Uncategorized

Kisah Sahabat Zaid Al Khair

Biasanya, kisah shahabat nabi memiliki plot yang agak mirip. Awalnya memusuhi Islam, lalu datang hidayah dan selanjutnya berbalik secara drastis menjadi pembela Islam. Meski cahaya Islam telah menaungi, tapi tidak sedikit yang senantiasa dihantui kenangan hitam di masa jahiliyah. Seperti Umar bin Khattab yang selalu teringat anak putrinya yang telah ia bunuh atau Abu Sufyan al Haritsi yang terus saja menyesali permusuhannya pada Islam di masa lalu. Tapi diantara shahabat nabi yang lain, tidak sedikit pula yang “dari sana”nya memang orang baik-baik.

 Misalnya, tiga orang shahabat Nabi yang bernama “Zaid”; Zaid bin Haritsah yang menjadi budak pertama yang masuk Islam, Zaid bin Tsabit yang sejak kecil masuk Islam, dan yang terakhir adalah Zaid bin Muhalhil yang sejak masa jahiliyahnya sudah terkenal sebagai seorang yang penyayang.

Nah kisah kali ini adalah kisah Zaid bin Muhalhil. Dulu dia dijuluki Zaid al Khail, Zaid sang Kuda jantan. Sebuah julukan yang mengisyaratkankemuliaan dan kebaikan. Tapi setelah masuk Islam, gelar itu diganti oleh rasulullah dengan “Zaid al Khair” atau Zaid sang pemilik kebaikan.

Zaid al Khair, sejak masa jahiliyahnya, beliau memang sudah terkenal sebagai pribadi yang baik dan penyayang. Sebuah kisah yang diceritakan oleh asy Syaibani dari seorang kakek dari bani Amir, dia menuturkan bahwa suatu ketika bani Amir ditimpa paceklik. Hujan yang kunung turun mengakibatkan ladang menajdi tandus. Sang kakek yang pada saat itu masih belum terlalu tua, merasa kasihan dengan anak dan isterinya.

Ia pun mencoba mencari peruntungan dengan pergi ke Hairah. Sampai disana, dia katakan pada anak dan istrinya, “Kalian tunggulah aku di sini sampai aku kembali membawa harta atau aku mati.” Dengan sedikit perbekalan, dia pun pergi. Di jalan, dia melihat tenda yang disampingnya ada unta yang ditambatkan. Dia berpikir bahwa itu adalah ‘ghanimah’, harta rampasan. Dengan mengendap ia mencoba mengambil unta itu. Namun malang, terdengar suara dari tenda, “lepaskan unta itudan rampaslah dirimu sendiri.” Ia pun urung mengambil unta tersebut.

Setelah tujuh hari berjalan, ia menemukan tenda yang lebih besar dan megah. Disampingnya terdapat tambatan unta. Ia berpikir, pasti ada unta disini. Ia pun mengendap ke dalam tenda, ternyata di dalamnya hanya terdapat seorang kakek yang sudah renta. Saat itu hari sudah  mulai gelap. Ia pun mengendap dan tanpa sepengetahuan si kakek, dia bersembunyi di belakang tempat tidurnya. Lalu datanglah seorang penunggang kuda membawa seratusan ekor unta dan dua hamba sahaya. Ia berhenti dan berkata, “Perahlah unta ini, dan berikan pada kakek.” Salah seorang pembantunya pun memerah susu dan meletakkannya dihadapan sang kakek. Sang kakek pun meminum satu-dua teguk. Orang bani Amir yang bersembunyi dengan segera mengambil susu dan meminumnya hingga habis. Saat si pembantu masuk dia menemukan bejana susu sudah kosong. Ia berkata, “Kakek telah meminumnya semua.” Sang penunggang kuda menyuruh untuk memerah susu lagi. Kejadian serupa terjadi, tapi orang dari bani Amir hanya meminum separuh. Sang penunggang kuda lalu menyembelih kambing dan menyuapi sang kakek dengan tangannya. Setelah itu, ia dan dua hamba sahayanya makan samapi kenyang dan merekapun tertidur.

Kesempatan emas ini dimanfaatkan oleh orang dari Bani amir untuk membawa lari unta-unta yang ditambatkan tanpa penjaga. Ia hanya mengambil unta bunting yang ditambatkan. Tapi ternyata, unta-unta lain mengikutinya. Ia pun berjalan hingga siang keesokan harinya.

Sekonyong-konyong dari kejauhan ia melihat sesosok bayangan hitam mendekati. Ternyata dia adalah penunggang kuda. Setelah dekat, orang bani Amir mengambil panahnya dan siap menembak. Penunggang kuda berkata, “Lepaskan tali unta itu.” Orang Bani Amir berkata, “Tidak, aku meninggalkan isteri dan anak-anakku di Hairah, aku bersumpah aku tidak akan kembali kalau tidak membawa harta atau aku mati.”

Penunggang kuda berkata, “Kalau begitu, kau akan mati.” Terjadilah perdebatan. Tapi aneh, penungang kudaitu tidak menghunus pedang malah meminta agar orang Bani Amir itu memilih lubang tali kekang yang mana yang ingin dipanah. Ia pun memilih yang tengah. Penunggang kuda itupun memanah lubang tali itu seakan-akan ia memasukkanya dengan tangannya. Demikian pula dua lubang tali disampingnya. Tahu akan keakuratan tembakan musuhnya, orang dari Bani Amir menurunkan panahnya dan menyerah.

Penungganga kuda berkata, “Menurutmu, apa yang akan aku lakukan padamu?”

Orang bani amir menjawab, “Hal yang buruk.”

Penunggang kuda berujar, “Kau kira aku akan berbuat buruk padahal kau telah menemani “Muhalhil” makan, minum dan lalu engkau akan menyesali malam itu?”–Muhalhil ternyata adalah kakek di dalam tenda yang bukan lain adalah ayah penunggang kuda-. Mendengar nama Muhalhil yang kesohor, orang Bani Amir berkata, “ Jadi anda adalah Zaid al Khail, putra Muhalhil? Kalau begitu berbuat baiklah atas tawananmu ini.”

Penunggang kuda berkata, “Tak masalah. Kalau saja unta ini milikku pasti akan aku berikan padamu. Tapi unta-unta ini milik saudariku.”

Itulah Zaid di masa Jahiliyah. Sedang pada masa keislamannya, Zaid seumpama emas yang disepuh, mengkilap dan semakin indah. Beliau masuk Islam setelah mendengar khutbah Nabi Muhammad. Begitu mudah dan lancar hidayah mengalir ke sanubarinya. Setelah bersyahadat, Rasulullah bertanya, “Siapa kamu?” Zaid menjawab, “ Saya Zaid al Khail.” Rasulullah bersabda, “kamu Zaid al Khair, bukan al Khail.” Lalu Zaid diajak ke rumah beliau dan diberi bantal untuk bersandar. Tapi Zaid menolak karena sungkan duduk bersandar di hadapan Rasulullah.

Rasulullah bersabbda, “ Wahai Zaid, belum pernah ada orang yang diceritakan ciri-cirinya kepadaku, lalu aku menemukannya lebih dari yang diceritakan, selain dirimu. Wahai Zaid sesungguhnya pada dirimu ada dua hal yang dicintai Allah.”

Zaid bertanya, “ Apa itu  wahai Rasulullah?”

Rasulullah bersabda, “Sifat welas asih dan lemah lembut.”

Zaid berkata, “ Segala puji bagi allah yang telah memberiku sifat yang dicintainya.”

Lalu seluruh pengikut Zaid memeluk Islam. Pada hari menjelang kepulangannya, Madinah terkena wabah demam. Zaid tetap pulang menuju kaumnya dengan harapan kaumnya bisa mendapat hidayah sepertinya. Tapi ajal tak dapat ditolak, Zaid terkena wabah demam dan belum sampai ia masuk ke rumahnya, malaikat maut telah menjemput dirinya.

Subhanallah, antara keislaman dan ajalnya, tak terdapat sedikitpun celah baginya untuk bermaksiat.

Uncategorized

Kisah Sahabat Wahsy Bin Harb

Semasa jahiliyahnya, Wahsyi –budak berkulit hitam yang merupakan penombak ulung – berhasil menombak Hamzah, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki julukan Asadullah (singa Allah). Namun ketika ia telah berislam, ia membunuh Musailamah Al-Kadzdzab sang Nabi palsu. Wahsyi bin Harb dikenal juga dengan Abu Dasamah. Dia adalah hamba sahaya Jubair bin Muth’im, seorang bangsawan Quraisy.

Pamannya, Thu’aimah bin Adi, tewas dalam Perang Badar di tangan Hamzah bin Abdul Muthalib. Dia sangat sedih dan geram dengan kematian pamannya itu. Ia senantiasa menunggu waktu yang tepat untuk membalas dendam.

Tidak beberapa lama kemudian, kaum Quraisy mengambil keputusan untuk pergi ke Uhud guna menghukum Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya yang telah membunuh kawan-kawan mereka pada saat Perang Badar. Dibentuklah sebuah pasukan besar yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb.

Abu Sufyan memutuskan untuk mengikutsertakan para wanita, yang keluarga mereka telah terbunuh dalam Perang Badar untuk menggelorakan semangat prajurit dalam berperang. Mereka ditempatkan di samping laki-laki untuk mencegah mereka agar tidak melarikan diri.

Di antara para wanita yang pertama-tama mendaftarkan diri adalah Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan bin Harb. Ayahnya, Utbah bin Rabfah dibunuh oleh Ubaidah bin Harits. Pamannya, Syaibah bin Rabi’ah tewas di tangan Hamzah bin Abdul Muthalib, dan saudaranya, Al-Walid bin Utbah mati di tangan Ali bin Abi Thalib.

Semuanya tewas di medan Badar. Karena itu dendam Hindun sangat besar terhadap kaum Muslimin, terutama Hamzah bin Abdul Muthalib.

Ketika pasukan Quraisy akan berangkat, Jubair bin Muth’im berkata kepada Wahsyi, “Wahai Abu Dasamah, maukah engkau bebas dari perbudakan.”

“Bagaimana caranya,” tanya Wahsyi.

“Bila engkau berhasil menewaskan Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Muhammad yang telah membunuh pamanmu, Thu’aim bin Adi, maka engkau kubebaskan dari perbudakan,” kata Jubair.

“Siapa yang menjamin kebebasanku bila aku berhasil?” tanya Wahsyi.

“Siapa saja yang engkau kehendaki. Akan kupersaksikan janjiku ini kepada seluruh masyarakat,” tegas Jubair.

Wahsyi pun setuju dengan perjanjian tersebut. Ia segera mengambil tombaknya dan berangkat bersama-sama dengan pasukan Quraisy. Ia berada di belakang pasukan bersama para wanita karena ia tidak terlalu mahir berperang. Hanya saja, Wahsyi memiliki kemahiran melempar tombak. Lemparannya tidak pernah meleset sedikit pun dari sasaran.

Setiap kali bertemu dengan Wahsyi, Hindun selalu melihat ke arah tombaknya yang berkilat-kilat kena sinar matahari, sembari berkata, “Wahai Abu Dasamah, sembuhkanlah luka hati kami. Tuntutkan bela dari Muhammad atas kematian bapak, paman, dan saudara kami.”

Ketika dua pasukan bertemu, Wahsyi keluar dari tenda dan mengincar Hamzah dengan diam-diam. Ia memang telah mengenalnya sebelum itu.

Tidak sulit bagi siapa pun untuk mengetahui siapa Hamzah bin Abdul Muthalib, karena dia selalu memakai bulu burung unta di kepalanya sebagai tanda kepahlawanan seperti lazimnya orang Arab waktu itu.

Memang, tidak lama kemudian, Wahsyi melihat Hamzah maju bagaikan unta kelabu, merobohkan lawan-lawannya dengan pedang tanpa hambatan. Tidak ada yang berani menghadang atau berdiri di hadapannya.

Sementara itu, Wahsyi berdiri di balik sebuah batu besar, menunggu Hamzah mendekat ke arahnya. Tiba-tiba seorang penunggang kuda pasukan Quraisy yang bernama Siba’ bin Abdul Uzza datang dan menantang Hamzah ke arah Wahsyi.

“Lawanlah aku, wahai Hamzah! Kemarilah!” tantang Siba’.

Hamzah menoleh lalu melompat ke arah Siba’. Tangannya bergerak memukulkan pedang. Sekali tebas Siba’ jatuh tersungkur bermandikan darah di hadapan Hamzah.

Wahsyi mengambil ancang-ancang dengan posisi yang tepat sambil membidikkan tombaknya. Setelah dirasa mantap, ia lemparkan senjata tersebut ke arah Hamzah. Tombak itu melesat tepat mengenai perut Hamzah bagian bawah, tembus ke selangkangannya.

Pahlawan Islam yang dikenal dengan ‘Singa Allah’ itu melangkah berat kira-kira dua langkah, kemudian jatuh dengan tombak bersarang di tubuhnya. Wahsyi tidak bergerak dari tempat persembunyiannya. Setelah yakin Hamzah benar-benar mati, baru ia mendatangi tubuh Hamzah dan mencabut tombaknya lalu kembali ke perkemahan karena tidak ada kepentingan selain itu.

Pertempuran berkecamuk dengan sengitnya. Korban pun mulai berjatuhan. Tatkala tentara kaum Muslimin mengalami desakan hebat, Hindun dan beberapa wanita lainnya keluar dari perkemahan, lalu melangkah di antara mayat-mayat yang bergelimpangan.

Satu persatu ia bedah perut dan ia congkel mata mereka. Sedangkan hidung dan telinga, ia potong lalu dibuatnya menjadi kalung dan ia pakai. Hati Hamzah bin Abdul Muthalib ia kunyah dan muntahkan kembali.

Seusai pertempuran, Wahsyi kembali ke Kota Makkah bersama rombongan tentara Quraisy. Sampai di Makkah, ia pun dibebaskan oleh Jubair sesuai dengan janjinya. Sejak saat itu, Wahsyi bebas dari perbudakan dan merdeka.

Hari-hari terus berlalu. Kaum Muslimin yang berada di Madinah kian bertambah. Pasukan mereka semakin kuat dan besar. Semakin bertambah kekuatan kaum Muslimin, semakin besar kekhawatiran Wahsyi. Kegelisahan dan ketakutan semakin menghantuinya.

Tatkala kaum Muslimin berhasil menguasai Kota Makkah, Wahsyi melarikan diri ke kota Thaif mencari tempat yang aman. Namun hanya beberapa saat saja, penduduk Thaif pun menyatakan diri masuk Islam. Wahsyi bingung hendak lari ke mana.

Penyesalan datang menghinggapi dirinya. Bumi yang luas terasa sempit. Dalam keadaan seperti itu, seorang sahabat menasihatinya, “Percuma saja engkau melarikan diri, Wahsyi. Demi Allah, Muhammad tidak akan membunuh orang yang masuk agamanya dan mengakui kebenaran Allah dan rasul-Nya,” ujar sahabat tersebut.

Mendengar nasihat itu, Wahsyi berangkat ke Madinah. Di hadapan Rasulullah ia menyatakan diri masuk Islam. Namun, begitu mengetahui Wahsyi adalah pembunuh pamannya, Hamzah, Rasulullah memalingkan mukanya dan tidak mau melihat wajah Wahsyi. Hal itu terjadi sampai beliau wafat.

Walaupun Wahsyi tahu bahwa Islam menghapus dosa-dosanya yang telah lalu, tapi ia tetap menyesal. Ia tahu, musibah yang ia timpakan kepada kaum Muslimin saat itu sangat besar dan keji. Ia telah membunuh seorang pahlawan Islam secara licik dan tidak jantan. Karena itu, Wahsyi selalu menunggu kesempatan untuk menebus dosanya.

Setelah Rasulullah wafat, kepemimpinan kaum muslimin beralih ke tangan Abu Bakar Shiddiq radhiallahuanhu. Di bawah pimpinan Musailamah al kadzab si nabi palsu, Bani Hanifah dari Nejed, murtad dari agama Islam. Khalifah Abu Bakar menyiapkan bala tentara untuk memerangi Musailamah dan mengembalikan Bani Hanifah ke pangkuan Islam.

Wahsyi tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Bersama pasukan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid, ia berangkat ke medan Yamamah. Tidak lupa tombak yang ia pakai untuk membunuh Hamzah, ia bawa. Dalam hati ia bersumpah akan membunuh Musailamah atau ia tewas sebagai syahid.

Ketika kaum Muslimin berhasil mendesak Musailamah dan pasukannya ke arah “Kebun Maut”, Wahsyi termasuk salah seorang yang selalu mengintai nabi palsu itu.

Saat Al-Barra’ bin Malik berhasil membuka pintu gerbang pertahanan musuh, Wahsyi dan kaum Muslimin tumpah ruah menyerbu markas Musailamah. Seorang Anshar turut mengincar Musailamah seolah-olah tidak boleh ada orang lain yang mendahuluinya.

Wahsyi bin Harb melompat ke depan. Setelah berada dalam posisi yang tepat, ia bidikkan tombaknya ke arah sasaran. Begitu dirasa tepat, Wahsyi melemparkan senjatanya! Tombaknya melesat ke depan mengenai sasaran.

Pada saat yang sama, prajurit Anshar yang sejak semula turut mengincar, melompat secepat kilat dan memukul leher Musailamah dengan pedangnya.

Hanya Allah-lah yang Maha tahu, siapa sebenarnya yang membunuh Musailamah. Wahsyi atau prajurit Anshar itu? Jika benar yang membunuhnya adalah Wahsyi, berarti ia telah menebus kesalahannya membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib dalam Perang Uhud. Apakah ganjaran orang yang telah membunuh musuh Islam kecuali surga?

Konten Islami Lainnnya:

– Sholat Jangan Buru-Buru
– Komik Pahlawan Islam Anas bin Nadhar
– Komik Mantan Napi Berulah Lagi
– Bantuan Dari Allah Saat Kesulitan
– 3 Hal Yang Dilakukan Saat Bangun Untuk Sahur
– Kenapa Dia Begitu Cinta Al-Qur’an

– Hindari Berkata Kotor
– Perang Melawan Hawa Nafsu
– Jangan Mencari Keburukan Orang
– Komik Islami Tentang Cinta
– Jomblo Halu Kepengen Punya Istri

– Komik Islami Pakai Yang Kanan
– Komik Islami Simple
– Jangan Benci Muslimah Bercadar
– Waspada 3 Pintu Menuju Neraka
– Kalau Sholat Jangan Lari Larian

– Perlunya Kerjasama Dalam Rumah Tangga
– Baju Koko Vs Jersey – Komik Islami
– Dunia Hanya Sementara
– Komik Islami Bahasa Inggris
– Komik Islami Tarawih Surat Pendek

– Kisah Pendek Khutbah Jum’at
– Menunggu Punahnya Corona
– Komik Pendek Islami
– Jangan Pernah Menunda Ibadah
– Komik Islami Hitam Putih

– Parno Karena Batuk Corona
– Komik Islami Doa Pejuang Nafkah
– Komik Islami Muslimah Memanah Dan Tahajud
– Komik Islami Hidup Bahagia
– Komik Islami Nasehat Dan Renungan
– Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia Yang Sebenarnya

– Komik Islami Sakit Penggugur Dosa
– Komik Nasehat Islami Adab Menguap
– Lupa Rakaat Sholat – Komik Islami
– Komik Islami Saling Mendoakan
– Hari Pertama Puasa
– Adab Masuk Rumah Kosong

Selamat Membaca.. Bantu Kami Dengan Donasi.. Dengan Kontak Businessfwj@gmail.com
Uncategorized

Kisah Sahabat Utsman bin Affan

Ia adalah khalifah ketiga yang memerintah dari tahun 644 (umur 69–70 tahun) hingga 656 (selama 11–12 tahun). Selain itu sahabat nabi yang satu ini memiliki sifat yang sangat pemalu. Utsman bin Affan 574-656 / 12 Dzulhijjah 35 H; umur 81–82 tahun) adalah sahabat Nabi Muhammad yang termasuk Khulafatu Rosyiddin yang ke-3. Utsman adalah seorang yang saudagar yang kaya tetapi sangatlah dermawan. Ia juga berjasa dalam hal membukukan Al-Qur’an

Utsman bin Affan adalah sahabat nabi dan juga khalifah ketiga dalam Khulafaur Rasyidin. ia dikenal sebagai pedagang kaya raya dan ekonom yang handal namun sangat dermawan. Banyak bantuan ekonomi yang diberikannya kepada umat Islam di awal dakwah Islam. Ia mendapat julukan Dzunnurain yang berarti yang memiliki dua cahaya. Julukan ini didapat karena Utsman telah menikahi puteri kedua dan ketiga dari Rasullah yaitu Ruqayah dan Ummu Kaltsum.

Usman bin Affan lahir pada 574 Masehi dari golongan Bani Umayyah. Nama ibunya adalah Arwa binti Kuriz bin Rabiah, ia masuk Islam atas ajakan Abu Bakar dan termasuk golongan As-Sabiqun Al-Awalun (golongan yang pertama-tama masuk Islam). Rasulullah sendiri menggambarkan Utsman bin Affan sebagai pribadi yang paling jujur dan rendah hati di antara kaum muslimin. Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Aisyah bertanya kepada Rasulullah, ‘Abu Bakar masuk tapi engkau biasa saja dan tidak memberi perhatian khusus, lalu Umar masuk engkau pun biasa saja dan tidak memberi perhatian khusus. Akan tetapi ketika Utsman masuk engkau terus duduk dan membetulkan pakaian, mengapa?’ Rasullullah menjawab, “Apakah aku tidak malu terhadap orang yang malaikat saja malu kepadanya?”

Pada saat seruan hijrah pertama oleh Rasullullah ke Habbasyah karena meningkatnya tekanan kaum Quraisy terhadap umat Islam, Utsman bersama istri dan kaum muslimin lainnya memenuhi seruan tersebut dan hijrah ke Habasyiah hingga tekanan dari kaum Quraisy reda. Tak lama tinggal di Makkah, Utsman mengikuti Nabi Muhammad untuk hijrah ke Madinah. Pada peristiwa Hudaibiyyah, Utsman dikirim oleh Rasullah untuk menemui Abu Sofyan di Makkah. Utsman diperintahkan Nabi untuk menegaskan bahwa rombongan dari Madinah hanya akan beribadah di Ka’bah, lalu segera kembali ke Madinah, bukan untuk memerangi penduduk Mekkah.

Pada saat Perang Dzatirriqa dan Perang Gathfan berkecamuk, dimana Rasullullah memimpin perang, Utsman dipercaya menjabat walikota Madinah. Saat Perang Tabuk, Utsman mendermakan 950 ekor unta dan 70 ekor kuda, ditambah 1000 dirham sumbangan pribadi untuk perang Tabuk, nilainya sama dengan sepertiga biaya perang tersebut. Utsman bin Affan juga menunjukkan kedermawanannya tatkala membeli mata air yang bernama Rumah dari seorang lelaki suku Ghifar seharga 35.000 dirham. Mata air itu ia wakafkan untuk kepentingan rakyat umum. Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Utsman juga pernah memberikan gandum yang diangkut dengan 1000 unta untuk membantu kaum miskin yang menderita di musim kering.

Setelah wafatnya Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua, diadakanlah musyawarah untuk memilih khalifah selanjutnya. Ada enam orang kandidat khalifah yang diusulkan yaitu Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdul Rahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqas, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah. Selanjutnya Abdul Rahman bin Auff, Sa’ad bin Abi Waqas, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah mengundurkan diri hingga hanya Utsman dan Ali yang tertinggal. Suara masyarakat pada saat itu cenderung memilih Utsman menjadi khalifah ketiga. Maka diangkatlah Utsman yang berumur 70 tahun menjadi khalifah ketiga dan yang tertua, serta yang pertama dipilih dari beberapa calon. Peristiwa ini terjadi pada bulan Muharram 24 H. Utsman menjadi khalifah di saat pemerintah Islam telah betul-betul mapan dan terstruktur.

ia adalah khalifah kali pertama yang melakukan perluasan masjid al-Haram (Mekkah) dan masjid Nabawi (Madinah) karena semakin ramai umat Islam yang menjalankan rukun Islam kelima (haji). ia mencetuskan ide polisi keamanan bagi rakyatnya; membuat bangunan khusus untuk mahkamah dan mengadili perkara yang sebelumnya dilakukan di masjid; membangun pertanian, menaklukan Syiria, Afrika Utara, Persia, Khurasan, Palestina, Siprus, Rodhes, dan juga membentuk angkatan laut yang kuat. Jasanya yang paling besar adalah saat mengeluarkan kebijakan untuk mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf.

Selama masa jabatannya, Utsman banyak mengganti gubernur wilayah yang tidak cocok atau kurang cakap dan menggantikaannya dengan orang-orang yang lebih kredibel. Namun hal ini banyak membuat sakit hati pejabat yang diturunkan sehingga mereka bersekongkol untuk membunuh khalifah.

Kewafatan Utsman bin Affan

Khalifah Utsman kemudian dikepung oleh pemberontak selama 40 hari dimulai dari bulan Ramadhan hingga Dzulhijah. Beliau diberi 2 ulimatum oleh pemberontak (Ghafiki dan Sudan), yaitu mengundurkan diri atau dibunuh. Meski Utsman mempunyai kekuatan untuk menyingkirkan pemberontak, namun ia berprinsip untuk tidak menumpahkan darah umat Islam. Utsman akhirnya wafat sebagai syahid pada bulan Dzulhijah 35 H ketika para pemberontak berhasil memasuki rumahnya dan membunuh Utsman saat sedang membaca Al-Qur’an. Persis seperti apa yang disampaikan Rasullullah perihal kematian Utsman yang syahid nantinya, peristiwa pembunuhan usman berawal dari pengepungan rumah Utsman oleh para pemberontak selama 40 hari. Utsman wafat pada hari Jumat 18 Dzulhijjah 35 H. Ia dimakamkan di kuburan Baqi di Madinah.

Uncategorized

Kisah Sahabat Utbah bin Ghazwan

Utbah bin Ghazwan adalah seorang Muhajirin yang termasuk angkatan pertama masuk Islam. Sejak memeluk ajaran Islam, Utbah bertekad untuk tetap berpegang teguh pada agamanya.

Utbah adalah salah seorang muslim yang ikut berhijrah ke Habsyah. Namun, ia tidak tinggal lama di wilayah itu. Ia kembali Ke Mekkah karena ia begitu rindu kepada Rasulullah, setelah beberapa  lama, ia hijrah ke Madinah.

Utbah adalah salah seorang pemanah terbaik di antara kaum muslim saat itu. Anak  panah yang dilepaskannya selalu tepat  mengenai sasaran. Ia juga menggunakan tombak dengan baik. Keahliannya telah berperan besar dalam menumpas musuh Allah. Hal itu, ia lakukan semasa Rasulullah masih hidup dan masa Rasulullah telah wafat.
Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, Utbah diperintahkan untuk membebaskan  wilayah ubullah dari tentara Persia. Umar melepas pasukan Utbah yang jumlahnya sedikit dengan memintanya untuk selalu tabah menghadapi musuh dan bertakwa kepada Allah swt. Sekalipun jumlahnya sedikit, pasukan Utbah mampu mengalahkan pasukan Persia,  wilayah Ubullah pun dikuasai oleh pasukan muslim.

Di wilayah Ubullah, Utbah membangun kota Basrah dan mendirikan masjid besar. Setelah itu, Utbah hendak kembali ke Madinah. Namun keinginannya ia urungkan khalifah Umar meminta Utbah menjadi pemimpin memerintahan di Basrah, Utbah pun berdakwah di Barsah. Ia mengajarkan cara shalat, hukum Islam, dan memberikan teladan dalam menjalani kehidupan menurut ajaran Islam kepada kaum muslim di Basrah. Ia menjalani hidup zuhud (segala sesuatu tentang meninggalkan keduniawian), warak (patuh dan taat  kepada Allah), dan sederhana. Ia berharap penduduk Basrah mengikuti cara hidup demikian dan meninggalkan kehidupan yang bermewah-mewahan. Ia menunjukkan bahwa hidup sederhana lebih baik dari pada hidup bermewah-mewahan. Namun, sebagaian penduduk Basrah tidak menyukai tindakan Utbah. Mereka bermaksud mempengaruhi Utbah dengan berbagai macam sanjungan dan kekayaan. Utbah benar-benar khawatir apabila kemewahan dunia merusak kaum muslim. Oleh karena itu, ia tak henti-hentinya menyeru agar umat islam menerapkan hidup sederhana.

Sebagian penduduk Basrah tidak menyukai kehidupan sederhana yang diterapkan oleh pemimpin mereka. Ketika mengetahui keberatan mereka. Utbah berkata, “Besok lusa kalian akan melihat pimpinan pemerintahan yang menggantikan diriku.”

Saat musim haji tiba, Utbah melaksanakan ibadah haji, setelah melaksanakan ibadah haji, Utbah menemui Khalifah Umar. Ia mengutarakan keinginannya untuk mengundurkan diri sebagai pimpinan pemerintahan di Basrah. Tentu saja, keinginan itu ditolak oleh Umar. Umar mengatakan, “Apakah kalian hendak menaruh amanat di atas pundakku? Kemudian, kalian meninggalkan aku untuk memikulnya seorang diri?. Tidak, Demi Allah tidak ku izinkan selama-lamanya!”

Utbah tidak dapat membantah keinginan Khalifah Umar. Ia patuh dengan perintah  Umar. Ia pun bersiap untuk kembali ke kota Basrah dan hendak memimpin pemerintahan di sana. Sebelum pergi, Utbah berdoa kepada Allah agar dirinya tidak dikembalikan ke Basrah dan tidak menjadi pemimpin pemerintahan selamanya. Ternyata, Allah mengabulkan doa Utbah. Dalam perjalan menuju Basrah, Utbah mengembuskan napas terakhirnya. Demikianlah, Utbah yang menyukai hidup zuhud.

Uncategorized

Kisah Sahabat Usamah bin Zaid

Sejarah Islam mencatat sejumlah panglima perang terhebat sepanjang masa. Salah satunya Usamah bin Zaid. Usamah merupakan panglima Islam termuda sekaligus panglima terakhir yang ditunjuk langsung oleh Rasulullah. Ia mulai memimpin perang pada usia 18 tahun.

Saat Rasulullah SAW sakit, para musuh sengaja memanfaatkan keadaan. Mereka mengancam kekuatan Islam dengan membuat gejolak di perbatasan Syam. Dari arah Yaman bahkan muncul seseorang yang mengaku sebagai nabi.

Di tengah kondisinya yang tak sehat, Rasulullah tetap memerintahkan perlawanan ke perbatasan Syam. Dia juga menulis surat-surat perintah untuk membasmi nabi palsu. Baginda Nabi menunjuk Usamah sebagai panglima perang di perbatasan Syam. Ia membawahi sahabat lainnya termasuk Umar bin Khattab.

Beberapa sahabat mempertanya kan keputusan tersebut sebab banyak sahabat senior dalam pasukan, seperti Sa’ad bin Abi Waqqash, Said bin Zaid, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan lainnya. Mereka dianggap lebih pantas memimpin pasukan. Mendengar berbagai perkataan yang terdengar me nye pe lekan Usamah, Umar segera me nemui Rasulullah. Mendengar kabar itu, Nabi Muhammad sangat marah.

Beliau kemudian bergegas mene mui para sahabat di Masjid Nabawi. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Wahai sekalian manusia, aku mende ngar pembicaraan mengenai pengang katan Usamah? Demi Allah, seandai nya kalian menyangsikan kepemimpinannya, berarti kalian menyangsikan juga kepemimpinan ayahnya, Zaid bin Haritsah. Demi Allah Zaid sangat pantas memegang pimpinan, begitu pula dengan putranya Usamah.”

Rasulullah melanjutkan, “Jika ayahnya sangat aku kasihi, putranya pun demikian. Mereka orang baik. Hendaklah kalian memandang baik mereka berdua. Mereka juga sebaikbaik manusia di antara kalian.” Nabi SAW lalu kembali ke rumahnya. Mendengar sabda Rasul, kaum Muslimin mulai datang bergabung dengan pasukan Usamah.

Sebelum berangkat ke medan perang, terlebih dahulu Usamah menemui Rasulullah yang masih sakit. Ketika sang panglima termuda mencium wajah beliau, Rasul tak mengatakan apa pun selain mendoakan sekaligus mengusap kepala Usamah.

Belum jauh pasukan bergerak. Kabar wafatnya Rasulullah datang sehingga Usamah menghentikan laju pasukannya. Selanjutnya, ia bersama Umar dan Abu Ubaidah bergegas ke rumah Sang Nabi. Melalui musya wa rah yang masih diliputi kesedihan, Kaum Muslimin sepakat mengangkat Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai Khalifah menggantikan Rasulullah. Abu Bakar kemudian menyuruh Usamah kembali memimpin pasukan, seperti perintah Rasulullah.

Bersama pasukannya, Usamah bergerak cepat meninggalkan Madinah menuju perbatasan Syam. Setelah melewati beberapa daerah yang masih tetap memeluk Islam, akhirnya mereka sampai di Wadilqura. Dengan strategi perang yang matang, pasukan Usamah mampu mengalahkan musuh secara cepat.

Setelah 40 hari kemudian, mereka kembali ke Madinah membawa sejumlah harta rampasan perang serta tanpa jatuh korban satu pun. Sejak saat itu, putra Ummu Aiman tersebut disegani oleh para sahabat.

Waktu terus berjalan. Usamah pun mengembuskan napas terakhirnya pada 53 Hijriyah atau 673 Masehi. Selama hidupnya, sudah ia dedikasikan untuk membela agama Allah.

Uncategorized

Kisah Sahabat Usaid bin Al Hudhair

Usaid bin Hudhair Al Ausi radhiyallahu ‘anhu adalah seorang shahabat Nabi yang mulia dan merupakan pemuka kabilah Aus di Madinah, baik sebelum dia berislam maupun sesudahnya. Ia mewarisi posisi kepemimpinan ini dari ayahnya. Usaid juga merupakan sosok yang berkepribadian lurus, bersih dan teguh, serta memiliki pandangan yang tajam. Di masa jahiliah, ia dinilai layak mendapatkan julukan Al Kamil (perfeck/ideal)[1] seperti ayahnya.

Rantai nasab beliau adalah Usaid bin Hudhair bin Simak bin ‘Atik bin Imriil Qais bin Zaid bin Abdil Asyhal bin Jusyam bin Al Harits bin Al Khazraj bin ‘Amr bin Malik bin Al Aus. Setidaknya ada lima pendapat tentang kuniah beliau, namun menurut pendapat yang paling masyhur beliau ber-kuniah Abu Yahya. Ibunda beliau adalah Ummu Usaid binti An Nu’man bin Imriil Qais bin Zaid bin Abdil Asyhal.

Ayah beliau, yang disebut dengan Hudhair Al Kataib, adalah salah satu bangsawan Arab di masa jahiliah dan termasuk petempur-petempur Arab yang tangguh. Dialah kesatria berkuda andalan suku Aus. Dia pula komandan Aus di hari pertempuran Bu’ats, pertempuran yang mengakhiri rangkaian perang saudara antara mereka dengan suku tetangga mereka, yaitu Khazraj. Tapi sungguh naas, pertempuran yang terjadi enam tahun sebelum hijrahnya Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah ini menutup riwayat hidup Hudhair Al Kataib; ia tewas dalam perang sebelum berislam.

KISAH KEISLAMAN USAID BIN HUDHAIR

Seusai Baiat Aqabah pertama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim Mush’ab bin ‘Umair radhiyallahu ‘anhu dari Mekah ke Madinah yang saat itu dikenal dengan nama Yatsrib, untuk mengajarkan Al Quran dan syariat Islam kepada penduduk Madinah yang telah beriman, dan mendakwahkan Islam kepada mereka-mereka yang belum berislam. Saat itu Usaid masih di atas kesyirikan. Setibanya di sana Mush’ab tinggal di kediaman Abu Umamah As’ad bin Zurarah.

Suatu ketika, Mush’ab tengah berkumpul bersama beberapa orang yang sudah berislam dari Al Ansar dalam sebuah majelis untuk menyampaikan dan memahamkan mereka ajaran dinul-Islam. Tokoh Aus lain sekaligus teman dekat Usaid yang bernama Sa’ad bin Mu’adz mengetahui hal ini. Dia ingin membubarkan mereka tapi tidak mampu karena As’ad bin Zurarah adalah sepupunya sendiri. Ia pun menghasut Usaid agar mau memperingatkan dan membubarkan mereka.

Lalu Usaid pergi mengambil tombak dan mendatangi mereka dengan menentengnya. Tatkala As’ad bin Zurarah melihatnya dari kejauhan, dia berkata kepada Mush’ab, “Orang ini adalah pemuka di kaumnya; ia mendatangimu”. Ketika Usaid telah berdiri di hadapan mereka, dia berkata, “Apa yang membawa kalian ke sini? Kalian hendak membodohi orang-orang lemah kami? Menyingkirlah!” Mush’ab menimpali, “Tidakkah Anda duduk dan mendengarkan? Jika Anda suka bisa Anda terima, dan jika Anda tidak suka akan kami hentikan.” Usaid menerima tawarannya. Ia menancapkan tombaknya lalu duduk.

Mush’ab mulai membacakan Al Quran dan menjabarkan prinsip-prinsip Islam kepada Usaid. Rupanya, Usaid tersentuh dengan kata-katanya. Tampak dari sinar wajahnya keinginan untuk berislam. Lantas dia berkata, “Alangkah bagus dan indahnya ucapan ini! Apa yang kalian kerjakan ketika ingin masuk agama ini?” Mereka menjawab, “Mandi dan menyucikan pakaian, kemudian bersyahadat, kemudian salat dua rakaat.” Dia pun lekas bangkit dan mengerjakan apa yang dituntunkan serta menyatakan keislamannya. Sa’ad bin Mu’adz juga berislam sesaat setelah Usaid berislam. Demikianlah keadaan hamba-hamba Allah yang berkalbu baik, mereka akan segera menerima kebenaran ketika mendengarnya; Allah ‘azza wa jalla memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada siapa yang pantas menerimanya.

Usaid bin Hudhair radhiyallahu ‘anhu turut serta dalam Baiat Aqabah kedua bersama tujuh puluh orang Al Ansar. Beliau adalah salah satu dari kedua belas Nuqaba’ yang saat itu diamanahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengawasi dan bertanggung jawab atas kaumnya yang telah masuk Islam, di samping juga mendakwahkan Islam kepada yang belum beriman. Beliau dipercaya sebagai penanggung jawab muslimin dari suku Aus.

Setibanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Kota Madinah, beliau mempersaudarakan Usaid dengan Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu. Selanjutnya Usaid turut serta dalam pertempuran-pertempuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika pecah perang Uhud, Usaid terluka pada tujuh bagian dari tubuhnya. Namun beliau tetap tegar bersama beberapa shahabat lain di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membentengi beliau dari tebasan pedang, tusukan tombak, dan lesatan anak panah yang dengan intens dilakukan oleh pasukan kafir Quraisy. Seluruh peperangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diikuti oleh Usaid, kecuali perang Badar.

Diriwayatkan bahwa Usaid berkata kepada Nabi sekembalinya beliau dari Badar dan menyampaikan alasan ketidak ikutsertaannya ini, “Segala puji hanya bagi Allah yang telah memenangkan Anda dan menyejukkan mata Anda. Demi Allah, wahai Rasulullah, tidaklah aku tertinggal dari perang Badar dalam keadaan aku tahu bahwa Anda hendak menjumpai pasukan musuh, tapi aku mengira bahwa Anda hanyalah akan mencegat kafilah dagang. Seandainya aku tahu bahwa Anda akan berperang melawan musuh tentu aku tidak akan tertinggal.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima alasannya. Usaid juga turut serta dalam penaklukan baitul maqdis di masa kekhalifahan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu.

At Tirmidzi dan lainnya meriwayatkan sebuah hadis yang dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نِعْمَ الرَّجُلُ أَبُو بَكْرٍ، نِعْمَ الرَّجُلُ عُمَرُ، نِعْمَ الرَّجُلُ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ، نِعْمَ الرَّجُلُ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ

“Sebaik-baik laki-laki adalah Abu Bakar. Sebaik-baik laki-laki adalah Umar. Sebaik-baik laki-laki adalah Abu Ubaidah Ibnul Jarrah. Sebaik-baik laki-laki adalah Usaid bin Hudhair.”

KARAMAH USAID BIN HUDHAIR

Pada suatu malam yang gelap gulita, Usaid bin Hudhair radhiyallahu ‘anhu dan temannya yang bernama ‘Abbad bin Bisyr berbincang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang suatu keperluan. Kemudian saat mereka bangkit dan keluar dari tempat tersebut, bercahayalah tongkat salah satu dari mereka berdua hingga menerangi jalan mereka. Tatkala jalan memisahkan mereka, bercahayalah tongkat masing-masing dari mereka hingga menerangi jalannya.

Usaid adalah salah seorang shahabat Nabi yang memiliki suara yang indah dalam tilawatil Quran. Pada suatu malam ia membaca surat Al Baqarah sementara kuda miliknya berada di dekatnya dalam keadaan terikat, dan anak laki-lakinya yang bernama Yahya berada di sampingnya dalam keadaan tidur. Tiba-tiba kudanya gaduh dan berputar-putar. Usaid pun menghentikan bacaannya dan bangkit karena mengkhawatirkan putranya. Lalu kuda tersebut diam dan tenang kembali. Kemudian dia melanjutkan bacaannya, dan kuda itu kembali bergerak-gerak. Hal itu terjadi beberapa kali. Kemudian ia mengangkat pandangannya ke langit. Ia melihat sesuatu seperti awan yang terdapat padanya lampu-lampu mendekat dari langit. Ia ketakutan dan tidak melanjutkan bacaannya. Di keesokan harinya, Usaid menceritakan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Nabi mengatakan, “Itu adalah para malaikat. Mereka mendekat untuk mendengarkan suara bacaanmu. Seandainya engkau terus membaca niscaya orang-orang akan melihat mereka di pagi hari.”

WAFATNYA USAID BIN HUDHAIR RADHIYALLAHU ‘ANHU

Usaid meninggal dunia di bulan Sya’ban tahun dua puluh Hijriah. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu ikut mengusung jenazahnya ke pemakaman Baqi’ dan menyalatinya di Baqi’. Usaid wafat dengan meninggalkan utang senilai empat ribu dirham. Lalu ahli warisnya berniat menjual kebun peninggalannya untuk menutupi utang tersebut. Mendengar hal itu, Sang Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menawarkan kepada para pemberi utang untuk menangguhkan pelunasan, dengan mereka menerima seribu dirham dari hasil kebun tersebut setiap tahunnya, hingga terlunasi dalam empat tahun. Mereka pun menerima tawarannya.

Radhiyallahu ‘anish-shahabati ajma’in. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Uncategorized

Kisah Sahabat Uqbah bin Amir Al Juhany

Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam tiba di pinggir kota Madinah sesudah lama menanggung luka. Penduduk Madinah berdesak-desakan di jalan-jalan dan di loteng-loteng rumah, menyambut kedatangan beliau, sambil mengucapkan tahlil dan takbir, menunjukkan kegembiraan mereka bertemu dengan Rasulullah dan sahabatnya, Abu Bakar Shiddiq. Gadis-gadis remaja keluar membawa rebana, dengan pandangan mata penuh kerinduan sambil menyanyikan lagu merdu :

Telah muncul purnama raya di tengah-tengah kita,
Dari celah-celah gunung terlewati,
Kami wajib bersyukur,
Atas da’wahnya menyembah Allah.
Arak-arakan mengiringi Rasulullah yang berjalan perlahan-lahan di antara barisan orang-orang banyak, dikelilingi hati dan penuh rindu serta curahan air mata bahagia.

Tetapi sayang, Uqbah bin Amir Al Juhani tidak menyaksikan pawai bahagia menyambut kedatangan Rasulullah tersebut. Dia tidak beruntung datang bersama orang banyak, karena ketika itu dia pergi ke gurun pasir mengembalakan domba-dombanya. Dia takut domba-domba itu akan mati kehausan dan kelaparan, karena hanya domba-domba itulah yang dimilikinya, sebagai harta kekayaan dunia baginya.

Tetapi suasana gembira-ria itu cepat menyusup ke segenap pelosok Madinah Al Munawwarah, memenuhi lembah dan bukit, jauh maupun dekat. Dan berita suka-cita itu sampai pula kepada Uqbah bin Amir Al Juhani yang sedang menggembalakan domba-dombanya jauh di gurun pasir. Marilah kita dengarkan Uqbah bin Amir Al Juhani mengisahkan pertemuannya dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam :

Ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. tiba di Madinah, aku sedang menggembalakan domba-dombaku. Setelah mendengar kedatangan beliau, kutinggalkan domba-domba itu, dan segera berangkat menemuinya tanpa menunggu. Setelah bertemu beliau, aku berkata padanya, “Berkenankan Tuan membai’at saya, ya Rasulullah?”

“Siapakah Anda?” tanya beliau.

Jawabku, “Saya Uqbah bin Amir Al Juhani!”

Tanya Rasulullah, “Bai’at bagaimana yang anda kehendaki. Bai’at Arabi atau bai’at Hijrah?”

Jawabku, “Saya ingin dibai’at secara Hijrah.”

Lalu Rasulullah membai’atku seperti bai’at kaum muhajirin. Sesudah itu aku bermalam di tempat beliau. Kemudian aku kembali menggembalakan domba.

Kami berjumlah dua belas penggembala yang telah masuk Islam. Kami bermukim jauh dari keramaian kota Madinah, menggembalakan domba di gurun-gurun dan lembah. Teman-teman berkata sesamanya, “Tidak baik bila kita tidak mendatangi Rasulullah setiap hari, untuk belajar agama dan mendengarkan wahyu Allah dari padanya. Setiap hari seorang diantara kita harus pergi ke kota menemui beliau, dan kita yang tinggal harus bertanggung jawab menggembalakan dombanya.”

“Baiklah!” jawabku. “Pergilah kalian mendatangi beliau bergantian satu demi satu. Siapa yang mendapat giliran pergi, biarlah aku yang menggembalakan dombanya. A ku sangat kuatir meninggalkan anak-anak dombaku kepada siapapun.”

Kawan-kawan pergi satu demi satu secara bergantian mendatangi Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Domba yang ditinggalkannya, dipercayakannya kepadaku untuk kugembalakan. Bila dia pulang, aku belajar kepadanya pelajaran yang diperolehnya dari Rasulullah. Tetapi tidak lama kemudian aku menyadari kerugianku, dan berkata dalam hati, “Persetan! Aku tidak peduli domba-domba ini makan atau tidak. Dengan menggembalakan aku terasa sangat merugi, karena tidak dapat berdampingan dengan Rasulullah, menyimak pelajaran langsung dari mulut beliau tanpa perantara. Lalau kutinggalkan domba-dombaku, dan kau berangkat ke Madinah, untuk tinggal dan menetap di masjid, disamping Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.”

Ketika mengambil keputusan yang menentukan itu, tidak pernah terlintas dalam pikiran Uqbah, bahwa pada suatu waktu dia akan menjadi seorang alim besar di antara para sahabat yang ulama-ulama besar; dia akan menjadi salah seorang Qari (ahli baca Al Qur’an) di antara para qari terkemuka; dia akan menjadi seorang panglima perang di antara para panglima dan penakluk yang terpandang, dia akan menjadi seorang pemimpin di antara para pemimpin di antara para pemimpin yang pantas diperhitungkan. Semua itu tidak pernah terbayang baginya walau agak secuil pun. Bahkan dia hanya membayangkan domba-domba gembalaannya, apakah domba-domba itu cukup terpelihara atau tidak sepeninggalnya. Dia berangkat ke pusat da’wah agamaAllah, untuk berdampingan dengan Rasulullah, guna mempelajari agama kepada Rasul yang mulia. Dia tidak pernah menyadari akan menjadi tentara pelopor yang bakal membebaskan ibu kota dunia waktu itu, yaitu Damaskus, dan bakal mendiami istana di sebuah taman nan indah menghijau dekat Bab Tuma.

Dia juga tidak pernah membayangkan sedikit juapun akan menjadi seorang panglima, penakluk permata dunia yang indah subur, yaitu Mesir; akan menjadi penguasa negeri itu, dan akan membangun sebuah istana untuknya. Semua itu hanya tersimpan di alam gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala.

Uqbah bin Amir Al Juhani berdampingan dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. bagaikan bayang-bayang dengan orangnya. Dia memegang tali kendali bighal Rasulullah dan menuntunnya kemana beliau pergi. Dia berjalan di hadapan setiap beliau bepergian. Terkadang-kadang Rasulullah memboncengnya di belakang, sehingga Uqbah digelari para sahabat “Radif Rasulullah” (boncengan Rasulullah). bahkan pernah juga Rasulullah turun dari bighal, dan menyilakan Uqbah mengendarai bighal. Sedangkan Rasulullah berjalan kaki di sampingnya.

Uqbah bercerita: Pada suatu ketika aku menuntun bighal Rasulullah di hutan semak Madinah. Beliau bertanya kepadaku, “Hai Uqbah! Mengapa engkau tidak mau naik kendaraan?!”

Aku sebenarnya hendak menjawab, tidak. Tetapi aku takut durhaka kepada Rasulullah. Lalu aku menjawab, “Baiklah, ya Rasulullah!”

Rasulullah turun dari kendaraan, dan aku naik menggantikan, untuk memenuhi keinginan beliau. Sedangkan beliau berjalan kaki. Tidak lama kemudian aku turun, dan Rasulullah naik kendaraan. Beliau bertanya kepadaku, “Hai, Uqbah! Sukakah engkau aku ajarkan kepadamu dua buah surat yang tidak ada bandingannya?”

“Tentu suka, ya Rasulullah!” jawabku.

Lalu beliau membacakan kepadaku surat “Al Falaq” dan “An Naas”.

Setelah waktu shalat tiba, beliau membaca kedua surat tersebut dalam shalat. Kata beliau, “Bacalah kedua surat itu setiap engkau hendak tidur, dan ketika bagun dari tidur.”

Kata Uqbah melanjutkan ceritanya, “Sejak itu, aku senantiasa membaca kedua surat itu sepanjang hidupku, sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.”

Uqbah bin Amir Al Juhani memusatkan perhatiannya kepada keda bidang terpenting, yaitu bidang ilmu dan jihad. Diterjuninya kedua bidang itu dengan seluruh jiwa dan raganya. Bahkan dia tidak segan-segan mengorbankan segalanya dan tanpa mengenal lelah untuk memperoleh keduanya.

Dalam bidang ilmu dia langsung mereguknya dari sumber yang murni dan suci, yaitu Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. sehingga ia berhasil menjadi ahli baca Al Qur’an (pandai membaca dengan benar dan fashih, hafal, faham makna dan tujuannya), menjadi ahli hadits, ahli fiqh, ahli fara-idh, di samping dia menjadi seorang pujangga/sastrawan, fashih, dan penyair. Dia memiliki suara terindah di antara para ahli baca Al Qur’an. Bila hari sudah jauh larut malam, suasana sudah tenang, sunyi dan sepi, maka diambillah Kitabullah, lalu dibacanya ayat-ayat suci yang maknanya jelas dan gamblang. Hati para sahabat tergugah dan tunduk bila mendengarkan bacaannya yang merdu menggetarkan. Sehingga air mata mereka bercucuran karena takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

Umar bun Khaththab pernah memanggil Uqbah, lalu katanya, “Hai, Uqbah! Tolong bacakan kepadaku ayat-ayat Al Qur’an!”

“Baik, ya Amiral Mu’minin!” jawab Uqbah patuh.

Maka dibacanyalah Al Qur’an. Umar menangis bercucuran air mata, sehingga membasahi jenggotnya.

Uqbah meninggalkan sebuah mushaf hasil karya tangannya sendiri. Mushhaf tersebut belum lama ini masih terdapat di Mesir, pada sebuah Universitas (Jami’ah) yang terkenal dengan nama “Jami’ah Uqbah Ibnu Amir” (Universitas Uqbah Ibnu Amir). Di akhir mushhaf tersebut tercantum kalimat, “Katabahu Uqbah bin Amir Al Juhani” (Ditulis oleh Uqbah bin Amir Al Juhani). Mushhaf tersebut adalah yang terkuno di antara segala mushhaf yang dapat ditemukan, tetapi kita lalai memeliharanya.

Dalam bidang jihad, dia turut berperang bersama-sama Rasulullah dalam peperangan Uhud dan peperangan-peperangan sesudah itu. Dia seorang ahli strategi militer terkemuka yang sanggup mengacaukan pertahanan musuh dalam banyak peperangan. Dalam peperangan menaklukan Damsyiq dia mendapat cedera, luka parah.

Maka Panglima Abu Ubaidah mengirimnya ke Madinah sebagai kurir istimewa, untuk menyampikan laporan kepada Khalifah Umar. Delapan hari delapan malam (Jum’at ke Jum’at) dia berpacu tanpa henti, sehingga Khalifah Umar beroleh berita gembira atas kemenangan-kemenangan yang dicapai kaum muslimin.

Kemudian dia diangkat menjadi perwira dalam ketentaraan kaum muslimin untuk menaklukkan Mesir. Lalu Amirul Mukminin – ketika itu Mu’awiyah bin Abu Sufyan – mengangkatnya menjadi Gubernur di negeri itu. Setelah memegang jabatan itu selama tiga tahun, Mu’awiyah menugaskannya dalam peperangan menaklukkan Rodhes di Laut Tengah. Karena seringnya Uqbah bin Amir turut berperang, menyebabkan dia banyak menyimpan kisah-kisah nyata pengalamannya berperang, yang diceritakannya kepada kaum muslimin. Dia adalah seorang pemanah jitu. Bila dia ingin bermain-main atau berolah raga, maka dia melakukan olah raga memanah sambil berlatih.

Tatkala Uqbah sakit mendekati ajal, dia berada di Mesir. Dikumpulkannya anak-anaknya lalu dia berwasiat : “Hai anak-anakku! Aku larang kalian melakukan tiga perkara. Maka jauhilah ketiga-tiganya. Pertama: Jangan menerima hadits Rasulullah kecuali dari orang-orang yang tsiqqah (dipercaya). Kedua: Jangan berhutang, sekalipun pakaian kalian compang-camping. Ketiga: Jangan menulis sya’ir (sajak) sehingga menyebabkan hati kalian lalai terhadap Al Qur’an.”

Dia dimakamkan di kaki bukit Al Muqaththam. Setelah mereka periksa peninggalannya, antara lain terdapat tujuh puluh tujuh busur panah. Setiap busur mempunyai sebuah tanduk (sebagai tempat anak panah). Uqbah berwasiat, supaya busur-busur panah tersebut dimanfaatkan oleh kaum muslimin dalam jihad fi sabilillah.

Semoga Allah melimpahkan cahaya ke wajah Uqbah, seorang qari. alim, dan panglima perang. Dan semoga Allah memberinya pahala dengan pahala yang sangat baik. Amin!!!

Uncategorized

Kisah Sahabat Umair bin Wahab

Perang Badar dimenangkan oleh pasukan kaum muslimin. Rasa syukur pun selalu mereka panjatkan ke hadirat Allah SWT. Sebaliknya, kekalahan yang diterima kaum musyrikin Quraisy benar-benar membuat mereka makin geram.

Umair bin Wahab dan Shafwan bin Umayyah mengungkapkan kekesalan mereka atas kemenangan umat Islam. Umair berkata kepada Shafwan, “Ah, seandainya aku tidak sedang dililit utang dan keluargaku bisa kutinggalkan saat kesulitan sekarang, aku akan mencari Muhammad dan membunuhnya!”

Mendengar perkataan Umair tersebut, Shafwan menyambut ide Umair dan berkata, “Baiklah, jika kau berhasil membunuh Muhammad dan menyiksanya dengan keji, aku berjanji akan memberimu 100 ekor unta. Dengannya kamu bisa melunasi semua utang keluargamu, begitu pula keluargamu akan aku jadikan bagian dari keluargaku!”

Tawaran yang menggiurkan. Tanpa pikir panjang, Umair langsung menerima tawaran Shafwan dengan senang hati.

“Tapi ingat! Ini adalah rahasia kita berdua. Jangan sampai kauceritakan kepada yang lain!” pesan Shafwan kepada Umair.

Umair pun segera berangkat ke Medinah untuk melaksanakan rencana kejinya tersebut. Akan tetapi, malang baginya, di tengah perjalanan ia bertemu Umar bin Khaththab, sahabat Rasulullah saw yang sangat ditakuti kaum Quraisy karena keberanian dan pukulannya yang menyakitkan. Rasa takut menyergap Umair, apalagi ketika Umar menggiringnya untuk menghadap Rasulullah saw.

Interogasi terhadap Umair atas maksud kedatangannya ke Medinah dimulai di hadapan Rasulullah saw. Beliau bertanya, “Apa maksud kedatanganmu ke sini?”

Umair tidak mungkin menjawab dengan jujur niatnya untuk membunuh pemimpin umat Islam itu sendiri. Ia berkilah, “Sungguh kedatanganku ke sini untuk menebus putraku yang telah kalian tawan.”

Rasulullah saw sebenarnya sudah mengetahui bahwa Umair berbohong. Beliau mendapat petunjuk dari Allah SWT. Berkali-kali beliau bertanya kepada Umair, berkali-kali pula ia terus berbohong.

Akhirnya, Rasulullah saw mengakhiri kebohongan Umair dengan berkata, “Aku tahu engkau telah bersekongkol dengan Shafwan untuk membunuhku. Dengan melakukannya, Shafwan akan memberikanmu 100 ekor unta untuk melunasi seluruh utang keluargamu dan menjadikan keluargamu bagian dari keluarganya!”

Umair tersentak kaget mengetahui Rasulullah saw bisa membongkar niat busuknya. Dia sangat heran, “Benar-benar tidak habis pikir, bagaimana Rasulullah bisa mengetahui rencana busukku, padahal tidak ada orang lain yang mendengarkan, hanya aku dan Shafwan. Lagi pula percakapan itu terjadi di Mekah, jauh dari Medinah tempat Rasulullah saw berada?”

Kebenaran berita yang disampaikan Rasulullah saw membuat Umair yakin bahwa Muhammad benar-benar utusan Allah. Ia pun mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai ketundukannya pada Islam. Rasulullah saw menyambutnya dengan baik.

Tidak ada prasangka atau dendam sama sekali kepada Umair. Bahkan, beliau menyuruh para sahabat untuk mengajari Al-lslam kepada Umair, sampai ia memahaminya dengan baik. Ditambah lagi, semua tawanan yang diminta oleh Umair, beliau bebaskan tanpa keberatan sama sekali.

Waktu pun berlalu. Saat dirasa ilmu yang dimiliki Umair sudah cukup, Rasulullah saw mengizinkannya untuk kembali ke Mekah. Di sana ia menyiarkan Islam dan hasilnya hampir seluruh masyarakat Mekah masuk Islam berkat dakwahnya.

Uncategorized

Kisah Sahabat Umair bin Sa’d Al Anshary

Bocah yang bernama Umair bin Sa’ad al-Anshari telah merasakan hidup sebagai yatim dan orang miskin sejak kecilnya. Ayahnya telah kembali ke pangkuan Tuhan tanpa meninggalkan harta atau orang yang akan membiayainya.

Namun ibunya berhasil untuk menikah lagi dengan seorang hartawan dari suku Aus yang dikenal dengan Al-Julas bi Suwaid. Pria ini kemudian menanggung biaya hidup Umair dan menjadikan ia sebagai anggota keluarga. Umair merasakan kebaikan, asuhan dan perasaan lembut yang dimiliki Al-Julas sehingga membuatnya terlupa bahwa dia adalah seorang yatim.

Umair mencintai Al-Julas seperti ayahnya sendiri. Sebagaimana Al-Julas mencintai Umair seperti layaknya seorang anaknya.

Semakin Umair bertambah dewasa, maka Al-Julas semakin cinta kepadanya. Sebab Al-Julas mendapati bahwa Umair memiliki tanda-tanda kecerdasan dan kemuliaan yang terlihat dari setiap amalnya. Ia juga memiliki sifat amanah, jujur yang terlihat dari perilakunya.

***

Pemuda yang bernama Umair memeluk Islam pada saat ia masih belia, belum genap 10 tahun. Iman merasuk ke dalam sebuah ruang di hatinya dan tidak berlari dari tempatnya. Ia juga mendapati Islam dalam jiwanya yang masih suci dan bersih. Meski masih dalam usia belia, namun ia tidak pernah absen dari shalat berjamaah di belakang Rasulullah. Ibunya merasa bahagia setiap kali melihatnya pergi ke masjid atau kembali darinya. Terkadang bersama suaminya, terkadang ia berangkat sendiri saja.

***

Beginilah kehidupan pemuda Umair berlangsung; tenang tanpa ada halangan dan tidak ada kekeruhan. Sehingga kehendak Allah menentukan bahwa bocah yang hampir baligh ini akan mendapatkan cobaan yang paling berat, dan memberikannya ujian yang jarang diterima oleh pemuda dalam usianya.

Pada tahun ke-9 Hijriyah, Rasulullah SAW mengumumkan niatnya untuk menyerang Romawi di Tabuk. Beliau memerintahkan kaum Muslimin untuk bersiap-siap.

Kebiasaan Rasulullah adalah jika beliau hendak melakukan perang, beliau tidak akan menceritakannya. Manusia menduga bahwa Rasulullah akan menuju suatu arah yang sebenarnya bukan itu yang dimaksud. Kecuali dalam perang Tabuk. Dalam perang ini, Rasul menceritakan niatnya kepada seluruh manusia karena jauhnya jarak, beratnya penderitaan, dan kuatnya musuh manusia agar semua mengerti akan tugas mereka. Agar mereka dapat mempersiapkan dengan baik tugas ini.

Meskipun musim panas telah datang, cuaca panas terik terasa, buah-buahan telah masak, bayangan telah sempurna dan jiwa manusia menjadi malas dan tak mau bergerak. Meski demikian kaum Muslimin memenuhi seruan Nabi mereka dan langsung bersiap-siap.

Namun sebagian kaum Munafikin membuat tekad kaum Muslimin melemah, membuat mereka ragu, dan menjelek-jelekkan Rasulullah dan mengucapkan kata-kata yang dapat menjerumuskan mereka dalam kekufuran.

***

Pada suatu hari ketika pasukan Muslimin akan berangkat, pemuda yang bernama Umair bin Sa’ad kembali ke rumahnya setelah menyelesaikan shalat di masjid. Hatinya dipenuhi dengan sekumpulan kisah menarik dari pengorbanan kaum Muslimin yang ia lihat dengan matanya dan ia dengar lewat telinganya.

Ia melihat para wanita kaum Muhajirin dan Anshar yang datang menghadap Rasulullah lalu melepaskan dan memberikan perhiasan mereka kepada beliau untuk membayar biaya pasukan yang berperang di jalan Allah.

Ia melihat dengan mata kepalanya bahwa Utsman bin Affan membawa sebuah kantong yang berisikan 1000 dinar emas dan diberikan kepada Nabi SAW. Ia menyaksikan Abdurrahman bin Auf membawa di atas lehernya 100 awqiyah dari emas dan diberikan kepada Rasulullah. Bahkan ia juga melihat seorang pria yang menjual kudanya untuk dibelikan pedang sehingga ia dapat berjuang di jalan Allah.

Maka Umair bin Sa’ad menjadi amat kagum dengan peristiwa tersebut, dan ia merasa aneh mengapa Al-Julas tidak bersegera untuk siap dan berangkat bersama Rasulullah, dan mengapa ia terlambat memberikan bantuan padahal ia adalah orang yang mampu dan memiliki keluasan.

Maka Umair berusaha untuk membangkitkan semangat Al-Julas dan memotivasinya. Umai menceritakan kisah tentang apa yang telah ia lihat dan ia dengar. Khususnya kisah beberapa Muslimin yang datang menghadap Rasulullah dan meminta beliau agar mengizinkan mereka untuk bergabung dengan pasukan Muslimin berjihad di jalan Allah. Namun Rasul menolak permintaan mereka sebab mereka tidak memiliki kendaraan yang dapat membawa mereka ke sana. Maka orang-orang tadi kembali dengan mata berlinang karena merasa sedih sebab mereka tidak menemukan harta yang dapat mewujudkan keinginan mereka untuk berjihad, dan mewujudkan impian mereka untuk mendapatkan kesyahidan.

Akan tetapi setelah Al-Julas mendengarkan pembicaraan Umair, maka meluncurlah dari mulut Julas perkataan yang membuat heran Umair saat ia mendengarnya, “Jika Muhammad benar sebagaimana pengakuannya bahwa ia adalah seorang Nabi, bila demikian maka kita adalah lebih buruk dari keledai.”

Umair kaget dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia tidak pernah mendengar bahwa seseorang yang berakal dan dewasa seperti Al-Julas keluar dari mulutnya kalimat yang dapat mengeluarkan orang yang mengucapkannya dari keimanan dengan serta-merta, dan memasukkannya dalam kekafiran.

Sebagaimana alat hitung yang canggih dapat menyelesaikan setiap permasalahan yang dilontarkan kepadanya, maka akal Umair bin Sa’ad segera berpikir untuk mengerjakan apa yang semestinya ia lakukan.

Ia menduga bahwa berdiam diri dari apa yang dikatakan Al-Julas lalu menutupinya adalah sebuah pengkhianatan kepada Allah dan Rasul-Nya, juga dapat mencelakai Islam sebagaimana yang sering dilakukan oleh kaum munafik.

Ia juga mengira bahwa mengumumkan kepada orang lain apa yang ia dengar dari Al-Julas merupakan kedurhakaan dirinya kepada orang yang telah menjadi seperti ayah baginya, dan membalas air susu dengan air tuba. AL-Julas lah yang telah memelihara dia yang tadinya hanyalah seorang Yatim. Ia telah mencukupkan kebutuhan dirinya dari kefakiran, dan menggantikan posisi ayahnya.

Tiada lain, bagi bocah ini haruslah memilih mana yang paling manis dari dua pilihan pahit. Sesegera mungkin Umair memilih….

Ia menatap Al-Julas sambil berkata, “Demi Allah, wahai Julas, tidak ada orang yang lebih aku cintai setelah Muhammad bin Abdullah selain engkau…. Engkau adalah orang yang aku sayangi. Engkau adalah orang yang paling mencintaiku. Namun engkau telah mengucapkan kalimat yang bila aku ceritakan kepada orang lain, maka aku sudah membuatmu sulit. Namun jika aku sembunyikan itu, berarti aku telah mengkhianati amanahku dan aku sama saja mencelakakan agama dan diriku. Aku bertekad untuk datang menghadap Rasulullah dan menceritakan apa yang telah engkau katakan. Sadarilah apa yang telah engkau lakukan.

***

Umair bin Sa’ad berangkat ke masjid dan menceritakan kepada Rasulullah apa yang telah ia dengar dari Al-Julas bin Suwaid.

Maka Rasulullah meminta Umair tinggal bersamanya dan beliau mengirim salah seorang sahabatnya untuk memanggil Al-Julas.

Tidak berselang lama, maka datanglah Al-Julas kemudian ia memberi salam kepada Rasulullah lalu duduk di hadapan beliau. Rasulullah bertanya kepada Al-Julas, “Ucapan apa yang engkau katakan dan didengar oleh Umair bin SA’ad….?!” Rasulullah menyebutkan seperti apa yang telah ia ucapkan. Lalu Al-Julas berkata, “Dia telah berbohong tentangku dan telah membuat-buatnya, wahai Rasulullah! Aku tidak pernah mengucapkan hal itu.”

Maka para sahabat memandangi Al-Julas dan Umair bin Sa’ad seolah mereka ingin melihat dari roman wajah keduanya apa yang tersimpan di dalam dada.

Lalu mereka saling berbisik. Salah seorang yang memiliki penyakit di hatinya berkata, “Ini adalah pemuda yang durhaka. Ia mau membalas kebaikan orang yang mengasuhnya dengan keburukan.”

Salah seorang lagi mengatakan, “Malah, anak ini tumbuh dalam ketaatan kepada Allah. Raut mukanya menggambarkan hal itu.”

Rasulullah memandang Umair. Beliau mendapati wajah Umair memerah, dan air mata mengalir dari bola matanya. Air mata tersebut menetes di pipi dan dadanya, dan ia berdoa, “Ya Allah, turunkanlah bukti kepada Nabi-Mu apa yang telah aku ceritakan kepadanya…. Ya Allah, turunkanlah bukti kepada Nabi-Mu apa yang telah aku ceritakan kepadanya.”

Maka berdirilah Al-Julas sambil berkata, “Apa yang aku ceritakan kepadamu adalah benar, ya Rasulullah. Jika engkau berkenan, kami akan bersumpah di hadapanmu. Aku bersumpah kepada Allah bahwa aku tidak mengatakan seperti apa yang disampaikan Umair kepadamu.”

Al-Julas tidak berhenti mengucapkan sumpahnya sehingga mata manusia tertuju kepada Umair bin Sa’ad sehingga Rasulullah terdiam. Para sahabat tahu bahwa ini pertanda turunnya wahyu. Mereka berdiri tak bergeming. Tidak satu pun yang bergerak. Mereka membeku dan pandangan mereka tertuju kepada Rasulullah SAW.

Saat itu, barulah muncul rona ketakutan dan malu di wajah Al-Julas, dan muncullah kemenangan pada Umair. Semua orang merasakan itu sehingga Rasulullah siuman lagi. Beliau lalu membaca, “Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi.” (QS. at-Taubah: 74)

Al-Julas gemetar ketakutan usai mendengar ayat tersebut. Hampir saja lisannya terlilit karena takut. Kemudian ia menatap Rasulullah SAW dan berkata, “Aku bertaubat, ya Rasulullah…. aku bertaubat. Umair benar, ya Rasulullah, dan aku adalah orang yang telah berdusta. Pintalah Allah untuk menerima taubatku, aku siap menjadi tebusanmu, ya Rasulullah!”

Lalu Rasulullah SAW melihat ke arah Umair bin Sa’ad, rupanya air mata kebahagiaan telah membasuh wajahnya yang bersinar dengan cahaya iman.

Lalu Rasulullah menjulurkan tangannya yang mulia ke telinga Umair dan memegangnya dengan lembut sambil berkata, “Telingamu telah jujur mendengarkan, wahai anak, dan Tuhanmu telah membenarkanmu.”

***

Al-Julas kembali ke pangkuan Islam dan ia menjalankan keislamannya dengan baik. Para sahabat mengetahui perbaikan kondisinya karena ia memberikan banyak kebaikan kepada Umair.

Al-Julas berkata setiap kali diingatkan tentang Umair, “Allah akan membalasnya atas  kebaikan yang ia lakukan kepadaku. Ia telah menyelamatkan aku dari kekafiran, dan membebaskan diriku dari api neraka.”

Wa ba’du…. ini bukanlah kisah yang paling menarik dalam hidup seorang pemuda yang menjadi sahabat Rasul bernama Umair bin Sa’ad.

Dalam hidupnya banyak sekali kisah yang lebih baik dan menarik.

Uncategorized

Kisah Sahabat Tsumamah bin Utsal

Seorang pemuda pernah bertanya kepada al-Syaikh al-Qadhi Taqiyyuddin an-Nabhani rahimahullah terkait dengan kunci sukses dalam sebuah aktivitas. Kemudian beliau memberikan tiga pesan: (1) al-iman/al-tsiqah bil fikrah (keyakinan kepada fikrah/gagasan); (2) al-jiddiyyah (keseriusan dan kesungguhan mewujudkan gagasan); dan (3) al-mutaba’ah (monitoring aktivitas sampai terealisasi dengan benar).

Keyakinan pada gagasan yang dibawa adalah perkara yang amat penting. Contoh terbaik dalam ini adalah Rasulullah dan para sahabatnya. Mereka begitu yakin atas ajaran baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ. Sayyiduna Ali misalnya, saat berhadap dengan kafir Quraisy menyimpan satu keyakinan: bahwa saya akan mengalahkan kamu. Juga mentransfer keyakinan tersebut kepada lawan: bahwa kamu akan saya kalahkan. Kepercayaan diri ini akan terefleksi dalam tindakan.

Kesungguhan dalam mewujudkan fikrah juga bisa kita lihat dalam diri para sahabat Nabi. Termasuk di antaranya adalah Tsumamah bin Utsal al-Hanafi ( ثُمَامَةُ بْنُ أُثَالٍ الْحَنَفِيّ ) رضي الله عنه. Tulisan ini akan mengisahkan tentang kesungguhan beliau dalam mewujudkan keyakinannya.

Adapun monitoring terhadap aktivitas sampai benar-benar terwujud, nampak sekali dari bagaimana para sahabat memastikan setiap amanah bisa terwujud, termasuk saat menugaskan yang lain. Adalah Sayyiduna Umar bin Khaththab رضي الله عنه yang benar-benar memonitor pelaksanaan tanggung jawab oleh pejabat negara yang diangkatnya.

Berikut adalah kisah tentang kesungguhan Tsumamah bin Utsal al-Hanafi رضي الله عنه.

Di tahun ke-6 hijriyah, Rasulullah ﷺ berniat memperluas wilayah cakupan dakwah. Beliau menulis delapan surat kepada raja-raja Arab dan Ajam. Nabi ﷺ mengirimkannya kepada mereka untuk menyeru mereka kepada Islam. Di antara orang yang mendapat surat Rasulullah ﷺ adalah Tsumamah bin Utsal al-Hanafi.

Tidak mengherankan karena Tsumamah adalah salah seorang pembesar orang-orang Arab di zaman jahiliyah. Salah seorang pemuka Bani Hanifah yang terpandang. Salah seorang raja Yamamah yang perintahnya senantiasa ditaati.

Tsumamah menerima surat Nabi ﷺ dengan sikap angkuh dan melecehkan. Dia menutup kedua telinganya rapat-rapat agar tidak mendengar dakwah kepada kebaikan dan kebenaran itu.

Ia bertekad membunuh Rasulullah ﷺ dan menggubur dakwahnya. Dia mulai mencari peluang untuk membunuh Nabi ﷺ sampai dia mendapatkan kesempatan itu.

Setelah gagal membunuh Rasulullah, Tsumamah mengincar para sahabat, sehingga dia berhasil menangkap beberapa orang dari mereka dan membunuh mereka secara brutal. Atas dasar itu, Nabi ﷺ menghalalkan darahnya dan mengumumkannya di hadapan para sahabatnya.

Tidak lama setelah itu Tsumamah berniat untuk menunaikan ibadah umrah, maka dia berangkat meninggalkan bumi Yamamah menuju Mekah, dia sudah membayangkan akan melaksanakan thawaf dan menyembelih kurban untuk berhalanya.

Ketika Tsumamah dalam perjalanan menuju Mekah di dekat kota Madinah, sebuah pasukan Rasulullah ﷺ yang sedang berpatroli di sekeliling Madinah, menyergap Tsumamah.

Pasukan ini menawannya, sementara mereka tidak mengenal siapa dia, pasukan ini membawanya ke Madinah, mengikatnya di salah satu tiang masjid, menunggu ﷺ yang akan melihat perkara tawanan ini dan menetapkan perintahnya padanya.

Ketika Nabi ﷺ pergi ke masjid, dan hampir masuk ke dalamnya, beliau melihat Tsumamah terikat di sebuah tiang, maka beliau bersabda, “Apakah kalian tahu siapa dia?”

Mereka menjawab, “Tidak, ya Rasulullah.”

Beliau berkata, “Ini Tsumamah bin Utsal al-Hanafi, tawanlah dia dengan baik.”

Kemudian Rasulullah ﷺ pulang ke keluarga beliau dan bersabda, “Kumpulkanlah makanan lezat yang kalian miliki dan hidangkalah kepada Tsumamah bin Utsal.”

Kemudian Nabi ﷺ memerintahkan agar unta beliau diperah di pagi dan sore hari lalu susunya disuguhkan kepada Tsumamah.

Semua itu dilakukan kepada Tsumamah sebelum Rasulullah ﷺ bertemu dengannya dan sebelum beliau berbicara kepadanya.

Selanjutnya Nabi ﷺ menemui Tsumamah, beliau ingin menyerunya kepada Islam secara perlahan, beliau bertanya kepadanya, “Apa yang kamu miliki wahai Tsumamah?”

Dia menjawab, “Aku mempunyai kebaikan wahai Muhammad, jika kamu membunuh maka kamu membunuh pemilik darah (orang yang akan dituntut bela atas kematiannya), namun jika kamu memberi maaf maka kamu memberi maaf kepada orang yang tahu berterima kasih. Jika kamu ingin harta, maka katakan saja niscaya kamu akan kami berikan apa yang kamu inginkan.”

Nabi ﷺ membiarkannya dalam keadaan demikian selama dua hari. Makanan dan minuman lezat selalu disuguhkan kepadanya, susu unta tetap diperah untuknya. Kemudian Nabi ﷺ menemuinya kembali, beliau bertanya, “Apa yang kamu miliki wahai Tsumamah?”

Tsumamah menjawab, “Aku hanya mempunyai apa yang aku katakan sebelumnya. Jika kamu memberi maaf maka kamu memberi maaf kepada orang yang tahu berterima kasih, jika kamu membunuh maka kamu membunuh pemilik darah (orang yang dituntut bela kematiannya). Jika kamu menginginkan harta, maka mintalah niscaya akan kami beri seberapapun yang kamu mau.”

Nabi ﷺ meninggalkannya, di hari berikutnya Nabi ﷺ datang lagi kepadanya, beliau bertanya kepadanya, “Apa yang kamu miliki wahai Tsumamah?”

Dia menjawab, “Aku mempunyai apa yang telah aku katakan kepadamu. Jika kamu memberi maaf maka kamu memberi maaf kepada orang yang tahu berterima kasih, jika kamu membunuh maka kamu membunuh pemilik darah (orang yang dituntut bela atas kematiannya). Jika kamu menginginkan harta, maka mintalah niscaya kami akan memberi seberapa saja yang kamu mau.”

Lalu Rasulullah ﷺ melihat para sahabatnya dan bersabda, “Lepaskan Tsumamah.” Maka mereka membuka ikatannya dan melepaskannya.

Tsumamah meninggalkan masjid Rasulullah ﷺ, dia berlalu sampai tiba di sebuah kebun kurma di pinggir Madinah dekat al-Baqi’ yang ada mata airnya. Tsumamah menghentikan kendaraannya di sana. Dia bersuci dengan menggunakan airnya secara baik, kemudian membalikkan langkahnya menuju masjid.

Begitu dia tiba di masjid, dia berdiri di hadapan sekumpulan orang dari kaum Muslimin dan berkata, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak di sembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.”

Selanjutnya Tsumamah menemui Nabi ﷺ dan berkata, “Wahai Muhammad, demi Allah di muka bumi ini tidak ada wajah yang paling aku benci melebihi wajahmu, namun sekarang wajahmu menjadi wajah yang paling aku cintai. Demi Allah, tidak ada agama yang paling aku benci melebihi agamamu, namun saat ini agamu menjadi agama yang paling aku cintai. Demi Allah tidak ada negeri yang paling aku benci melebihi negerimu, namun saat ini ia menjadi negeri yang paing aku cintai.”

Kemudian dia menambahkan, “Dulu aku pernah membunuh beberapa orang dari shahabat-shahabatmu, apa yang harus aku pikul karenanya?”

Nabi ﷺ menjawab, “Tidak ada dosa atasmu wahai Tsumamah, karena Islam menghapus apa yang sebelumnya.”

Maka wajah Tsumamah berbinar, dia berkata, “Demi Allah, aku akan melakukan terhadap orang-orang musyrikin sesuatu yang jauh lebih berat daripada apa yang telah aku lakukan terhadap shahabat-shahabatmu. Aku meletakkan pedangku, jiwaku, dan orang-orangku demi membelamu dan membela agamamu.”

Kemudian Tsumamah berkata, “Ya Rasulullah, pasukanmu menangkapku, pada saat itu aku hendak melaksanakan umrah, menurutmu apa yang aku lakukan?”

Nabi ﷺ menjawab, “Teruskan umrahmu namun di atas syariat Allah dan rasul-Nya.” Lalu Nabi ﷺ mengajarkan manasik umrah kepadanya.

Tsumamah melanjutkan langkahnya untuk melaksanakan niatnya, dia tiba di lembah Mekah, maka dia berdiri mengangkat suaranya dengan lantang, “Labbaika Allahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik, innal hamda wan ni’mata laka wal mulk la syarika laka.”

Ia adalah Muslim pertama di muka bumi yang masuk Mekah dengan bertalbiyah.

Orang-orang Quraisy mendengar suara talbiyah, maka mereka berhamburan keluar penuh dengan kemarahan dan kekhawatiran, pedang-pedang ditarik dari sarungnya, mereka menuju sumber suara untuk membungkam pemiliknya yang telah mengganggu mereka.

Manakala orang-orang datang kepada Tsumamah, dia pun lebih meninggikan suara talbiyahnya sambil memandang mereka penuh dengan kebanggaan. Beberapa anak muda Quraisy berniat melepaskan anak panah kepadanya, namun para pemuka Quraisy mencegah mereka. Para pemuka Quraisy berkata, “Celaka kalian, apakah kalian tahu siapa orang ini? Dia adalah Tsumamah bin Utsal, Raja Yamamah, demi Allah, kalau kalian mencelakainya niscaya kaumnya akan memutuskan pengiriman gandum kepada kita, akibatnya kita akan mati kelaparan.”

Tsumamah mengatakan, “Aku bersumpah demi Ilah Ka’bah ini, setelah aku pulang ke Yamamah tidak ada lagi pengiriman sebiji gandum pun atau sebagian dari hasil buminya sebelum kalian semuanya menikuti Muhammad.”

Tsumamah bin Utsal melaksanakan umrah di hadapan orang-orang Quraisy seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah ﷺ.

Dia menyembelih dam untuk mendekatkan diri kepada Allah bukan untuk berhala-berhala. Setelah dia tiba di tengah kaumnya, dia memerintahkan mereka agar menahan gandum agar tidak dikirim kepada orang-orang Quraisy, mereka pun menaati dan mengikuti perintahnya, mereka menahan hasil bumi mereka dari orang-orang Mekah.

Embargo yang ditetapkan oleh Tsumamah atas Quraisy mulai berdampak terhadap mereka sedikit demi sedikit, harga makanan mulai melambung, kelaparan menyebar di kalangan masyarakat, kesulitan mendera mereka, sehingga mereka khawatir atas diri mereka dan anak-anak mereka akan mati kelaparan.

Pada saat itu mereka menulis surat kepada Rasulullah ﷺ yang isinya:

“Yang kami tahu tentangmu adalah bahwa kamu penyambung tali silaturahim dan memerintahkan untuk melakukannya. Namun sekarang kamu telah memutuskan rahim-rahim kami, kamu membunuh bapak-bapak kami dengan pedang, dan mematikan anak-anak kami dengan kelaparan. Tsumamah bin Utsal telah memutus pengiriman gandum sehingga hal itu menyulitkan kami. Jika kamu berkenan untuk menulis kepadanya agar dia mengirim apa yang kami perlukan, maka lakukanlah.”

Nabi ﷺ menulis kepada Tsumamah agar mengirimkan kembali gandum kepada orang Quraisy, maka dia pun melakukannya.

Tsumamah bin Utsal selama hidupnya tetap setia kepada agamanya, menjaga janjinya kepada Nabi ﷺ. Ketika Rasulullah ﷺ wafat dan orang-orang Arab mulai murtad meninggalkan Islam, baik sendiri-sendiri maupun berjamaah dan Musailamah muncul di antara Bani Hanifah menyeru mereka agar beriman kepadanya, Tsumamah menghadangnya, dia berkata kepada kaumnya, “Wahai Bani Hanifah, jauhilah perkara gelap yang tidak mempunyai cahaya ini. Demi Allah ia adalah kesengsaraan yang Allah tetapkan atas siapa yang mengambilnya dari kalian dan ujian bagi siapa yang tidak mengambilnya.”

Kemudian dia berkata, “Wahai Bani Hanifah, tidak berkumpul dua orang nabi dalam satu waktu. Bahwa Muhammad adalah utusan Allah yang tiada Nabi sesudahnya, tiada nabi yang berserikat dengannya.”

Kemudian dia membacakan firman Allah Ta’ala:

“Haa Miim. Alquran ini diturunkan dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui, yang mengampuni dosa dan menerima taubat lagi keras hukumanNya yang mempunyai karunia. Tiada Ilah yang berhak disembah selain Dia. Hanya keadaNyalah semua makhluk kembali.” (TQS. Ghafir: 1-3)

Kemudian Tsumamah bersama orang-orang yang masih memegang Islam dari kaumnya berperang melawan orang-orang murtad demi menegakkan jihad di jalan Allah dan meninggikan kalimat-Nya di muka bumi.
***

Semoga Allah membalas Tsumamah bin Utsal atas jasa baiknya kepada Islam dan kaum Muslimin dengan kebaikan serta memuliakannya dengan surga yang dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa. Beliau adalah sosok Muslim yang serius dan bersungguh-sungguh mewujudkan keyakinannya. Semoga terlahir banyak Tsumamah dari rahim umat ini. Aamiin.

Disarikan dan dikembangkan dari pesan salah seorang ‘alim utusan dakwah dari Timur Tengah.