Dan teks tersebut beliau bacakan kepada orang-orang hingga beliau wafat.

Awal Pembukuan Alquran

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, kaum muslimin dibuat sibuk dengan konflik melawan orang-orang murtad. Sehingga banyak korban jatuh dari kaum muslimin. Dalam Perang Yamamah (perang menghadapi nabi palsu, Musailimah al-Kadzab) misalnya, sejumlah besar penghafal Alquran gugur. Umar bin al-Khattab khawatir para penghafal Alquran terus berguguran karena konflik belum juga usai. Ia mendiskusikan ide membukukan Alquran dengan Khalifah Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar beristikharah. Bermusyawarah dengan para sahabat. Setelah itu, ia memanggil Zaid bin Tsabit, “Sesungguhnya engkau adalah seorang pemuda yang cerdas. Aku akan memberimu tugas penting…” Abu Bakar memerintahkanya membukukan Alquran.

Zaid pun memegang tanggung jawab besar. Ia diuji dengan amanah yang berat dalam proyek besar ini. Ia mengecek dan menelaah hingga terkumpullah Alquran tersusun dan terbagi-bagi berdasarkan surat masing-masing. Tentang tanggung jawab besar ini, Zaid berkata, “Demi Allah! Kalau sekiranya kalian bebankan aku untuk memindahkan bukit dari tempatnya, tentu hal itu lebih ringan daripada kalian perintahkan aku untuk membukukan Alquran.”

Ia juga mengatakan, “Aku meneliti Alquran, mengumpulkannya dari daun-daun lontar dan hafalan-hafalan orang.” Namun dengan taufik dari Allah ia berhasil menjalankan amanah besar tersebut dengan baik.

Penyeragaman Bacaan Alquran

Pada masa pemerintah Khalifah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu jumlah orang yang memeluk Islam semakin hari semakin bertambah. Hal itu terjadi di berbagai daerah. Tentu saja hal ini sangat positif. Namun, hal ini bukanlah tanpa celah. Daerah-daerah tersebut menerima riwayat qira-at yang berbeda-beda. Dan mereka belum mengenal variasinya. Sehingga mereka menyangka orang yang berbeda bacaan Alqurannya membuat-buat bacaan baru. Muncullah masalah baru.

Melalui usul sahabat Hudzaifah bin al-Yaman, Khalifah Utsman bin Affan pun membuat kebijakan menyeragamkan bacaan Alquran. Utsman mengatakan, “Siapakah orang yang paling dipercaya untuk menulis?” Orang-orang menjawab, “Penulisnya Rasulullah, Zaid bin Tsabit.” Utsman kembali mengatakan, “Siapakah yang paling fasih bahasa Arabnya?” Orang-orang menjawab, “Said bin al-Ash. Ia seorang yang dialeknya paling mirip dengan Rasulullah.” Utsman kembali mengatakan, “Said yang mendikte dan Zaid yang menulis.”

Zaid bin Tsabit meminta bantuan sahabat-sahabat yang lain. Para sahabat pun membawakan salinan Alquran yang ada di rumah Ummul Mukminin Hafshah binti Umar radhiallahu ‘anha. Para sahabat saling membantu dalam peristiwa besar dan bersejarah ini. Mereka jadikan hafalan Zaid sebagai tolok ukur. Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Pastilah para penghafal Alquran dari sahabat Muhammad tahu bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang yang sangat mendalam ilmunya.”

Keutamaan Zaid bin Tsabit

Figur seorang Zaid bin Tsabit memiliki kedudukan yang tinggi di tengah masyarakat. Kaum muslimin sangat menghormatinya. Suatu hari Zaid mengendarai hewan tunggangannya. Kemudian Abdullah bin Abbas mengambil tali kekangnya dan menuntunnya. Melihat hal itu, Zaid berkata, “Biarkan saja wahai anak paman Rasulullah.” “Tidak. Seperti inilah selayaknya kita menghormati ulama kita,” jawab Ibnu Abbas.

Yang Pertama Membaiat Abu Bakar

Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengisahkan:

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, orang-orang Anshar angkat bicara. Salah seorang di antara mereka mengatakan, ‘Wahai orang-orang Muhajirin, sesungguhnya jika Rasulullah menugaskan salah seorang di antara kalian, beliau akan menjadikan salah seorang di antara kami sebagai pendampingnya. Karena itu, kami memandang setelah beliau kepemimpinan ini dipegang oleh dua orang. Satu dari kalian dan satu dari kami’.

Orang-orang Anshar pun menyuarakan demikian. Lalu berdirilah Zaid bin Tsabit. Ia berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah berasal dari Muhajirin. Dan kepemimpinan itu pada Muhajirin dan kita adalah penolong mereka. Sebagaimana kita telah menjadi Anshar nya Rasulullah’.

Abu Bakar pun berdiri dan berterima kasih atas ucapan Zaid yang menenangkan suasana. Abu Bakar berkata, ‘Wahai orang-orang Anshar, benarlah apa yang teman kalian ucapkan. Seandainya kalian melakuakn selain itu, tentu kami tidak membenarkannya’.

Zaid menggapai tangan Abu Bakar, kemudian berkata, ‘Ini adalah sahabat kalian. Baiatlah dia’.

Apabila Abu Bakar berhaji, maka Umar dan Zaid bin Tsabit yang menggantikan beliau sebagai khalifah. Zaid juga diberi amanah membagi ghanimah di Perang Yarmuk. Ia juga merupakan salah seorang dari enam orang ahli fatwa: Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay, Abu Musa, dan Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhum ajma’in. Umar dan Utsman tidak melebihkan seorang pun dalam permasalah kehakiman, fatwa, faraidh, dan qiroa-ah dibanding Zaid bin Tsabit.

Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَرْحَمُ أُمَّتِي بِأُمَّتِي أَبُو بَكْرٍ وَأَشَدُّهُمْ فِي أَمْرِ اللَّهِ عُمَرُ وَأَصْدَقُهُمْ حَيَاءً عُثْمَانُ وَأَعْلَمُهُمْ بِالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَأَفْرَضُهُمْ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَأَقْرَؤُهُمْ أُبَيٌّ وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ

“Umatku yang paling penyayang terhadap yang lain adalah Abu Bakar. Yang paling kokoh dalam menjalankan perintah Allah adalah Umar. Yang paling jujur dan pemalu adalah Utsman. Yang paling mengetahui halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal. Yang paling mengetahui ilmu fara’idh (pembagian harta warisan) adalah Zaid bin Tsaabit. Yang paling bagus bacaan Alqurannya adalah Ubay. Setiap umat mempunyai orang kepercayaan. Dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR. at-Turmudzi 3791).

Seorang tokoh tabi’in, Muhammad bin Sirin, mengatakan, “Zaid bin Tsabit mengalahkan orang-orang dalam dua hal: Alquran dan faraidh.”

Wafatnya

Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu wafat pada tahun 45 H di masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu.

Di hari wafatnya Zaid, Abu Hurairah berkata, “Pada hari ini telah wafat tintanya umat ini. Semoga Allah menjadikan Ibnu Abbas sebagai penggantinya.”

Tinta adalah ungkapan untuk keluasan ilmu. Karena di zaman dahulu, menulis ilmu itu membutuhkan tinta.

Uncategorized

Abu Ayyub Mengisi Hidupnya Dengan Jihad Dijalan Allah

Siapakah Abu Ayyub al-Anshari?

Abu Ayyub al-Anshari radhiallahu ‘anhu adalah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan Anshar. Namanya adalah Khalid bin Zaid bin Kulaib bin Malik bin an-Najjar. Ia dikenal dengan nama dan kun-yahnya. Ibunya adalah Hindun binti Said bin Amr dari Bani al-Harits bin al-Khazraj. Ia adalah generasi awal memeluk Islam dari kalangan sahabat.

Abu Ayyub meriwayatkan hadits langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Ubay bin Ka’ab al-Anshari radhiallahu ‘anhu. Sementara sahabat-sahabat yang meriwayatkan hadits darinya adalah al-Barra bin Azib, Zaid bin Khalid, al-Miqdam bin Ma’di Karib, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Samrah, Anas bin Malik, dll. Dan banyak tabi’in meriwayatkan hadits darinya.

Di antara yang menunjukkan Abu Ayyub adalah orang yang pertama-tama memeluk Islam adalah ia turut serta dalam Baiat Aqabah. Dengan demikian, ia memeluk Islam sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Ia juga turut serta dalam Perang Badar dan perang-perang setelahnya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau tinggal di rumahnya hingga membangun rumah sendiri dan menyelesaikan pembangunan masjid.

Pengaruh Didikan Rasulullah Pada Abu Ayyub

Abdullah bin Abbas menceritakan suatu hari Abu Bakar keluar di siang hari. Saat matahari sedang panas-panasnya. Umar melihat Abu Bakar, kemudian ia bertanya, “Apa yang menyebabkanmu keluar di jam-jam seperti ini Abu Bakar?” “Tidak ada alasan lain yang membuatku keluar (rumah), kecuali aku merasa sangat lapar”, jawab Abu Bakar. Umar menanggapi, “Aku pun demikian -demi Allah- tidak ada alasan lain yang membuatku keluar kecuali itu.”

Saat keduanya dalam keadaan demikian Rasulullah keluar dan menghampiri keduanya. Beliau bersabda, “Apa yang menyebabkan kalian keluar pada waktu seperti ini?” Keduanya mengatakan, “Tidak ada yang menyebabkan kami keluar kecuali apa yang kami rasakan di perut kami. Kami merasa sangat lapar.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Aku juga -demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya- tidak ada hal lain yang membuatku keluar kecuali itu. Ayo berangkat bersamaku.”

Ketiganya pun beranjak. Mereka menuju rumah Abu Ayyub al-Anshari

Setiap hari, Abu Ayyub senantiasa menyediakan makanan untuk Rasulullah. Jika istri-istri beliau tidak punya sesuatu untuk dimakan, beliau biasa ke rumah Abu Ayyub. Ketika ketiganya sampai di rumah Abu Ayyub, istri Abu Ayyub, Ummu Ayyub, mengatakan, “Selamat datang Nabi Allah dan orang-orang yang bersama Anda”. Rasulullah bertanya, “Dimana Abu Ayyub?” Abu Ayyub yang sedang bekerja di kebun kurma mendengar suara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia bersegera menuju rumahnya dan mengatakan, “Marhaban untuk Rasulullah dan orang-orang yang bersamanya.

Abu Ayyub berkata, “Wahai Rasulullah, waktu ini bukanlah waktu kebiasaan Anda datang ke sini.” “Benar,” jawab Rasulullah.

Abu Ayyub segera memetikkan beberapa tangkai kurma kering, kurma basah, dan kurma muda. Kemudian menawarkannya kepada Rasulullah, “Rasulullah, makanlah ini. Aku juga akan menyembelihkan hewan untukmu,” kata Abu Ayyub. “Kalau engkau mau menyembelih, jangan sembelih yang memiliki susu,” kata Rasulullah.

Abu Ayyub kemudian menghidangkan masakannya. Rasulullah mengambil sepotong daging dan meletakkannya pada roti. Kemudian beliau meminta Abu Ayyub, “Wahai Abu Ayyub, tolong antarkan ini untuk Fatimah karena telah lama ia tidak makan yang seperti ini.”

Setelah kenyang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Roti, daging, kurma kering, kurma basah, dan kurma muda.” Beliau menitikkan air mata. Kemudian bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya. Ini adalah kenikmatan, yang nanti akan ditanyakan di hari kiamat.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dikenal sebagai orang yang senantiasa membalas kebaikan orang lain. Usai menyantap jamuan itu, Rasulullah berkata kepada Abu Ayyub, “Temuilah aku besok.” Keesokan harinya, beliau memberikan seorang anak perempuan untuk membantu-bantu di rumah Abu Ayyub. “Berbuat baiklah engkau padanya,” pesan Rasulullah kepada Abu Ayyub.

Abu Ayyub kembali ke rumahnya. Menemui istrinya dengan membawa budak perempuan itu. “Anak perempuan ini diberikan Rasulullah untuk kita. Beliau mewasiatkan agar kita berbuat baik dan memuliakannya.” Istrinya bertanya, “Kebaikan apa yang akan kau lakukan untuk menunaikan wasiat Rasulullah itu?” “Yang paling utama adalah membebaskannya dengan mengharapkan pahala dari Allah”, kata Abu Ayyub.

Demikian kehidupan sehari-hari Abu Ayyub. Lalu bagaimana keadaannya dalam kondisi perang?

Seorang Mujahid

Abu Ayyub al-Anshari adalah seorang mujahid di jalan Allah. Dikatakan, tidak ada satu perang pun di zaman Rasulullah yang tidak ia ikuti. Setelah Rasulullah wafat, ia tetaplah seorang mujahid. Perang terakhir yang ia ikuti adalah di zaman Kekhalifahan Muawiyah bin Abi Sufyan. Yaitu saat Muawiyah menyiapkan pasukan di bawah pimpinan anaknya, Yazid, untuk menyerang Konstantinopel. Saat itu umur Abu Ayyub mencapai 80 tahun. Perang tersebut menjadi perang terakhirnya. Dan ia dimakamkan di sana.

Meriwayatkan Hadits

Di antara hadits-hadits yang diriwayatkan Abu Ayyub al-Anshari dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:

Diriwayatkan oleh az-Zuhri, dari Atha bin Yazid al-Laitsi, dari Abu Ayyub al-Anshari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الْغَائِطَ فَلاَ يَسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ وَلاَ يُوَلِّهَا ظَهْرَهُ ، شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
“Jika kalian hendak buang hajat, maka janganlah menghadap kiblat, jangan pula membelakanginya akan tetapi hadaplah timur dan barat.”
Dari al-Barra bin Azib, dari Abu Ayyub al-Anshari radhiallahu ‘anhuma, ia berkata,
خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم بعدما غربت الشمس. فسمع صوتا. فقال “يهود تعذب في قبورها”.

“(Satu saat), Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar setelah tenggelam matahari; beliau mendengar suara,lalu bersabda, “(Mereka itu adalah orang-orang) Yahudi yang disiksa di dalam kubur mereka”
Dari Ibnu Syihab, dari Atha bin Yazid al-Laitsi, dari Abu Ayyub al-Anshari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ ، يَلْتَقِيَانِ فَيَصُدُّ هَذَا ، وَيَصُدُّ هَذَا ، وَخَيْرُهُمَا الَّذِى يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ
”Tidak halal bagi seorang muslim memboikot saudaranya lebih dari tiga hari. Jika bertemu, keduanya saling cuek. Yang terbaik di antara keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam.”

Wafat

Abu Ayyub mengisi hidupnya dengan jihad di jalan Allah. Perang terakhir yang ia ikuti adalah saat Muawiyah menyiapkan pasukan di bawah kepemimpinan anaknya, Yazid, untuk menaklukkan Konstantinopel. Saat itu, Abu Ayyub telah menginjak usia 80-an tahun. Tapi tidak membuat ia gengsi untuk berada di bawah kepemimpinan anak muda yang bernama Yazid. Di usia yang senja itu, beliau tetap bersemangat mengarungi lautan menggapai pahala jihad.

Baru saja menginjakkan kaki di sedikit wilayah musuh, ia jatuh sakit. Sehingga tak dapat turut serta lagi dalam peperangan. Yazid menjenguknya dan bertanya, ”Apakah Anda memiliki keinginan?”
”Sampaikan salamku kepada pasukan kaum muslimin. Katakan pada mereka tempuhlah wilayah musuh sejauh mungkin dan bawa jasadku bersama kalian. Agar kalian menguburkannya di bawah kaki kalian di sisi benteng konstantinopel.” Kemudian ia menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Dari Said bin Abdul Aziz, dari al-Walid, ia berkata, ”Muawiyah menyiapkan anaknya memimpin pasukan perang 55 H. Sebuah pasukan untuk berperang di laut dan darat. Hingga mereka menembus Teluk. Dan berperang dengan pasukan Konstantinopel di pintu bentengnya dan menguasainya.

Dari al-Ashma’i, dari ayahnya, bahwa Abu Ayyub dimakamkan di dinding benteng Konstantinopel. Di pagi harinya, orang-orang Romawi berkata, “Wahai orang-orang Arab, (kami melihat) terjadi sesuatu pada kalian semalam.” Mereka menjawab, “Telah wafat salah seorang sahabat senior dari Nabi kami.”

al-Waqidi mengatakan, “Abu Ayyub wafat pada tahun 52 H. Yazid mengimami shalat jenazahnya. Ia dimakamkan di sisi benteng Konstantinopel. Sungguh sampai kabar kepadaku bahwa orang-orang Romawi mencari makamnya. Kemudian meminta hujan dengan perantaranya.”

Khalifah mengatakan, “Abu Ayyub wafat pada tahun 50 H.” Sedangkan Yahya bin Bakri berpedapat Abu Ayyub wafat tahun 52 H. Artinya, sejarawan berbeda pendapat tentang tahun wafatnya Abu Ayyub.

Uncategorized

Menikahlah Jomblo

Rasulullah ﷺ memiliki beberapa sahabat yang menjadi pembantu beliau. Mengerjakan beberapa pekerjaan yang meringankan kesibukan beliau sebagai seorang pimpinan agama dan negara. Di antara pembantu beliau adalah Rabi’ah bin Ka’ab al-Aslami radhiallahu ‘anhu.

Rasulullah ﷺ adalah sosok penyayang dan perhatian. Beliau memperhatikan keadaan sahabat-sahabatnya. Membantu mereka yang kekurangan. Menjenguk yang sakit. Dan memberi masukan untuk kebaikan dunia dan akhirat mereka. Perhatian serupa beliau berikan juga pada Rabi’ah bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, Rabi’ah bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu bercerita:

Aku adalah seorang yang membantu Nabi ﷺ. Beliau berkata padaku, “Wahai Rabi’ah, apakah kau tidak ingin menikah?”

“Demi Allah, wahai Rasulullah, aku belum ingin menikah. Aku tak punya sesuatu yang bisa menanggung seorang wanita. Selain itu, aku tak ingin ada hal yang membuatku sibuk dari melayanimu.”, jawabku.

Kemudian Nabi ﷺ pun berlalu. Aku kembali melayani beliau seperti biasa.

Pada kesempatan berikutnya, beliau bertanya untuk kali kedua, “Wahai Rabi’ah, apakah kau tidak ingin menikah?”

“Aku belum ingin menikah. Aku tak punya sesuatu yang bisa menanggung seorang wanita. Selain itu, aku tak ingin ada sesuatu yang membuatku sibuk dari melayanimu.”, jawabku. Rabi’ah belum mengubah pendiriannya.

Nabi ﷺ pun berlalu. Kali ini aku merenungi diriku. “Demi Allah, sungguh Rasulullah ﷺ tahu sesuatu yang terbaik untuk kehidupan duniaku dan akhiratku. Dia lebih tahu dari diriku. Demi Allah. seandainya ia kembali bertanya tentang menikah, akan kukatakan kepadanya, ‘Iya Rasulullah, perintahkanlah aku dengan sesuatu yang engkau kehendaki’.” Gumam Rabi’ah.

Kemudian Rasulullah kembali bertanya, “Wahai Rabi’ah, apakah kau tidak ingin menikah?”

“Tentu mau, perintahkan aku dengan apa yang Anda kehendaki.”, jawabku.

Beliau memerintahkan, “Pergilah ke keluarga Fulan. Suatu kampung dari kalangan Anshar.” Mereka lambat menunaikan perintah Nabi ﷺ. “Katakan pada mereka, Rasulullah ﷺ mengutusku kepada kalian. Dia memerintahkan agar kalian menikahkanku dengan Fulanah -salah seorang wanita dari kalangan mereka-.”

Aku pun pergi. Dan kusampaikan kepada mereka bahwa Rasulullah ﷺ mengutusku kepada kalian. Beliau memerintahkan agar kalian menikahkanku dengan Fulanah. Mereka menjawab, “Selamat datang kepada Rasulullah dan utusannya Rasulullah ﷺ. Demi Allah, utusannya Rasulullah ﷺ tidak akan pulang kecuali keperluannya telah terpenuhi.”

Mereka menikahkanku dan bersikap lemah lembut terhadapku. Mereka sama sekali tidak minta penjelasan padaku. Kemudian aku kembali menemui Rasulullah ﷺ dalam keadaan haru. Beliau bertanya, “Apa yang terjadi padamu wahai Rabi’ah?”

“Wahai Rasulullah, aku menemui suatu kaum yang mulia. Mereka menikahkanku, memuliakanku, dan bersikap baik kepadaku. Mereka sama sekali tidak meminta bukti. Hanya sayangnya, aku tidak memiliki mas kawin.”, jawabku.

Rasulullah ﷺ berkata, “Wahai Buraidah al-Aslami, kumpulkan untuknya sebiji emas.”

Mendengar hal itu, para sahabat mengumpulkan biji emas untukku. Kuambil apa yang telah mereka kumpulkan. Kemudian aku kembali menghadap Nabi ﷺ. Beliau berkata, ‘Pergilah kepada mereka dengan membawa ini. Katakan! ini adalah mas kawinnya’. Aku berangkat menemui mereka dan kukatakan, “Ini mas kawinnya”. Mereka pun ridha dan menerimanya. “Mas kawin seperti ini sudah sangat banyak dan baik sekali”, kata mereka.

Rabi’ah al-Aslami radhiallahu ‘anhu melanjutkan:

Lalu aku pulang menemui Nabi ﷺ dalam keadaan sedih. Beliau bertanya, “Wahai Rabi’ah kenapa kamu bersedih?”

Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, aku tak pernah melihat kaum yang lebih mulia dari mereka. Mereka rela dengan apa yang kuberikan dan berlaku sangat baik. Kata mereka, ini sangat banyak dan bagus. Hanya sayang, aku tak punya sesuatu yang bisa kugunakan untuk mengadakan walimah. Beliau bersabda, “Wahai Buraidah, tolong kumpulkan kambing untuknya”.

Lalu mereka mengumpulkan kambing yang banyak dan gemuk. Setelah itu, Rasulullah ﷺ berkata padaku “Pergilah dan temuilah Aisyah dan katakan padanya agar dia mengirim beberapa keranjang berisi makanan”. Aku pun menemuinya dan kukatakan padanya segala yang Rasulullah ﷺ perintahkan padaku.

Ummul mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Ini keranjang berisi sembilan sha’ gandum. Demi Allah, jika besok ada makanan lain, ambillah.” Kuambil makanan itu dan kubawa menuju Nabi ﷺ. Ku-kabarkan pada beliau apa yang dikatakan Aisyah. Lalu beliau bersabda, “Bawalah barang-barang ini ke sana, dan katakan pada mereka agar mereka gunakan untuk membuat roti”. Aku berangkat ke sana. Membawa kambing dan berangkat bersama beberapa orang dari Aslam.

Seorang dari Aslam berkata, “Tolong besok barang-barang ini telah diolah menjadi roti”. Bersama beberapa orang Aslam, kutemui mereka dan kubawakan kambing. Salah seorang dari Aslam mengatakan “Tolong besok gandum ini diolah menjadi roti, dan kambing ini telah dimasak”.

Mereka menjawab, “Untuk membuat roti, cukuplah kami saja. Tapi untuk menyembelih kambing, kalianlah yang mengerjakannya”. Segera kami ambil kambing yang ada. Kami semebelih, lalu kami bersihkan. Kemudian memasaknya. Akhirnya tersedialah daging dan roti. Aku mengadakan walimah dengan mengundang Rasulullah ﷺ. Beliau pu memenuhi undanganku.

Pelajaran:

Pertama: Perhatian dan kasih sayang Rasulullah ﷺ kepada para sahabatnya. Terlebih mereka yang miskin. Inilah sifat beliau ﷺ yang Allah ﷻ puji dalam Alquran.

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS:At-Taubah | Ayat: 128).

Kedua: Nabi ﷺ memiliki tanggung jawab terhadap orang-orang yang berada di bawah tanggungannya.

Ketiga: Nabi ﷺ pandai membaca kondisi. Beliau ﷺ tahu apa yang terbaik dan yang dibutuhkan oleh orang lain.

Keempat: Nabi ﷺ tahu hal apa yang terbaik bagi dunia dan akhirat sahabatnya. Demikian juga untuk umatnya. Sehingga ketika kita tahu Nabi ﷺ memerintahkan kita pada suatu perkara, yakinlah! hal itu yang terbaik untuk kita. Walaupun kadang bertentangan dengan keinginan dan nafsu kita.

Kelima: Perhatikanlah bagaimana respon orang-orang yang beriman terhadap perintah Rasulullah ﷺ. Keluarga perempuan yang ditemui Rabi’ah begitu cepat menerima perintah Nabi ﷺ, tanpa menanyakan apapun. Syaikh Muhammad bin Nashir as-Suhaibani hafizhahullah mengatakan, “Mereka disebut lambat menunaikan perintah Nabi karena rumah mereka yang jauh dari Nabi. Atau mereka jarang bertemu Nabi.”

Keenam: Rasa persaudaraan di antara para sahabat begitu luar biasa. Persaudaraan yang bukan hanya sekadar pengakuan. Tapi mereka membuktikannya dengan saling tolong-menolong. Mereka mengumpulkan mahar dan mempersiapkan logistik untuk resepsi pernikahan Rabi’ah. Inilah gambaran masyarakat Madinah kala itu.

Ketujuh: Rasulullah ﷺ mengenal dengan baik pribadi Rabi’ah. Dan beliau juga mengetahui pribadi perempuan itu. Sehingga keduanya beliau anggap cocok. Sehingga pernikahan itu maslahat untuk keduanya.

Kedelapan: Rabi’ah menunda nikah karena ‘asyik’ dengan kegiatannya saat itu. Ia tidak mau ada hal yang menyibukkannya sehingga mengganggu ibadahnya. Yakni melayani Rasulullah ﷺ.

Kesembilan: Jika Anda benar-benar memahami hakikat menikah. Tanggung jawab dan konsekuensinya, maka menikah adalah solusi. Allahu A’lam..

Uncategorized

Kisah Doa Mustajab

Saad bin Abi Waqqash adalah salah seorang sahabat yang paling pertama memeluk Islam. Hanya beberapa orang sahabat saja yang mendahuluinya. Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu ajma’in merekala orangnya. Laki-laki Quraisy ini mengucapkan dua kalimat syahadat ketika berusia 27 tahun. Di masa kemudian, ia menjadi tokoh utama di kalangan sahabat. Dan termasuk 10 orang yang diberi kabar gembira sebagai penghuni surga.

Nasab Saad bin Abi Waqqash

Merupakan bagian penting dalam rekam jejak seseorang adalah nasab keluarga. Keluarga memiliki peran penting dalam pembentukan karakter seseorang. Ayah Saad adalah anak dari seorang pembesar bani Zuhrah. Namanya Malik bin Wuhaib bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Amir bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan.

Adnan adalah keturunan dari Nabi Ismail bin Ibrahim ‘alaihimassalam.

Malik, ayah Saad, adalah anak paman Aminah binti Wahab, ibu Rasulullah ﷺ. Malik juga merupakan paman dari Hamzah bin Abdul Muthalib dan Shafiyyah binti Abdul Muthalib. Sehingga nasab Saad termasuk nasab yang terhormat dan mulia. Dan memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi ﷺ.

Ibunya adalah Hamnah binti Sufyan bin Umayyah al-Akbar bin Abdu asy-Syams bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Amir bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan.

Ketika Rasulullah ﷺ sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya, beliau memuji dan mencandai Saad dengan mengatakan,

هَذَا خَالِي فَلْيُرِنِي امْرُؤٌ خَالَهُ

“Ini pamanku, maka hendaklah seseorang memperlihatkan pamannya kepadaku.” (HR. al-Hakim 6113 dan at-Tirmidzi 3752. At-Tirmidzi mengatakan hadist ini hasan).

Masa Pertumbuhan

Saad dilahirkan di Mekah, 23 tahun sebelum hijrah. Ia tumbuh dan terdidik di lingkungan Quraisy. Bergaul bersama para pemuda Quraisy dan pemimpin-pemimpin Arab. Sejak kecil, Saad gemar memanah dan membuat busur panah sendiri. Kedatangan jamaah haji ke Mekah menambah khazanah pengetahuannya tentang dunia luar. Dari mereka ia mengenal bahwa dunia itu tidak sama dan seragam. Sebagaimana samanya warna pasir gurun dan gunung-gunung batu. Banyak kepentingan dan tujuan yang mengisi kehidupan manusia.

Memeluk Islam

Mengenal Islam sejak lahir adalah sebuah karunia yang besar. Karena hidayah yang mahal harganya itu, Allah beri tanpa kita minta. Berbeda bagi mereka yang mengenal Islam di tengah jalannya usia. Keadaan ini tentu lebih sulit. Banyak batu sandungan dan pemikiran yang membingungkan.

Saad bin Waqqash memeluk Islam saat berusia 17 tahun. Ia menyaksikan masa jahiliyah. Abu Bakar ash-Shiddiq berperan besar mengenalkannya kepada agama tauhid ini. Ia menyatakan keislamannya bersama orang yang didakwahi Abu Bakar: Utsman bin Affan, Zubair bin al-Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Thalhah bin Ubaidillah. Hanya tiga orang yang mendahului keislaman mereka.

Dipaksa Meninggalkan Islam

Ketika Saad bin Abi Waqqash memeluk Islam, menerima risalah kerasulan Muhammad ﷺ, dan meninggalkan agama nenek moyangnya, ibunya sangat menentangnya. Sang ibu ingin agar putranya kembali satu keyakinan bersamanya. Menyembah berhala dan melestarikan ajaran leluhur.

Ibunya mulai mogok makan dan minum untuk menarik simpati putranya yang sangat menyayanginya. Ia baru akan makan dan minum kalau Saad meninggalkan agama baru tersebut.

Setelah beberapa lama, kondisi ibu Saad terlihat mengkhawatirkan. Keluarganya pun memanggil Saad dan memperlihatkan keadaan ibunya yang sekarat. Pertemuan ini seolah-olah hari perpisahan jelang kematian. Keluarganya berharap Saad iba kepada ibunda.

Saad menyaksikan kondisi ibunya yang begitu menderita. Namun keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya berada di atas segalanya. Ia berkata, “Ibu… demi Allah, seandainya ibu mempunyai 100 nyawa. Lalu satu per satu nyawa itu binasa. Aku tidak akan meninggalkan agama ini sedikit pun. Makanlah wahai ibu.. jika ibu menginginkannya. Jika tidak, itu juga pilihan ibu”.

Ibunya pun menghentikan mogok makan dan minum. Ia sadar, kecintaan anaknya terhadap agamanya tidak akan berubah dengan aksi mogok yang ia lakukan. Berkaitan dengan persitiwa ini, Allah pun menurunkan sebuah ayat yang membenarkan sikap Saad bin Abi Waqqash.

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS: Luqman | Ayat: 15).

Doanya Tidak Tertolak

Saad bin Abi Waqqash adalah seorang sahabat Rasulullah ﷺ yang memiliki doa yang manjur dan mustajab. Rasulullah ﷺ meminta kepada Allah ﷻ agar doa Saad menjadi doa yang mustajab tidak tertolak. Beliau ﷺ bersabda,

اللَّهُمَّ سَدِّدْ رَمَيْتَهُ، وَأَجِبْ دَعْوَتَهُ

“Ya Allah, tepatkan lemparan panahnya dan kabulkanlah doanya.” (HR. al-Hakim, 3/ 500).

Doa Rasulullah ﷺ ini menjadikan Saad seorang prajurit pemanah yang hebat dan ahli ibadah yang terkabul doanya.

Seorang Mujahid

Saad bin Abi Waqqash adalah orang pertama dalam Islam yang melemparkan anak panah di jalan Allah. Ia juga satu-satunya orang yang Rasulullah pernah menyebutkan kata “tebusan” untuknya. Seperti dalam sabda beliau ﷺ dalam Perang Uhud:

اِرْمِ سَعْدُ … فِدَاكَ أَبِيْ وَأُمِّيْ

“Panahlah, wahai Saad… Tebusanmu adalah ayah dan ibuku.”( HR. at-Tirmidzi, no. 3755).

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Aku tidak pernah mendengar Rasulullah ﷺ menebus seseorang dengan ayah dan ibunya kecuali Saad. Sungguh dalam Perang Uhud aku mendengar Rasulullah mengatakan,

اِرْمِ سَعْدُ … فِدَاكَ أَبِيْ وَأُمِّيْ

“Panahlah, wahai Saad… Tebusanmu adalah ayah dan ibuku.”( HR. at-Tirmidzi, no. 3755).

Dan Saad sangat merasa terhormat dengan motivasi Rasulullah ﷺ ini.

Di antara keistimewaan lain, yang ada pada diri Saad bin Abi Waqqash termasuk seorang penunggang kuda yang paling berani di kalangan bangsa Arab dan di antara kaum muslimin. Ia memiliki dua senjata yang luar biasa; panah dan doa.

Peperangan besar yang pernah ia pimpin adalah Perang Qadisiyah. Sebuah perang legendaris antara bangsa Arab Islam melawan Majusi Persia. 3000 pasukan kaum muslimin beradapan dengan 100.000 lebih pasukan negara adidaya Persia bersenjata lengkap. Prajurit Persia dipimpin oleh palingma mereka yang bernama Rustum. Melaui Saad lah, Allah memberi kemanangan kepada kaum muslimin atas negara adidaya Persia.

Umar Mengakui Amanahnya Dalam Memimpin

Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu pernah mengamanahi Saad jabatan gubernur Irak. Sebuah wilayah besar dan penuh gejolak. Suatu ketika rakyat Irak mengadukannya kepada Umar. Mereka menuduh Saad bukanlah orang yang bagus dalam shalatnya. Permasalahan shalat bukanlah permsalahan yang ringan bagi orang-orang yang mengetahui kedudukannya. Sehingga Umar pun merespon laporan tersebut dengan memanggil Saad ke Madinah.

Mendengar laporan tersebut, Saad tertawa. Kemudian ia menanggapi tuduhan tersebut dengan mengatakan, “Demi Allah, sungguh aku shalat bersama mereka seperti shalatnya Rasulullah. Kupanjangkan dua rakaat awal dan mempersingkat dua rakaat terakhir”.

Mendengar klarifikasi dari Saad, Umar memintanya kembali ke Irak. Akan tetapi Saad menanggapinya dengan mengatakan, “Apakah engkau memerintahkanku kembali kepada kaum yang menuduhku tidak beres dalam shalat?” Saad lebih senang tinggal di Madinah dan Umar mengizinkannya.

Ketika Umar ditikam, sebelum wafat ia memerintahkan enam orang sahabat yang diridhai oleh Nabi ﷺ -salah satunya Saad- untuk bermusyawarah memilih khalifah penggantinya. Umar berkata, “Jika yang terpilih adalah Saad, maka dialah orangnya. Jika selainnya, hendaklah meminta tolong (dalam pemerintahannya) kepada Saad”.

Sikap Saad Saat Terjadi Perselisihan Antara Ali dan Muawiyah

Saad bin Abi Waqqash menjumpai perselisihan besar yang terjadi pada kaum muslimin. Antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan, radhiallahu ‘anhum ajma’in. Sikap Saad pada saat itu adalah tidak memihak kelompok manapun. Ia juga memerintahkan keluarga adan anak-anaknya untuk tidak mengabarkan berita apapun kepadanya.

Keponakannya, Hisyam bin Utbah bin Abi Waqqash, berkata kepadanya, “Wahai paman, ini adalah 100.000 pedang (pasukan) yang menganggap Andalah yang berhak menjadi khalifah”. Saad menjawab, “Aku ingin dari 100.000 pedang tersebut satu pedang saja. Jika aku memukul seorang mukmin dengan pedang itu, maka ia tidak membahayakan. Jika dipakai untuk memukul orang kafir (berjihad), maka ia mematikan”. Mendengar jawaban pamannya, Hisyam paham bahwa pamannya, Saad bin Abi Waqqash sama sekali tidak ingin ambil bagian dalam permasalahan ini. Ia pun pergi.

Wafat

Saad bin Abi Waqqash termasuk sahabat yang berumur panjang. Ia juga dianugerahi Allah ﷻ harta yang banyak. Namun ketika akhir hayatnya, ia mengenakan pakaian dari wol. Jenis kain yang dikenal murah kala itu. Ia berkata, “Kafani aku dengan kain ini, karena pakaian inilah yang aku pakai saat memerangi orang-orang musyrik di Perang Badar”.

Saad wafat pada tahun 55 H. Ia adalah kaum muhajirin yang paling akhir wafatnya. Semoga Allah meridhainya.

Uncategorized

Sahabat Suhaib Sangat Dermawan

Suhaib ar-Rumi radhiallahu ‘anhu adalah salah seorang di antara sahabat senior Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mungkin tidak dikenal oleh banyak kaum muslimin. Ia merupakan as-sabiquna-l awwalun (orang-orang yang pertama memeluk Islam). Saat jumlah kaum muslimin masih sekitar 30-an orang, Suhaib telah menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan takut akan ancaman kafir Quraisy Mekah.

Suhaib bukanlah penduduk asli Mekah, ia adalah perantau yang datang ke Kota suci tersebut dari kampung halamannya di Bashrah. Nama belakangnya ar-Rumi yang artinya orang Romawi, juga bukanlah menunjukkan jati dirinya yang asli, karena dia adalah orang Arab.

Lalu, bagaimana kisah Suhaib bisa sampai ke Mekah?  Mengapa nama belakangnya ar-Rumi padahal ia orang Arab? Dan bagaimana kisah keislamannya? Simak kisahnya berikut ini.

Latar Belakang

Suhaib adalah anak dari salah seorang hakim di wilayah dekat Bashrah. Saat orang-orang Romawi menyerang daerah tersebut, Suhaib pun menjadi seorang budak Romawi. Ia tumbuh besar di wilayah Romawi tersebut, karena itulah ia dipanggil Suhaib ar-Rumi.

Nama aslinya adalah Suhaib bin Sinan bin Malik, kun-yahnya Abu Yahya. Banyak versi tentang nama aslinya, ada yang mengatakan Khalid bin Abdu Amr bin Aqil, ada juga yang mengatakan Thufail bin Amir bin Jandalah bin Saad bin Khuzaimah. Namun, insya Allah yang lebih tepat Suhaib bin Sinan bin Malik adalah nama asli beliau radhiallahu ‘anhu.

Ternyata, kisah pilunya sebagai budak membawanya kepada suatu hikmah yang tidak dia sangka-sangka. Seorang penjual budak menjualnya kepada salah satu orang kaya Mekah, namanya Abdullah bin Jad’an. Beberapa lama bersama tuan barunya tersebut, Suhaib memperlihatkan kualitas diri yang menunjukkan dia tidak layak menjadi seorang budak. Ia memiliki kecerdasan, etos kerja yang tinggi, dan ketulusan hati. Lalu Abdullah bin Jad’an pun membebaskan Suhaib ar-Rumi, dan berubahlah statusnya dari seorang budak menjadi orang merdeka. Setelah merdeka, Suhaib memulai jalan hidupnya di Mekah sebagai pedagang sehingga ia menjadi salah seorang pedangang yang sukses di Ummul Qura tersebut.

Memeluk Islam

Ammar bin Yasir mengisahkan:

Aku berjumpa dengan Suhaib bin Sinan di depan pintu rumah al-Arqam, saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di dalam rumah itu. Aku berkata kepada Suhaib, “Apa yang kau inginkan?” Namun Suhaib malah balik bertanya, “Kamu juga, apa yang kau inginkan?” Lalu kujawab, “Aku ingin masuk ke dalam rumah ini menemui Muhammad, lalu mendengarkan apa yang ia sampaikan.” Kata Suhaib, “Aku juga menginginkan hal yang sama.”

Ammar melanjutkan, “Kami berdua pun masuk ke dalam rumah al-Arqm, lalu menyatakan keislaman kami. Lalu kami berdiam di rumah hingga tiba sore hari, kemudian keluar dari rumah dalam keadaan takut.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

السباق أربعة: أنا سابق العرب، وصهيب سابق الروم، وبلال سابق الحبشة، وسلمان سابق الفرس

“Empat orang pendahulu: Aku adalah yang paling awal dari kalangan Arab, Suhaib paling awal dari kalangan Romawi, Bilal paling awal dari orang-orang Habasyah, dan Salam yang paling awal dari orang Persia.”

Kedudukan Suhaib

Salah satu peristiwa yang paling terkenal dan sangat mengagumkan dari perjalanan hidup Suhaib adalah kisah hijrahnya beliau radhiallahu ‘anhu. Sebagaimana telah disebutkan, Suhaib adalah seorang yang tidak memiliki apa-apa, lalu datang ke Mekah dan menjadi salah seorang pedagang yang kaya. Lalu datanglah panggilan hijrah, dan Suhaib pun menyambut panggilan tersebut.

Saat dalam perjalanan dari Mekah menuju Madinah, Suhaib dicegat oleh orang-orang Mekah. “Wahai Suhaib, engkau datang kepada kami dalam keadaan miskin dan hina, kemudian hartamu menjadi banyak setelah tinggal di daerah kami. Setelah itu terjadilah di antara kita apa yang terjadi (perselisihan karena Islam). Engkau boleh pergi, tapi tidak dengan semua hartamu.” Suhaib pun meninggalkan hartanya tanpa ia pedulikan sedikit pun.

Kemudian sampailah Suhaib di Madinah, lau ia berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang langsung mengucapkan,

ربح البيع أبا يحيى.. ربح البيع أبا يحيى

“Perdagangan yang amat menguntungkan wahai Abu Yahya, perdagangan yang amat menguntungkan wahai Abu Yahya.”

Suhaib berkata, “Wahai Rasulullah, tidak ada seorang pun yang melihat apa yang kualami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jibril yang memberi tahuku.”

Lalu turunlah ayat,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 207)

Suhaib dikenal sebagai seorang sahabat yang sangat dermawan dan sangat suka memberi orang-orang miskin makan. Saking rajinnya Suhaib dalam bersedakah, sampai-sampai Umar bin Khattab menganggapnya mubadzir (karena sedekah tidak tepat sasaran .pen). Kata Umar, “Wahai Suhaib, aku tidak melihat kekurangan pada dirimu kecuali dalam tiga hal: (1) Engkau menisbatkan diri sebagai orang Arab, padahal logatmu logat Romawi, (2) engkau berkun-yah dengan nama Nabi, (3) dan engkau orang yang mubadzir.”  Suhaib menanggapi, “Aku seorang yang mubadzir? Tidaklah aku berinfak kecuali dalam kebenaran. Adapun kun-yahku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang memberinya. Dan logatku logat Romawi, karena sejak kecil aku ditawan orang-orang Romawi. Sehingga logat mereka sangat berpengaruh padaku.” Saat Umar wafat, beliau mewasiatkan agar Suhaib yang menjadi imam shalat jenazahnya.

Ia juga selalu turut serta dalam peperangan yang diikuti oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Wafatnya

Suhaib wafat di Kota Madinah pada bulan Syawal tahun 38 H. Saat itu usia beliau 70 tahun. Semoga Allah Ta’ala meridhai beliau dan menempatkannya di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan.

Penutup

Kisah awal perjalanan hidup Suhaib radhiallahu ‘anhu sama halnya dengan apa yang terjadi dengan Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Beliau awalnya orang yang merdeka, lalu dijadikan budak dan dijual kepada salah seorang pembesar di negeri Mesir sampai akhirnya menjadi pemimpin di negeri tersebut.

Dari sini dapat kita petik pelajaran, terkadang Allah menimpakan sebuah musibah kepada kita, namun musibah tersebut adalah jalan yang harus kita lalui menjadi orang yang lebih baik atau bahkan orang yang hebat. Nabi Yusuf tidak akan menjadi pembesar di negeri Mesir seandainya beliau tidak menempuh perjalanan hidup menjadi seorang yang disisihkan saudaranya. Suhaib tidak akan mulia menjadi seorang muslim dan sahabat Rasulullah, jika ia tidak menempuh perjalanan hidup menjadi budak yang mengatarkannya ke Mekah hingga bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karena itu, janganlah kita berprasangka buruk kepada Allah atas musibah yang menimpa kita. Bisa jadi Allah simpan hikmah yang besar atau Allah persiapkan sesuatu yang istimewa di balik musibah yang kita derita.

Uncategorized

Jarang Pemuda Islam Seperti Ini

Masa muda atau usia remaja adalah saat orang-orang mulai mengenal dan merasakan manisnya dunia. Pada fase ini, banyak pemuda lalai dan lupa, jauh sekali lintasan pikiran akan kematian ada di benak mereka. Apalagi bagi mereka orang-orang yang kaya, memiliki fasilitas hidup yang dijamin orang tua. Mobil yang bagus, uang saku yang cukup, tempat tinggal yang baik, dan kenikmatan lainnya, maka pemuda ini merasa bahwa ia adalah raja.

Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada seorang pemuda yang kaya, berpenampilan rupawan, dan biasa dengan kenikmatan dunia. Ia adalah Mush’ab bin Umair. Ada yang menukilkan kesan pertama al-Barra bin Azib ketika pertama kali melihat Mush’ab bin Umair tiba di Madinah. Ia berkata,

رَجُلٌ لَمْ أَرَ مِثْلَهُ كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالِ الجَنَّةِ

“Seorang laki-laki, yang aku belum pernah melihat orang semisal dirinya. Seolah-olah dia adalah laki-laki dari kalangan penduduk surga.”

Ia adalah di antara pemuda yang paling tampan dan kaya di Kota Mekah. Kemudian ketika Islam datang, ia jual dunianya dengan kekalnya kebahagiaan di akhirat.

Kelahiran dan Masa Pertumbuhannya

Mush’ab bin Umair dilahirkan di masa jahiliyah, empat belas tahun (atau lebih sedikit) setelah kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan pada tahun 571 M (Mubarakfuri, 2007: 54), sehingga Mush’ab bin Umair dilahirkan pada tahun 585 M.

Ia merupakan pemuda kaya keturunan Quraisy; Mush’ab bin Umair bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Abdud Dar bin Qushay bin Kilab al-Abdari al-Qurasyi.

Dalam Asad al-Ghabah, Imam Ibnul Atsir mengatakan, “Mush’ab adalah seorang pemuda yang tampan dan rapi penampilannya. Kedua orang tuanya sangat menyayanginya. Ibunya adalah seorang wanita yang sangat kaya. Sandal Mush’ab adalah sandal al-Hadrami, pakaiannya merupakan pakaian yang terbaik, dan dia adalah orang Mekah yang paling harum sehingga semerbak aroma parfumnya meninggalkan jejak di jalan yang ia lewati.” (al-Jabiri, 2014: 19).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا رَأَيْتُ بِمَكَّةَ أَحَدًا أَحْسَنَ لِمَّةً ، وَلا أَرَقَّ حُلَّةً ، وَلا أَنْعَمَ نِعْمَةً مِنْ مُصْعَبِ بْنِ عُمَيْرٍ

“Aku tidak pernah melihat seorang pun di Mekah yang lebih rapi rambutnya, paling bagus pakaiannya, dan paling banyak diberi kenikmatan selain dari Mush’ab bin Umair.” (HR. Hakim).

Ibunya sangat memanjakannya, sampai-sampai saat ia tidur dihidangkan bejana makanan di dekatnya. Ketika ia terbangun dari tidur, maka hidangan makana sudah ada di hadapannya.

Demikianlah keadaan Mush’ab bin Umair. Seorang pemuda kaya yang mendapatkan banyak kenikmatan dunia. Kasih sayang ibunya, membuatnya tidak pernah merasakan kesulitan hidup dan kekurangan nikmat.

Menyambut Hidayah Islam

Orang-orang pertama yang menyambut dakwah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah istri beliau Khadijah, sepupu beliau Ali bin Abi Thalib, dan anak angkat beliau Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhum. Kemudian diikuti oleh beberapa orang yang lain. Ketika intimidasi terhadap dakwah Islam yang baru saja muncul itu kian menguat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah secara sembunyi-sembunyi di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam radhiyallahu ‘anhu. Sebuah rumah yang berada di bukit Shafa, jauh dari pengawasan orang-orang kafir Quraisy.

Mush’ab bin Umair yang hidup di lingkungan jahiliyah; penyembah berhala, pecandu khamr, penggemar pesta dan nyanyian, Allah beri cahaya di hatinya, sehingga ia mampu membedakan manakah agama yang lurus dan mana agama yang menyimpang. Manakah ajaran seorang Nabi dan mana yang hanya warsisan nenek moyang semata. Dengan sendirinya ia bertekad dan menguatkan hati untuk memeluk Islam. Ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah al-Arqam dan menyatakan keimanannya.

Kemudian Mush’ab menyembunyikan keislamannya sebagaimana sahabat yang lain, untuk menghindari intimidasi kafir Quraisy. Dalam keadaan sulit tersebut, ia tetap terus menghadiri majelis Rasulullah untuk menambah pengetahuannya tentang agama yang baru ia peluk. Hingga akhirnya ia menjadi salah seorang sahabat yang paling dalam ilmunya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya ke Madinah untuk berdakwah di sana.

Menjual Dunia Untuk Membeli Akhirat

Suatu hari Utsmani bin Thalhah melihat Mush’ab bin Umair sedang beribadah kepada Allah Ta’ala, maka ia pun melaporkan apa yang ia lihat kepada ibunda Mush’ab. Saat itulah periode sulit dalam kehidupan pemuda yang terbiasa dengan kenikmatan ini dimulai.

Mengetahui putra kesayangannya meninggalkan agama nenek moyang, ibu Mush’ab kecewa bukan kepalang. Ibunya mengancam bahwa ia tidak akan makan dan minum serta terus beridiri tanpa naungan, baik di siang yang terik atau di malam yang dingin, sampai Mush’ab meninggalkan agamanya. Saudara Mush’ab, Abu Aziz bin Umair, tidak tega mendengar apa yang akan dilakukan sang ibu. Lalu ia berujar, “Wahai ibu, biarkanlah ia. Sesungguhnya ia adalah seseorang yang terbiasa dengan kenikmatan. Kalau ia dibiarkan dalam keadaan lapar, pasti dia akan meninggalkan agamanya”. Mush’ab pun ditangkap oleh keluarganya dan dikurung di tempat mereka.

Hari demi hari, siksaan yang dialami Mush’ab kian bertambah. Tidak hanya diisolasi dari pergaulannya, Mush’ab juga mendapat siksaan secara fisik. Ibunya yang dulu sangat menyayanginya, kini tega melakukan penyiksaan terhadapnya. Warna kulitnya berubah karena luka-luka siksa yang menderanya. Tubuhnya yang dulu berisi, mulai terlihat mengurus.

Berubahlah kehidupan pemuda kaya raya itu. Tidak ada lagi fasilitas kelas satu yang ia nikmati. Pakaian, makanan, dan minumannya semuanya berubah. Ali bin Abi Thalib berkata, “Suatu hari, kami duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid. Lalu muncullah Mush’ab bin Umair dengan mengenakan kain burdah yang kasar dan memiliki tambalan. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau pun menangis teringat akan kenikmatan yang ia dapatkan dahulu (sebelum memeluk Islam) dibandingkan dengan keadaannya sekarang…” (HR. Tirmidzi No. 2476).

Zubair bin al-Awwam mengatakan, “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk dengan para sahabatnya di Masjid Quba, lalu muncullah Mush’ab bin Umair dengan kain burdah (jenis kain yang kasar) yang tidak menutupi tubuhnya secara utuh. Orang-orang pun menunduk. Lalu ia mendekat dan mengucapkan salam. Mereka menjawab salamnya. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji dan mengatakan hal yang baik-baik tentangnya. Dan beliau bersabda, “Sungguh aku melihat Mush’ab tatkala bersama kedua orang tuanya di Mekah. Keduanya memuliakan dia dan memberinya berbagai macam fasilitas dan kenikmatan. Tidak ada pemuda-pemuda Quraisy yang semisal dengan dirinya. Setelah itu, ia tinggalkan semua itu demi menggapai ridha Allah dan menolong Rasul-Nya…” (HR. Hakim No. 6640).

Saad bin Abi Waqqash radhiayallahu ‘anhu berkata, “Dahulu saat bersama orang tuanya, Mush’ab bin Umair adalah pemuda Mekah yang paling harum. Ketika ia mengalami apa yang kami alami (intimidasi), keadaannya pun berubah. Kulihat kulitnya pecah-pecah mengelupas dan ia merasa tertatih-taih karena hal itu sampai-sampai tidak mampu berjalan. Kami ulurkan busur-busur kami, lalu kami papah dia.” (Siyar Salafus Shaleh oleh Ismail Muhammad Ashbahani, Hal: 659).

Demikianlah perubahan keadaan Mush’ab ketika ia memeluk Islam. Ia mengalami penderitaan secara materi. Kenikmatan-kenikmatan materi yang biasa ia rasakan tidak lagi ia rasakan ketika memeluk Islam. Bahkan sampai ia tidak mendapatkan pakaian yang layak untuk dirinya. Ia juga mengalami penyiksaan secara fisik sehingga kulit-kulitnya mengelupas dan tubuhnya menderita. Penderitaan yang ia alami juga ditambah lagi dengan siksaan perasaan ketika ia melihat ibunya yang sangat ia cintai memotong rambutnya, tidak makan dan minum, kemudian berjemur di tengah teriknya matahari agar sang anak keluar dari agamanya. Semua yang ia alami tidak membuatnya goyah. Ia tetap teguh dengan keimanannya.

Peranan Mush’ab Dalam Islam

Mush’ab bin Umair adalah salah seorang sahabat nabi yang utama. Ia memiliki ilmu yang mendalam dan kecerdasan sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya untuk mendakwahi penduduk Yatsrib, Madinah.

Saat datang di Madinah, Mush’ab tinggal di tempat As’ad bin Zurarah. Di sana ia mengajrkan dan mendakwahkan Islam kepada penduduk negeri tersebut, termasuk tokoh utama di Madinah semisal Saad bin Muadz. Dalam waktu yang singkat, sebagian besar penduduk Madinah pun memeluk agama Allah ini. Hal ini menunjukkan –setelah taufik dari Allah- akan kedalaman ilmu Mush’ab bin Umair dan pemahamanannya yang bagus terhadap Alquran dan sunnah, baiknya cara penyampaiannya dan kecerdasannya dalam berargumentasi, serta jiwanya yang tenang dan tidak terburu-buru.

Hal tersebut sangat terlihat ketika Mush’ab berhadap dengan Saad bin Muadz. Setelah berhasil mengislamkan Usaid bin Hudair, Mush’ab berangkat menuju Saad bin Muadz. Mush’ab berkata kepada Saad, “Bagaimana kiranya kalau Anda duduk dan mendengar (apa yang hendak aku sampaikan)? Jika engkau ridha dengan apa yang aku ucapkan, maka terimalah. Seandainya engkau membencinya, maka aku akan pergi”. Saad menjawab, “Ya, yang demikian itu lebih bijak”. Mush’ab pun menjelaskan kepada Saad apa itu Islam, lalu membacakannya Alquran.

Saad memiliki kesan yang mendalam terhadap Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu dan apa yang ia ucapkan. Kata Saad, “Demi Allah, dari wajahnya, sungguh kami telah mengetahui kemuliaan Islam sebelum ia berbicara tentang Islam, tentang kemuliaan dan kemudahannya”. Kemudian Saad berkata, “Apa yang harus kami perbuat jika kami hendak memeluk Islam?” “Mandilah, bersihkan pakaianmu, ucapkan dua kalimat syahadat, kemudian shalatlah dua rakaat”. Jawab Mush’ab. Saad pun melakukan apa yang diperintahkan Mush’ab.

Setelah itu, Saad berdiri dan berkata kepada kaumnya, “Wahai Bani Abdu Asyhal, apa yang kalian ketahui tentang kedudukanku di sisi kalian?” Mereka menjawab, “Engkau adalah pemuka kami, orang yang paling bagus pandangannya, dan paling lurus tabiatnya”.

Lalu Saad mengucapkan kalimat yang luar biasa, yang menunjukkan begitu besarnya wibawanya di sisi kaumnya dan begitu kuatnya pengaruhnya bagi mereka, Saad berkata, “Haram bagi laki-laki dan perempuan di antara kalian berbicara kepadaku sampai ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya!”

Tidak sampai sore hari seluruh kaumnya pun beriman kecuali Ushairim.

Karena taufik dari Allah kemudian buah dakwah Mush’ab, Madinah pun menjadi tempat pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya hijrah. Dan kemudian kota itu dikenal dengan Kota Nabi Muhammad (Madinah an-Nabawiyah).

Wafatnya

Mush’ab bin Umair adalah pemegang bendera Islam di peperangan. Pada Perang Uhud, ia mendapat tugas serupa. Muhammad bin Syarahbil mengisahkan akhir hayat sahabat yang mulia ini. Ia berkata:

Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu membawa bendera perang di medan Uhud. Lalu datang penunggang kudak dari pasukan musyrik yang bernama Ibnu Qumai-ah al-Laitsi (yang mengira bahwa Mush’ab adalah Rasulullah), lalu ia menebas tangan kanan Mush’ab dan terputuslah tangan kanannya. Lalu Mush’ab membaca ayat:

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).

Bendera pun ia pegang dengan tangan kirinya. Lalu Ibnu Qumai-ah datang kembali dan menebas tangan kirinya hingga terputus. Mush’ab mendekap bendera tersebut di dadanya sambal membaca ayat yang sama:

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).

Kemudian anak panah merobohkannya dan terjatuhlah bendera tersebut. Setelah Mush’ab gugur, Rasulullah menyerahkan bendera pasukan kepada Ali bin Abi Thalib (Ibnu Ishaq, Hal: 329).

Lalu Ibnu Qumai-ah kembali ke pasukan kafir Quraisy, ia berkata, “Aku telah membunuh Muhammad”.

Setelah perang usai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memeriksa sahabat-sahabatnya yang gugur. Abu Hurairah mengisahkan, “Setelah Perang Uhud usai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencari sahabat-sahabatnya yang gugur. Saat melihat jasad Mush’ab bin Umair yang syahid dengan keadaan yang menyedihkan, beliau berhenti, lalu mendoakan kebaikan untuknya. Kemudian beliau membaca ayat:

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَىٰ نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya).” (QS. Al-Ahzab: 23).

Kemudian beliau mempersaksikan bahwa sahabat-sahabatnya yang gugur adalah syuhada di sisi Allah.

Setelah itu, beliau berkata kepada jasad Mush’ab, “Sungguh aku melihatmu ketika di Mekah, tidak ada seorang pun yang lebih baik pakaiannya dan rapi penampilannya daripada engkau. Dan sekarang rambutmu kusut dan (pakaianmu) kain burdah.”

Tak sehelai pun kain untuk kafan yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah. Andainya ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua kakinya. Sebaliknya, bila ditutupkan ke kakinya, terbukalah kepalanya. Sehingga Rasulullah bersabda, “Tutupkanlah kebagian kepalanya, dan kakinya tutupilah dengan rumput idkhir.”

Mush’ab wafat setelah 32 bulan hijrahnya Nabi ke Madinah. Saat itu usianya 40 tahun.

Para Sahabat Mengenang Mush’ab bin Umair

Di masa kemudian, setelah umat Islam jaya, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu yang sedang dihidangkan makanan mengenang Mush’ab bin Umair. Ia berkata, “Mush’ab bin Umair telah wafat terbunuh, dan dia lebih baik dariku. Tidak ada kain yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah”. (HR. Bukhari no. 1273). Abdurrahman bin Auf pun menangis dan tidak sanggup menyantap makanan yang dihidangkan.

Khabab berkata mengenang Mush’ab, “Ia terbunuh di Perang Uhud. Ia hanya meninggalkan pakaian wool bergaris-garis (untuk kafannya). Kalau kami tutupkan kain itu di kepalanya, maka kakinya terbuka. Jika kami tarik ke kakinya, maka kepalanya terbuka. Rasulullah pun memerintahkan kami agar menarik kain ke arah kepalanya dan menutupi kakinya dengan rumput idkhir…” (HR. Bukhari no.3897).

Penutup

Semoga Allah meridhai Mush’ab bin Umair dan menjadikannya teladan bagi pemuda-pemuda Islam. Mush’ab telah mengajarkan bahwa dunia ini tidak ada artinya dibanding dengan kehidupan akhirat. Ia tinggalkan semua kemewahan dunia ketika kemewahan dunia itu menghalanginya untuk mendapatkan ridha Allah.

Mush’ab juga merupakan seorang pemuda yang teladan dalam bersemangat menuntut ilmu, mengamlakannya, dan mendakwahkannya. Ia memiliki kecerdasan dalam memahami nash-nash syariat, pandai dalam menyampaikannya, dan kuat argumentasinya.

Uncategorized

Abdullah bin Ummi Maktum Muadzin Rasul Yang Jarang Diketahui

Sebagian orang hanya mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memiliki satu orang muadzin, yaitu Bilal bin Rabah radhiallahu ‘anhu. Padahal tidak hanya Bilal yang menjadi muadzin Rasulullah, ada nama lain yaitu Abdullah bin Ummi Maktum radhiallahu ‘anhu. Ketika kita sodorkan nama Abdullah bin Ummi Maktum, sebagian orang mungkin merasa asing, bahkan di antara mereka baru mendengar seorang sahabat yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum.

Kedua muadzin Rasulullah ini, Bilal bin Rabah dan Abdullah bin Ummi Maktum radhiallahu ‘anhuma, memiliki waktu khusus untuk mengumandangkan adzan. Bilal bin Rabah diperintahkan adzan pada waktu shalat tahajud –yang saat ini termasuk sunnah Nabi yang sudah jarang kita temui-, sedangkan Abdullah bin Ummi Maktum adzan pada saat datangnya waktu shalat subuh. Dari Ummul Mukminin, Aisyah radhiallahu ‘anha,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: ” أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ “

“Sesungguhnya Bilal adzan pada waktu (sepertiga) malam. Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Karena ia tidak akan adzan kecuali setelah terbitnya fajar shadiq (masuk waktu subuh).”

Latar Belakang

Abdullah bin Ummi Maktum adalah salah seorang sahabat senior Rasulullah, beliau termasuk di antara as-sabiquna-l awwalun (orang-orang yang pertama memeluk Islam). Ada yang mengatakan nama beliau adalah Umar, ada juga yang menyebut Amr, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggantinya dengan nama Abdullah.

Orang-orang Madinah mengenalnya dengan nama Abdullah, sedangkan orang-orang Irak menyebutnya Amr. Namun keduanya sepakat bahwa nasabnya adalah Ibnu Qays bin Za-idah bin al-Usham. Abdullah memiliki kedekatan nasab dengan Ummul Mukminin Khadijah radhiallahu ‘anha. Ibu dari Khadijah adalah saudaranya Qays bin Za-idah, ayah dari Abdullah.

Abdullah bin Ummi Maktum memiliki kekurangan fisik berupa kebutaan (tuna netra). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Sejak kapan, engkau kehilangan penglihatan?” Ia menjawab, “Sejak kecil.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قال الله تبارك وتعالى: إذا ما أخذتُ كريمة عبدي لم أجِدْ له بها جزاءً إلا الجنة

“Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Jika Aku mengambil penglihatan hamba-Ku, maka tidak ada balasan yang lebih pantas kecuali surga.”

Saat Allah memerintahkan Rasul-Nya dan kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah, maka Abdullah bin Ummi Maktum menjadi orang yang pertama-tama menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya tersebut. Walaupun ia memiliki kekurangan fisik, jarak antara Mekah dan Madinah yang jauh, sekitar 490 Km, ancaman dari orang-orang Quraisy, belum lagi bahaya dalam perjalanan, semua itu tidak menghalanginya untuk memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya.

Keistimewaan Abdullah bin Ummi Maktum

Selain memiliki keistimewaan sebagai seorang muadzin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abdullah bin Ummi Maktum juga merupakan orang kepercayaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat Rasulullah melakukan safar berangkat ke medan perang, beliau selalu mengankat Abdullah bin Ummi Maktum menjadi wali Kota Madinah menggantikan beliau yang sedang bersafar. Setidaknya 13 kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkatnya sebagai wali kota sementara di Kota Madinah.

Keistimewaan lainnya adalah Allah Ta’ala menjadi saksi bahwa Abdullah bin Ummi Maktum adalah seseorang yang sangat mencintai Alquran dan sunnah Nabi-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapat teguran dari Allah Ta’ala lantaran mengedepankan para pembesar Quraisy daripada Abdullah bin Ummi Maktum. Bukan karena tidak menghormati Abdullah bin Ummi Maktum, akan tetapi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berharap kemaslahatan yang lebih besar –dalam pandangan beliau- apabila para pembesar Quraisy ini memeluk Islam, namun ternyata hal itu tidak tepat di sisi Allah dan Allah langsung meluruskan dan membimbing Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kisahnya adalah sebagai berikut:

Pada masa permulaan dakwah Islam di Mekah, Rasulullah sering mengadakan dialog dengan para pembesar Quraisy, dengan harapan agar mereka mau menerima Islam. Suatu kali beliau bertatap muka dengan Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabi’ah, Amr bin Hisyam atau lebih dikenal dengan Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf dan Walid bin Mughirah, ayah Khalid bin walid.

Rasulullah berdiskusi dengan mereka tentang Islam. Beliau sangat ingin mereka menerima dakwah dan menghentikan penganiayaan terhadap para sahabat beliau.

Sementara beliau berunding dengan sungguh-sungguh, tiba-tiba Abdullah bin Ummi Maktum datang ‘mengganggu’ minta dibacakan kepadanya ayat-ayat Alquran.

Abdullah mengatakan, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Allah kepada Anda.”

Rasul yang mulia tidak memperdulikan permintaan Abdullah bin Ummi Maktum. Beliau agak acuh kepada perkataan Abdullah itu. Lalu beliau membelakangi Abdullah dan melanjutkan pembicaraan dengan pembesar Quraisy tersebut. Rasulullah berharap, mudah-mudahan dengan Islamnya mereka, Islam tambah kuat dan dakwah bertambah lancar.

Selesai berbicara dengan mereka, Rasulullah bermaksud hendak pulang. Tetapi tiba-tiba penglihatan beliau gelap dan kepala beliau terasa sakit seperti kena pukul. Kemudian Allah mewahyukan firman-Nya kepada beliau,

عَبَسَ وَتَوَلَّىٰ [1] أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَىٰ [2] وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّىٰ [3] أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَىٰ [4] أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَىٰ [5] فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّىٰ [6] وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّىٰ [7] وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَىٰ [8] وَهُوَ يَخْشَىٰ [9] فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّىٰ [10] كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ [11] فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ [12] فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ [13] مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ [14] بِأَيْدِي سَفَرَةٍ [15] كِرَامٍ بَرَرَةٍ [16]

“Dia ( Muhammad ) bermuka masam dan berpaling, karena seorang buta dating kepadanya, Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau mereka tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang dating kepadamu dengan bergegas (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali kali jangan (begitu)! Sesungguhnya ajaran Allah itu suatu peringatan. Maka siapa yanag menghendaki tentulah ia memperhatikannya. (Ajaran ajaran itu) terdapat di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi (senantiasa) berbakti.” (QS. 80 : 1 – 16).

Enam belas ayat itulah yang disampaikan Jibril Al-Amin ke dalam hati Rasulullah sehubungan dengan peristiwa Abdullah bin Ummi Maktum, yang senantiasa dibaca sejak diturunkan sampai sekarang, dan akan terus dibaca sampai hari kiamat.

Sejak hari itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin memuliakan Abdullah bin Ummi Maktum.

Syahidnya Sang Muadzin

Pada tahun 14 H, Amirul Mukminin Umar bin Khattab mengadakan konfrontasi dengan Kerajaan Persia. Beliau radhiallahu ‘anhu menulis surat kepada para gubernurnya dengan mengatakan, “Jangan ada seorang pun yang ketinggalan dari orang-orang yang memiliki senjata, orang yang mempunyai kuda, atau yang berani, atau yang berpikiran tajam, melainkan hadapkan semuanya kepadaku sesegera mungkin!” Lalu berkumpullah kaum muslimin, tergabung dalam pasukan besar yang dipimpin oleh sahabat yang mulia, Saad bin Abi Waqqash. Di antara pasukan tersebut terdapat Abdullah bin Ummi Maktum.

Abdullah bin Ummi Maktum masuk ke dalam pasukan Perang Qadisiyah dengan mengenakan baju besinya, tampil gagah, dan bertugas memegang panji bendera Islam. Tidak membuatnya gentar suara di medan perang yang menderu, dentingan tebasan pedang, ataupun desiran anak panah yang melesat. Baginya Amirul Mukminin telah membuka kesempatan bagi semua orang dalam jihad ini, ia pun tak mau melewatkan peluang berjihad di jalan Allah, walaupun bahaya sebagai seorang tuna netra lebih berlipat ganda.

Perang yang hebat pun berkecamuk, hingga sampailah pada hari ketiga, baru kaum muslimin berhasil mengalahkan pasukan negara adidaya Persia. Kemenangan tersebut menjadi kemenangan terbesar dalam sejarah peperangan Islam sampai saat itu. Namun kemenangan tersebut juga harus dibayar dengan gugurnya para syuhada, para pahlawan Islam, di antara mereka adalah sahabat dan muadzin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Abdullah bin Ummi Maktum radhiallahu ‘anhu. Jasadnya ditemukan terkapar di medan perang sambil memeluk bendera yang diamanatkan kepadanya untuk dijaga.

Akhirnya sang muadzin pulang ke rahmatullah, gugur sebagai pahlawan memerangi bangsa Majusi Persia. Semoga Allah Ta’ala menerima amalan-amalan Abdullah bin Ummi Maktum dan memasukkan kita dan beliau ke dalam surga Allah.

Baca Juga:

1. Mengenal Wanita Istimewa, Ummu Hani’ binti Abi Thalib

2. Jangan Menilai Seorang Dari Masalalunya

3. 3 Jenis Ziarah Kubur Yang Harus Anda Tahu