Uncategorized

Kisah Sahabat Hakim bin Hazam

Nama lengkapnya Hakim bin Hazam bin Asad bin Abdul Gazi. Ia adalah keponakan Khadijah Al-Kubra, istri tercinta Rasulullah SAW. Sebelum dan setelah kenabian beliau, ia adalah teman akrab Rasulullah.

Sewaktu kaum Quraisy memboikot Rasulullah dan kaum Muslimin, Hakim tidak mau ikut-ikutan, karena menghormati Nabi. Ia baru masuk Islam ketika terjadi penaklukan kota Makkah dan terkenal sebagai orang yang banyak jasa dan dermanya.

Sejarah mencatat, dialah satu-satunya anak yang lahir dalam Ka’bah yang mulia. Pada suatu hari, ibunya yang sedang hamil tua masuk ke dalam Ka’bah bersama rombongan orang-orang sebayanya untuk melihat-lihat Baitullah itu. Hari itu Ka’bah dibuka untuk umum sesuai dengan ketentuan.

Ketika berada dalam Ka’bah, perut si ibu tiba-tiba terasa hendak melahirkan. Dia tidak sanggup lagi berjalan keluar Ka’bah. Seseorang lalu memberikan tikar kulit kepadanya, dan lahirlah bayi itu di atas tikar tersebut. Bayi itu adalah Hakim bin Hazam bin Khuwailid, yaitu anak laki-laki dari saudara Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid.

Hakim bin Hazam dibesarkan dalam keluarga keturunan bangsawan yang terhormat dan kaya raya. Oleh sebab itu, tidak heran kalau dia menjadi orang pandai, mulia, dan banyak berbakti. Dia diangkat menjadi kepala kaumnya dan diserahi urusan rifadah (lembaga yang menangani orang-orang yang kehabisan bekal ketika musim haji) di masa jahiliyah. Untuk itu dia banyak mengorbankan harta pribadinya.

Dia bijaksana dan bersahabat dekat dengan Rasulullah sebelum beliau menjadi Nabi. Sekalipun Hakim bin Hazam lebih tua sekitar lima tahun dari Nabi SAW, tetapi dia lebih suka berteman dan bergaul dengan beliau. Rasulullah mengimbanginya pula dengan kasih sayang dan persahabatan yang lebih akrab. Kemudian ditambah pula dengan hubungan kekeluargaan—karena Rasulullah mengawini bibi Hakim, Khadijah binti Khuwailid—hubungan di antara keduanya bertambah erat.

Walaupun hubungan persahabatan dan kekerabatan antara keduanya demikian erat, ternyata Hakim tidak segera masuk Islam dan mengakui kenabian Muhammad SAW. Namun masuk Islam sesudah pembebasan kota Makkah dari kekuasaan kafir Quraisy, kira-kira dua puluh tahun sesudah Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi dan Rasul.

Orang-orang memperkirakan Hakim bin Hazam—yang dikaruniai Allah akal sehat dan pikiran tajam ditambah dengan hubungan kekeluargaan—serta persahabatan yang akrab dengan Rasulullah—akan menjadi mukmin pertama-tama yang membenarkan dakwah beliau, dan menerima ajarannya dengan spontan. Tetapi Allah berkehendak lain. Dan kehendak Allah jualah yang berlaku.

Setelah memeluk Islam dan merasakan nikmat iman, timbullah penyesalan mendalam di hati Hakim. Dia merasa umurnya hampir habis dalam kemusyrikan dan mendustakan Rasulullah.

Putranya pernah melihat dia menangis, lalu bertanya, “Mengapa ayah menangis?”

“Banyak sekali hal-hal yang menyebabkan ayahmu menangis, hai anakku!” jawab Hakim. “Pertama, keterlambatan masuk Islam menyebabkan aku tertinggal berbuat banyak kebajikan. Seandainya aku nafkahkan emas sepenuh bumi, belum seberapa artinya dibandingkan dengan kebajikan yang mungkin aku peroleh dengan Islam. Kedua, sesungguhnya Allah telah menyelamatkan dalam Perang Badar dan Uhud. Lalu aku berkata kepada diriku ketika itu, aku tidak lagi akan membantu kaum Quraisy memerangi Muhammad, dan tidak akan keluar dari kota Makkah. Tetapi aku senantiasa ditarik-tarik kaum Quraisy untuk membantu mereka. Ketiga, setiap aku hendak masuk Islam, aku lihat pemimpin-pemimpin Quraisy yang lebih tua tetap berpegang pada kebiasaan-kebiasaan jahiliyah. Lalu aku ikuti saja mereka secara fanatik.”

Hakim melanjutkan, “Kini aku menyesal, mengapa aku tidak masuk Islam lebih dini. Yang mencelakakan kita tidak lain melainkan fanatik buta terhadap bapak-bapak dan orang-orang tua kita. Bagaimana aku tidak akan menangis karenanya, hai anakku?”

Rasulullah pun heran terhadap orang-orang yang berpikiran tajam dan berpengetahuan luas macam Hakim bin Hazam, tetapi menutupi diri untuk menerima Islam. Padahal dia dan golongan orang-orang yang seperti dirinya ingin segera masuk Islam.

Semalam sebelum memasuki kota Makkah, Rasulullah bersabda kepada para sahabat, “Di Makkah terdapat empat orang yang tidak suka kepada kemusyrikan, dan lebih cenderung kepada Islam.”

“Siapa mereka itu, ya Rasulullah,” tanya para sahabat.

“Mereka adalah Attab bin Usaid, Jubair bin Muth’im, Hakim bin Hazam, dan Suhail bin Amr. Maka dengan karunia Allah, mereka masuk Islam secara serentak,” jawab Rasulullah .

Ketika Rasulullah masuk kota Makkah sebagai pemenang, beliau tidak ingin memperlakukan Hakim bin Hazam, melainkan dengan cara terhormat. Maka beliau perintahkan agar disampaikan beberapa pengumuman. “Siapa yang mengaku tidak ada Tuhan selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan mengaku bahwa Muhammad sesungguhnya hamba Allah dan Rasul-Nya, dia aman. Siapa yang duduk di Ka’bah, lalu meletakkan senjata, dia aman. Siapa yang mengunci pintu rumahnya, dia aman. Siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, dia aman. Siapa yang masuk ke rumah Hakim bin Hazam, dia aman.”

Rumah Hakim bin Hazam terletak di kota Makkah bagian bawah, sedang rumah Abu Sufyan bin Harb terletak di bagian atas kota Makkah. Hakim bin Hazam kemudian memeluk Islam dengan sepenuh hati, dengan iman yang mendarah daging di kalbunya. Dia bersumpah akan selalu menjauhkan diri dari kebiasaan-kebiasaan jahiliyah dan menghentikan bantuan dana kepada Quraisy untuk memenuhi kebutuhan Rasulullah dan para sahabat beliau. Hakim menepati sumpahnya dengan sungguh-sungguh.

Setelah masuk Islam, Hakim bin Hazam pergi menunaikan ibadah haji. Dia membawa seratus ekor unta yang diberinya pakaian kebesaran yang megah. Kemudian unta-unta itu disembelihnya sebagai kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Waktu haji tahun berikutnya, dia wukuf di Arafah beserta seratus orang hamba sahayanya. Masing-masing sahaya tergantung di lehernya sebuah kalung perak bertuliskan kalimat, “Bebas karena Allah Azza wa jalla, dari Hakim bin Hazam”. Selesai menunaikan ibadah haji, semua budak itu dimerdekakan.

Ketika naik haji ketiga kalinya, Hakim bin Hazam mengurbankan seribu ekor biri-biri yang disembelihnya di Mina, untuk dimakan dagingnya oleh fakir miskin, guna mendekatkan dirinya kepada Allah SWT.

Seusai Perang Hunain, Hakim bin Hazam meminta harta rampasan kepada Rasulullah, yang kemudian diberi oleh beliau. Kemudian ia meminta lagi, diberikan lagi oleh Rasulullah. Beliau lalu berkata kepada Hakim, “Sesungguhnya harta itu manis dan enak. Siapa yang mengambilnya dengan rasa syukur dan rasa cukup, dia akan diberi berkah dengan harta itu. Dan siapa yang mengambilnya dengan nafsu serakah, dia tidak akan mendapat berkah dengan harta itu. Bahkan dia seperti orang makan yang tidak pernah merasa kenyang. Tangan yang di atas (memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (meminta atau menerima).”

Mendengar sabda Rasulullah tersebut, Hakim bin Hazam bersumpah, “Ya Rasulullah, demi Allah yang mengutus engkau dengan agama yang hak, aku berjanji tidak akan meminta-minta apa pun kepada siapa saja sesudah ini. Dan aku berjanji tidak akan mengambil sesuatu dari orang lain sampai aku berpisah dengan dunia.”

Sumpah tersebut dipenuhi Hakim dengan sungguh-sungguh. Pada masa pemerintahan Abu Bakar, dia disuruh agar mengambil gajinya dari Baitul Mal, tetapi dia tidak mengambilnya. Tatkala jabatan khalifah pindah kepada Umar bin Khathab, Hakim pun tidak mau mengambil gajinya setelah dipanggil beberapa kali.

Khalifah Umar mengumumkan di hadapan orang banyak, “Wahai kaum Muslimin, aku telah memanggil Hakim bin Hazam beberapa kali supaya mengambil gajinya dari Baitul Mal, tetapi dia tidak mengambilnya.”

Demikianlah, sejak mendengar sabda Rasulullah itu, Hakim selamanya tidak mau mengambil sesuatu dari seseorang sampai dia meninggal.

Bacaan Islami Lainnnya:

– Komik Pahlawan Islam Anas bin Nadhar
– Komik Mantan Napi Berulah Lagi
– Bantuan Dari Allah Saat Kesulitan
– 3 Hal Yang Dilakukan Saat Bangun Untuk Sahur
– Kenapa Dia Begitu Cinta Al-Qur’an

– Hindari Berkata Kotor
– Perang Melawan Hawa Nafsu
– Jangan Mencari Keburukan Orang
– Komik Islami Tentang Cinta
– Jomblo Halu Kepengen Punya Istri

– Komik Islami Pakai Yang Kanan
– Komik Islami Simple
– Jangan Benci Muslimah Bercadar
– Waspada 3 Pintu Menuju Neraka
– Kalau Sholat Jangan Lari Larian

– Perlunya Kerjasama Dalam Rumah Tangga
– Baju Koko Vs Jersey – Komik Islami
– Dunia Hanya Sementara
– Komik Islami Bahasa Inggris
– Komik Islami Tarawih Surat Pendek

– Kisah Pendek Khutbah Jum’at
– Menunggu Punahnya Corona
– Komik Pendek Islami
– Jangan Pernah Menunda Ibadah
– Komik Islami Hitam Putih

– Parno Karena Batuk Corona
– Komik Islami Doa Pejuang Nafkah
– Komik Islami Muslimah Memanah Dan Tahajud
– Komik Islami Hidup Bahagia
– Komik Islami Nasehat Dan Renungan
– Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia Yang Sebenarnya

Selamat Membaca.. Bantu Kami Dengan Donasi.. Dengan Kontak Businessfwj@gmail.com

Uncategorized

Kisah Sahabat Habib bin Zaid Al Anshary

Habib bin Zaid dibesarkan dalam sebuah rumah yang penuh keharuman iman di setiap sudutnya, di lingkungan keluarga yang melambangkan pengorbanan.

Ayah Habib, Zaid bin Ashim, adalah salah seorang dari rombongan Yatsrib yang pertama-tama masuk Islam. Zaid termasuk Kelompok 70 orang yang melakukan baiat dengan Rasulullah di Aqabah. Bersama Zaid bin Ashim turut pula di baiat istri dan dua orang putranya.

Ibu Habib, Ummu Amarah Nasibah Al-Maziniyah, merupakan wanita pertama yang memanggul senjata untuk mempertahankan agama Allah dan membela Nabi Muhammad SAW.

Saudaranya, Abdullah bin Zaid, adalah pemuda yang mempertaruhkan lehernya sebagai tebusan dalam Perang Uhud, untuk melindungi Rasul yang mulia. Tak heran jika Rasulullah berdoa bagi keluarga tersebut, “Semoga Allah melimpahkan barakah dan rahmat-Nya bagi kalian sekeluarga.”

Cahaya iman telah menyinari hati Habib bin Zaid sejak dia masih muda belia, sehingga melekat kokoh di hatinya. Allah telah menakdirkannya bersama-sama ibu, bapak, bibi, dan saudaranya pergi ke Makkah, turun beserta Kelompok 70 untuk melakukan baiat dengan Rasulullah SAW dan melukis sejarah.

Habib bin Zaid mengulurkan tangannya yang kecil kepada Rasulullah sambil mengucapkan sumpah setia pada malam gelap gulita di Aqabah. Maka sejak hari itu, dia lebih mencintai Rasulullah daripada ayah bundanya sendiri. Dan Islam lebih mahal baginya daripada dirinya sendiri.

Habib bin Zaid tidak turut berperang dalam Perang Badar, karena ketika itu dia masih kecil. Begitu pula dalam Perang Uhud, dia belum memperoleh kehormatan untuk ikut ambil bagian, karena dia belum kuat memanggul senjata. Tetapi setelah kedua peperangan itu, dia selalu ikut berperang mengikuti Rasulullah SAW, dan bertugas sebagai pemegang bendera perang yang dibanggakan.

Pengalaman-pengalaman perang yang dialami Habib bagaimana pun besar dan mengejutkannya, pada hakikatnya tiada lain ialah merupakan proses mematangkan mental Habib untuk menghadapi peristiwa yang sungguh mengguncangkan hati, seperti terguncangnya miliaran kaum Muslimin sejak masa kenabian hingga masa kita sekarang.

Pada tahun ke-9 Hijriyah, tiang-tiang Islam telah kuat tertancap dalam di Jazirah Arab. Jamaah dari seluruh pelosok Arab berdatangan ke Yatsrib menemui Rasulullah SAW, masuk Islam di hadapan beliau, dan berjanji (baiat) patuh dan setia.

Di antara mereka terdapat pula rombongan Bani Hanifah dari Najd. Mereka menambatkan unta-untanya di pinggir kota Madinah, dijaga oleh beberapa orang kawannya. Seorang di antara penjaga ini bernama Musailamah bin Habib Al-Hanafy. Para utusan yang tidak bertugas menjaga kendaraan, pergi menghadap Rasulullah SAW. Di hadapan beliau mereka menyatakan masuk Islam beserta kaumnya. Rasulullah menyambut kedatangan mereka dengan hormat dan ramah tamah. Bahkan beliau memerintahkan supaya memberi hadiah bagi mereka dan bagi kawan-kawannya yang tidak turut hadir, karena bertugas menjaga kendaraan.

Tidak berapa lama setelah para utusan Bani Hanifah ini sampai di kampung mereka, Najd, Musailamah bin Habib Al-Hanafy murtad dari Islam. Dia berpidato di hadapan orang banyak menyatakan dirinya Nabi dan Rasul Allah. Dia mengatakan bahwa Allah mengutusnya menjadi Nabi untuk Bani Hanifah, sebagaimana Allah mengutus Muhammad bin Abdullah untuk kaum Quraisy. Bani Hanifah menerima pernyataan Musailamah tersebut dengan berbagai alasan. Tetapi yang terpenting di antaranya ialah karena fanatik kesukuan.

Seorang dari pendukungnya berkata, “Saya mengakui sungguh Muhammad itu benar dan Musailamah sungguh bohong. Tetapi kebohongan orang Rabi’ah (Musailamah) lebih saya sukai dari pada kebenaran orang Mudhar (Muhammad).”

Tatkala pengikut Musailamah bertambah banyak dan kuat, dia mengirim surat kepada Rasulullah: “Teriring salam untuk Anda. Adapun sesudah itu… Sesungguhnya aku telah diangkat menjadi sekutu Anda. Separuh bumi ini adalah untuk kami, dan separuh lagi untuk kaum Quraisy. Tetapi kaum Quraisy berbuat keterlaluan.”

Surat tersebut diantar oleh dua orang utusan Musailamah kepada Rasulullah SAW. Selesai membaca surat itu, Rasulullah bertanya kepada keduanya, “Bagaimana pendapat kalian (mengenai pernyataan Musailamah ini)?”

“Kami sependapat dengan Musilamah!” jawab mereka ketus.

Rasulullah bersabda, “Demi Allah, seandainya tidak dilarang membunuh para utusan, sesungguhnya kupenggal leher kalian.”

Rasulullah membalas surat Musailamah sebagai berikut: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasulullah, kepada Musailamah pembohong. Keselamatan hanyalah bagi siapa yang mengikuti petunjuk (yang benar). Adapun sesudah itu… Sesungguhnya bumi ini adalah milik Allah, Dialah yang berhak mewariskannya kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendakinya.
Kemenangan adalah bagi orang-orang yang takwa.”

Surat balasan tersebut dikirimkan melalui kedua utusan Musailamah. Musailamah bertambah jahat, dan kejahatannya semakin meluas. Rasulullah mengirim surat lagi kepada Musailamah, memperingatkan supaya dia menghentikan segala kegiatannya yang menyesatkan itu. Beliau menunjuk Habib bin Zaid, untuk mengantarkan surat tersebut kepada Musailamah. Ketika itu Habib masih muda belia. Tetapi dia pemuda mukmin yang beriman kuat, dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

Habib bin Zaid berangkat melaksanakan tugas yang dibebankan Rasulullah kepadanya dengan penuh semangat, tanpa merasa lelah dan membuang-buang waktu. Akhirnya sampailah dia ke perkampungan Najd. Maka diberikannya surat Rasulullah itu langsung kepada Musailamah.

Ketika membaca surat tersebut, dada Musailamah turun naik karena iri dan dengki. Mukanya memerah disaput kemurkaan. Lalu diperintahkannya kepada pengawal supaya mengikat Habib bin Zaid.

Keesokan harinya, Musailamah muncul di majelisnya diiringkan para pembesar dan pengikutnya. Dia menyatakan majelis terbuka untuk orang banyak. Ia kemudian memerintahkan agar Habib bin Zaid diseret ke hadapannya. Habib masuk ke dalam majelis dalam keadaan terbelenggu, dan berjalan tertatih-tatih karena beratnya belenggu yang dibawanya.

Habib bin Zaid berdiri di tengah-tengah orang banyak dengan kepala tegak, kokoh dan kuat.

Musailamah bertanya kepadanya, “Apakah kamu mengaku Muhammad itu Rasulullah?”

“Ya, benar! Aku mengakui Muhammad sesungguhnya Rasulullah!” jawab Habib tegas.

Musailamah terdiam karena marah. “Apakah kamu mengakui, aku sebagai Rasulullah?” tanya Musailamah lagi.

Habib bin Zaid menjawab dengan nada menghina dan menyakitkan hati. “Agaknya telingaku tuli. Aku tidak pernah mendengar yang begitu.”

Wajah Musailamah berubah. Bibirnya gemeretak karena marah. Lalu katanya kepada algojo, “Potong tubuhnya sepotong!”

Algojo menghampiri Habib bin Zaid, lalu dipotongnya bagian tubuh Habib, dan potongan itu menggelinding di tanah.

Musailamah bertanya kembali, “Apakah kamu mengakui Muhammad itu Rasulullah?”

Jawab Habib, “Ya, aku mengakui sesungguhnya Muhammad Rasulullah!”

“Apakah kamu mengakui aku Rasulullah?”

“Telah kukatakan kepadamu, telingaku tuli mendengar ucapanmu itu!”

Musailamah kembali menyuruh algojo memotong bagian lain tubuh Habib, dan potongannya jatuh di dekat potongan yang pertama. Orang banyak terbelalak melihat keteguhan hati Habib yang nekat menentang sang nabi palsu.

Musailamah terus bertanya, dan algojo terus pula memotong-motong tubuh Habib berkali-kali sesuai dengan perintah Musailamah. Walaupun begitu, bibir Habib tetap berujar, “Aku mengakui sesungguhnya Muhammad Rasulullah!”

Separuh tubuh Habib telah terpotong-potong dan potongannya berserakan di tanah. Separuhnya lagi bagaikan onggokan daging yang bicara. Akhirnya, jiwa Habib melayang menemui Tuhannya. Kedua bibirnya senantiasa mengucapkan bahwa ia hanya mengakuai Muhammad SAW—yang telah ia baiat pada malam Aqabah—sebagai Rasulullah.

Setelah berita kematian Habib bin Zaid disampaikan orang kepada ibunya, Nasibah bin Maziniyah, ia hanya berucap, “Seperti itu pulalah aku harus membuat perhitungan dengan Musailamah Al-Kadzdzab. Dan kepada Allah jua aku berserah diri. Anakku Habib bin Zaid telah bersumpah setia dengan Rasulullah SAW sejak kecil. Sumpah itu dipenuhinya ketika dia muda belia. Seandainya Allah memungkinkanku, akan kusuruh anak-anak perempuan Musailamah menampar pipi bapaknya.”

Beberapa lama kemudian, setelah kematian Habib bin Zaid, tibalah hari yang dinanti-nantikan Nasibah. Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq mengerahkan kaum Muslimin memerangi nabi-nabi palsu, termasuk Musailamah Al-Kadzdzab. Kaum Muslimin berangkat untuk memerangi Musailamah. Dalam pasukan itu terdapat Nasibah Al-Maziniyah dan putranya, Abdullah bin Zaid.

Ketika perang di Yamamah itu telah berkecamuk, Nasibah membelah barisan demi barisan musuh bagaikan seekor singa, sambil berteriak, “Di mana musuh Allah itu, tunjukkan kepadaku!”

Ketika Nasibah menemukan Musailamah, sang nabi palsu ternyata telah pulang ke akhirat, tewas tersungkur di medan pertempuran tubuh bermandi darahnya sendiri. Tidak lama kemudian, Nasibah pun gugur sebagai syahidah.

Uncategorized

Kisah Sahabat Fairuz Al Dailamy

Rasulullah SAW bersabda, “Fairus seorang yang diberkati, berasal dari keluarga yang penuh berkah.”

Sekembalinya dari Haji Wada’, Rasulullah SAW sakit. Berita tentang sakitnya Rasulullah ini pun menyebar ke seluruh Jazirah Arab. Tiga orang tokoh yang berpengaruh murtad dari agama Islam begitu mendengar berita tersebut. Mereka adalah Aswad Al-Ansy di Yaman, Musailamah Al-Kadzdzab di Yamamah, dan Thulaihah Al-Asady di perkampungan Bani Asad. Ketiga-tiganya mengklaim diri sebagai nabi yang diutus kepada kaumnya, sebagaimana Nabi Muhammad SAW yang diutus kepada Quraiys.

Aswad Al-Ansy adalah tukang tenung yang menyebar kejahatan dengan mengelabui mata korbannya dengan mempergunakan musya’widz (semacam alat sulap untuk menyihir mata orang). Al-Ansy bertubuh kekar dan kuat, pandai bicara dan menyesatkan orang.

Ketika itu pemerintahan di Yaman dipegang oleh golongan “Abna” yang kelapai oleh pemimpin mereka, Fairus Ad-Dailamy, sahabat Rasulullah SAW. Abna adalah nama bagi golongan masyarakat Yaman. Bapak mereka orang Persia yang merantau jauh dari negeri mereka, dan ibu-ibu mereka adalah orang Arab. Raja Yaman saat itu adalah Badzan. Ketika Islam meluaskan dakwahnya, Badzan menjadi raja sekaligus kuasa Kisra, Maharaja Persia.

Orang yang mula-mula menjadi pengikut gerakan Aswal Al-Ansy adalah kaumnya sendiri, Bani Madzij. Dengan pengikut-pengikutnya itu, mula-mula Aswad menerkam Sana’a. Syahar, putra Badzan, dibunuhnya. Istri Syahar, Putri Dadzan, dikawininya dengan paksa.

Dari Sana’a, Aswad Al-Ansy menyerang daerah-daerah lain, sehingga dalam tempo singkat derah yang luas bertekuk lutut di bawah kekuasaannya—hampir mencapai seluruh daerah antara Hadhramaut hingga Thaif, dan antara Bahrain hingga Aden.

Ketika Rasulullah mendapat laporan tentang gerakan Aswad Al-Ansy yang murtad dan mencaplok Yaman, beliau mengutus sepuluh orang sahbat membawa surat kepada para sahabat yang dianggap pantas di Yaman. Isi surat tersebut memerintahkan mereka untuk bertindak menumpas bencana yang membahayakan iman dan Islam. Beliau memerintahkan supaya menyingkirkan

Setiap sahabat yang menerima surat perintah tersebut, segera tergugah untuk melaksanakannya. Orang yang mula-mula bertindak melaksanakan perintah Nabi adalah Fairus Ad-Dailamy.

Fairus kemudian menemui Dadzan, saudara sepupunya. Setelah itu mereka berdua menemui Qais dan menunjukkan surat Rasulullah kepadanya. Mereka juga mengajak Qais segera bertindak sebelum terlambat. Qais dengan senang hati menerima ajakan mereka. Bahkan ia berjanji akan menumpas Aswad dari dalam.

Dadzan adalah putri paman Fairus yang dikawini secara paksa oleh Aswad setelah membunuh suaminya, Syahar bin Badzan. Dialah yang memegang peran penting dalam pembunuhan Aswad sang nabi palsu.

Dadzan kemudian menceritakan seluk beluk istana, ketika Fairus mengunjunginya. Ternyata tiap ruangan di istana Aswad dipenuhi para pengawal. Hanya satu bangunan dalam istana itu yang tidak dikawal, yakni sebuah ruangan dalam puri. Kamar tersebut tidak dikawal karena telah dikelilingi parit dan terletak agak jauh.

“Dari sini ke sana ada lapangan. Bila malam sudah mulai gelap, lubangilah dinding kamar itu. Nanti kamu akan memperoleh senjata dan lampu di dalam. Aku akan menunggumu di sana. Sesudah itu masuklah ke ruangan dalam, maka bunuhlah dia!” kata Dadzan pada Fairus.

“Tetapi melubangi dinding tembok seperti puri ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Jika kebetulan ada orang lewat, tentu dia akan berteriak memanggil pengawal. Akibatnya akan buruk sekali…” kata Fairus sedikit keberatan.

“Kamu benar! Tapi aku mempunyai pikiran lain yang lebih baik.”

“Apa itu?”

“Besok pagi,” kata Dadzan, “Kirim kepadaku seorang yang kamu percayai untuk menjadi pekerja. Aku akan menyuruhnya membuat lubang dari dalam, namun tidak sampai tembus. Tinggalkan setipis mungkin, supaya kamu dapat mencoblosnya dengan mudah malam hari.”

“Cara yang baik sekali,” timpal Fairus.

Setelah itu, Fairus pergi memberitahu rekan-rekannya tentang rencana yang telah disepakati dengan Dadzan. Mereka pun menyiapkan segala sesuatunya, bertindak dengan sangat hati-hati dan rahasia serta menetapkan kata-kata sandi. Aksi akan dilakukan esok hari di waktu fajar.

Ketika malam mulai gelap, dan waktu yang ditentukan sudah tiba, Fairus dan kawannya pergi ke sasaran. Dinding yang dimaksud berhasil ditembus dengan mudah. Mereka kemudian masuk ke dalam gudang dan mengambil senjata yang telah disiapkan Dadzan.

Setelah itu mereka mengelilingi puri Aswad. Dadzan telah berdiri di muka pintu. Dia memberi isyarat kepada Fairus dan kawannya. Begitu masuk kamar, mereka mendapati Aswad tengah tidur mendengkur. Fairus kemudian mengayunkan pedangnya ke leher Aswad yang membuatnya melenguh seperti sapi, kemudian mengelepar-gelepar.

Ketika pengawal mendengar lenguhan Aswad, mereka datang puri lalu bertanya pada Dadzan, “Ada apa?”

“Tidak ada apa-apa. Kembalilah kalian! ‘Nabi Allah’ sedang mendapat wahyu,” kata Dadzan.

Para pengawal kembali tanpa kecurigaan sedikit pun. Fairus dan kawannya tetap berada di istana hingga fajar. Setelah terbit fajar, Fairus naik ke sebuah pilar lalu berseru lantang, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah. Dan aku bersaksi bahwwa Aswad Al-Ansy sesungguhnya adalah seorang pendusta!”

Kalimat terakhir adalah sandi yang telah mereka disepakati Fairus dengan kawan-kawan Muslimin lainnya. Mendengar teriakan Fairus, kaum Muslimin berhamburan ke istana dari segala penjuru. Para pengawal terkejut kebingungan. Perang tanding pun berkecamuk di pagi buta itu.

Fairus kemudian bergegas kembali ke puri dan mengambil kepala Aswad yang telah lepas dari tubuhnya. Begitu kembali ke tengah pertempuran, ia langsung melempar kepala itu ke arah para pengawal istana.

Melihat kepala Aswad menggelinding di hadapan mereka, nyali prajurit istana langsung ciut. Sebaliknya kaum Muslimin kian bersemangat menyerbu dan menyerang musuh-musuh Allah. Pertempuran pun usai, dengan kemenangan di pihak Muslimin.

Begitu matahari mulai menebar kehangatan cahayanya, Fairus menulis surat kepada Rasulullah SAW, menyampaikan kabar gembira bahwa musuh-musuh Allah telah ditumpas habis. “Namun ketika utusan kami sampai di Madinah, mereka mendapati beliau telah berpulang ke Rahmatullah,” kata Fairus lirih.

Rasulullah SAW wafat tidak lama setelah menerima wahyu yang mengabarkan bahwa Aswad Al-Ansy telah terbunuh persis saat kejadian. Maka beliau bersabda kepada para sahabat, “Aswad Al-Ansy telah meninggal dunia tadi malam, dibunuh oleh orang yang penuh berkah dan berasal dari rumah tangga yang diberkahi.”

“Siapa orang itu, wahai Rasulullah?” tanya para sahabat.

Beliau menjawab, “Fairus… Fairus menang!”

Uncategorized

Kisah Sahabat Dzu Al Bijadain (Abdullah al-Muzani)

“Dunia telah memanggil-manggil Dzul Bijadain. Namun ia telah menulikan telinganya untuk mendengarkan suara dunia. Ia malah mengejar akhirat yang ia cari lewat setiap jalan.”

Di sebelah kanan pengelana yang berasal dari Madinah hendak menuju Mekkah Al Mukarramah ada sebuah gunung hijau yang sejuk dan enak dipandang mata. Gunung tersebut dikenal dengan Warqan. Yang menempati gunung ini adalah sebuah kabilah yang dikenal dengan Muzainah.

   
Di salah satu lereng gunung tersebut yang terletak dekat dengan Yatsrib telah lahir seorang anak bernama Abdul Uzza bin Abd Naham Al Muzani dari kedua orang tua yang miskin. Kelahiran bocah ini sesaat sebelum terbitnya cahaya kebenaran dari Mekkah Al Mukarramah.

Akan tetapi kehendak Allah Swt telah menetapkan bahwa ayah bocah ini meninggal dunia, padahal bocah tersebut belum juga dapat berjalan. Maka selain menjadi bocah fakir, ia pun kini menjadi anak yatim. Akan tetapi bocah yatim dan fakir ini memiliki seorang paman yang begitu kaya dan memiliki keluasan dalam harta. Paman tadi belum juga mempunyai anak yang menghiasi hidupnya, atau yang dapat mewarisi hartanya. Maka ia begitu senang dengan keponakannya ini. Dan ia menjadikan diri dan hartanya seperti milik bocah tadi, seolah dia adalah anaknya sendiri.
   
Tumbuhlah bocah Al Muzany tadi di pangkuan haribaan gunung Warqan yang lebat dengan bunga. Maka gunung yang segar tersebut memberikan pakaian kesantunan dan kelembutan kepada pemuda ini. Gunung Warqan juga memberikan kejernihannya kepada pemuda ini. Maka tumbuhlah pemuda ini dengan perasaan yang halus, jiwa yang bersih dan fitrah yang suci. Dan ini merupakan salah satu sebab lain yang membuat pamannya semakin cinta kepadanya.
   
Meskipun pemuda Al Muzany ini sudah tumbuh dewasa sebagaimana para pria dewasa. Akan tetapi dia belum pernah mendengar kabar tentang agama yang baru, dan ia tidak mengetahui sedikitpun informasi tentang pembawa agama ini yaitu Muhammad bin Abdullah Saw. Hal itu terus berlangsung sehingga kota Yatsrib merayakan hari bergembiranya dengan kedatangan Rasulullah Saw ke sana sebagai seorang yang berhijrah.

Maka mulailah pemuda Al Mazini ini mengikuti informasi tentang diri Rasulullah Saw dan ia terus memantaunya. Sehingga sering kali ia berdiam diri sepanjang hari di tengah jalan yang menuju Madinah agar ia dapat bertanya kepada orang yang menuju kesana atau kepada orang yang baru saja dari sana tentang agama baru dan para pengikutnya. Iapun sering menanyakan tentang Nabi Saw dan informasi tentang dirinya, sehingga Allah Swt berkenan melapangkan dadanya yang suci untuk menerima Islam dan membuka hatinya untuk menyerap cahaya iman. Maka bersaksilah pemuda ini bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.

Hal itu terjadi, sebelum matanya melihat langsung dengan Rasulullah Saw atau telinganya mendegarkan sabda-sabda Beliau. Maka dia menjadi orang pertama yang masuk Islam dari kaumnya yang berada di gunung Warqan.
   
Pemuda Al Muzani ini menyembunyikan keislamannya dari kaumnya secara umum dan secara khusus dari pamannya. Ia sering pergike sebuah lereng yang jauh untuk beribadah kepada Allah Swt di sebuah sudutnya yang jauh dari pandangan manusia.

Ia amat menantikan dengan sangat hari dimana pamannya akan masuk Islam dan agar ia dapat mengumumkan keislamannya… serta agar ia beserta pamannya dapat menjumpai Rasulullah Saw, setelah sekian lama ia ingin sekali berjumpa dengan Rasul yang menimbulkan rasa rindu dan memenuhi seluruh relung hati dan sanubarinya.
   
Ketika pemuda ini mendapati bahwa kesabarannya telah berlangsung cukup lama, dan pamannya semakin jauh dari Islam. Dan sudah banyak sekali peperangan yang dilakukan Rasulullah Saw yang telah meninggalkannya satu demi satu. Maka ia mengambil keputusan –tanpa berpikir apa yang bakal terjadi pada dirinya- dan ia menghadap pamannya seraya berkata: “Paman, Aku sudah lama sekali menunggumu agar engkau masuk Islam sehingga habis kesabaranku. Jika engkau berkenan masuk ke dalam Islam dan sehingga Allah menetapkan kebahagian bagimu maka itu amat baik jika engkau lakukan. Jika engkau tidak berkenan, maka izinkanlah aku untuk mengumumkan keislamanku di depan manusia.
   
Begitu ucapan pemuda ini mampir di telinga pamannya, maka sang paman langsung emosi dan berkata: “Aku bersumpah demi Lata dan Uzza, jika engkau masuk Islam maka aku akan mengambil semua yang ada di tanganmu yang pernah aku berikan. Dan aku akan membiarkanmu hidup miskin. Dan aku tidak akan perduli bila kau membutuhkan atau kelaparan!” Ancaman ini tidak membuat pemuda yang beriman ini menjadi gentar. Dan ia tidak ragu dengan tekad yang sudah ditanamkan.

Maka pamannya meminta bantuan kepada kaumnya untuk menghadapi dirinya. Maka mereka langsung memberikan ancaman dan rayuan kepadanya. Dan ia pun berkata kepada mereka: “Lakukanlah segala yang kalian inginkan, dan aku akan tetap menjadi pengikut Muhammad, meninggalkan penyembahan batu dan berpaling ke arah penyembahan kepada Allah Yang Esa dan Maha Perkasa! Terserah kepada kalian sendiri”

Maka serta-merta pamannya mengambil kembali apa yang telah diberikan kepadanya. Ia juga tidak memberikan pertolongannya dan mengharamkan dirinya untuk berbuat baik kepada pemuda ini lagi. Dan ia tidak menyisakan apa-apa untuk pemuda ini selain pakaian yang menutupi auratnya saja.
   
Berangkatlah pemuda Al Muzani ini untuk berhijrah demi menyelamatkan agamanya menuju Allah dan Rasul-Nya. Ia pergi meninggalkan kampung tempat ia dilahirkan dan ia bermain-main sewaktu kecil. Ia berpaling dari kekayaan dan kenikmatan yang dimiliki oleh pamannya, dan ia berharap akan mendapatkan ganjaran dan pahala dari sisi Allah Swt.

Ia menyusuri langkah menuju Madinah dengan didorong oleh kerinduan yang sudah mencabik-cabik hatinya.  Begitu ia hampir tiba di  Yatsrib maka ia merobek bajunya sehingga menjadi dua bagian. Bagian pertama ia jadikan sebagai sarung dan satunya lagi ia jadikan pakaian.

Kemudian ia menuju masjid Rasulullah Saw dan menginap di sana pada malam itu. Begitu fajar sudah menjelang, ia berdiri dekat dari pintu kamar Nabi Saw. Ia mengawasi –dengan kerinduan dan kecintaan- munculnya Nabi Saw dari kamar Beliau.
 
Begitu pandangannya melihat ke arah Nabi Saw, maka melelehlah air mata kebahagiaan dan ia merasa seolah hatinya hendak meloncat dari dadanya untuk memberikan tahiyat dan salam kepada Beliau.
   
Begitu shalat telah selesai dikerjakan, Nabi Saw –sebagaimana biasa- memperhatikan wajah-wajah orang yang hadir dan akhirnya Beliau melihat pemuda Al Muzani ini dan bertanya: “Dari suku mana engkau, wahai pemuda?” Maka pemuda tadi menyebutkan nasabnya. Rasul bertanya kepadanya: “Siapa namamu?” Ia menjawab: “Abdul Uzza (Hamba Uzza).” Rasul membalas: “Ganti dengan Abdullah (Hamba Allah)!” Kemudia Rasul mendekat ke arahnya dan bersabda: “Tinggallah di dekat kami, dan bergabunglah bersama para tamu kami!” Maka sejak saat itu, semua manusia memanggilnya dengan nama Abdullah.

Dan para sahabat Rasul Saw memberinya gelar dengan Dzul Bijadain setelah mereka melihat bijadaih dan mereka tidak mau menceritakannya. Maka Bijadaih ini lebih terkenal dalam sejarah dari pada gelar yang diberikan kepadanya.
   
Janganlah Anda menanyakan –wahai pembaca yang budiman-tentang kebahagiaan Dzul Bijadain saat ia menjadi orang yang tinggal di bawah asuhan Rasulullah dan senantiasa mengikuti seluruh majlis Beliau. Ia turut serta shalat dibelakang Beliau. Menyerap dari seluruh petunjuk Beliau. Dan puas dengan akhlak Beliau yang begitu mulia.
   
Dunia dulu pernah memanggil-manggilnya, namun ia telah menulikan telinganya untuk mendengarkan suara dunia. Dia malah menuju akhirat yang ia cari lewat jalan apa saja:

Ia mencari akhirat dengan do’a yang selalu ia panjatkan dengan rasa takut dan khusyuk. Sehingga para sahabat menamakannya sebagai Al Awwah (Orang yang sering merintih saat do’a karena takut kepada Allah). Ia mencari akhirat dengan Al Qur’an. Sehingga ia tidak pernah berhenti menebarkan aroma semerbak ayat-ayat Al Qur’an di seluruh penjuru masjid Rasulullah Saw. Ia juga mencari akhirat dengan cara berjihad. Dan ia tidak pernah terlewat dari satu pun peperangan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.
   
Dalam perang Tabuk, Dzul Bijadain meminta Rasulullah Saw agar berdo’a untuknya agar ia diberikan syahadah (mati sebagai syahid). Namun Rasul Saw mendo’akan agar darah Dzul Bijadain terjaga dari pedang pasukan kafin.

Maka ia berkata kepada Rasul: “Demi ibu dan bapakku, ya Rasulullah. Bukan ini yang aku inginkan.” Maka bersabdalah Rasulullah Saw: “Jika engkau berangkat berjuang di jalan Allah, kemudian engkau sakit dan mati, maka engkau akan dicatat sebagai seorang syahid. Jika hewan kendaraanmu mengamuk dan engkau pun jatuh darinya sehingga engkau mati, maka engkau pun syahid karenanya.”
   
Tidak berselang satu hari dan satu malam sejak pembicaraan ini sehingga pemuda Al Muzani tadi terserang penyakit demam yang menyebabkan ia tewas.

Sunguh ia meninggal dalam kondisi berhijrah karena Allah. Berjihad di jalannya. Jauh dari keluarga dan kerabat. Terasing dari kampung halaman.  Dan Allah akan membalas semua itu dengan kebaikan yang terbaik. Para sahabat yang mulya telah mengantarkan jasadnya ke kubur dengan kaki-kaki mereka yang suci.

Rasul pun turun ke lubang untuk menguburkannya, lalu menempatkannya di dalam tanah dengan kedua tangan Beliau yang mulya. Yang membawa jasadnya dari luar dan mengantarkannya kepada Rasul yang menunggu di bawah kubur adalah Abu Bakar dan Umar, sehingga Rasul berkata kepada keduanya: “Dekatkan kepadaku saudara kalian ini!” Maka keduanya melepaskan tubuh Al Muzani ini hingga sampai ke tangan Rasul Saw.

Dan Abdullah bin Mas’ud berdiri memperhatikan pemandangan semua ini. Ia berkata: “Andai saja aku yang menjadi penghuni lubang kubur ini. Demi Allah, aku ingin sekali seperti dia, padahal aku telah masuk Islam 15 tahun lebih dulu darinya.”

Uncategorized

Kisah Sahabat Bilal bin Rabah

Seluruh kaum Muslimin amat berduka cita. Bahkan, Umar bin Khaththab sempat mengingkari kepergian Rasulullah SAW untuk selamanya. Hingga Abu Bakar tiiba menenangkannya dan menjelaskan, Rasul-Nya pun akan merasakan maut–sebagaimana diisyaratkan di dalam Alquran.

Saat jasad Rasulullah SAW menjelang dimakamkan, Bilal bin Rabah berdiri untuk mengumandangkan azan. Tiba di lafazh asyhadu anna Muhammad rasuulullah (‘Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah’), suaranya terbata-bata.

Kesedihan menguasai dirinya. Segenap kaum Muslim pun menangis. Mereka menyadari, sosok mulia yang teramat dicintai itu telah meninggal dunia.

Sebuah riwayat menyebutkan, Bilal bin Rabah semenjak wafatnya Rasulullah SAW hanya dapat melakukan azan tiga hari. Sebab, setiap sampai pada lafazh “Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”, ia selalu tersungkur dan menangis.

Siapapun Muslim yang mendengarkannya, juga akan turut terbawa suasana duka. Terkenang lagi bagaimana ketika Rasulullah SAW masih hidup di tengah kaum Muslimin.

Sedemikian sedihnya Bilal akan kehilangan Rasulullah, sampai-sampai dia sempat meminta izin kepada khalifah agar boleh pergi dari Madinah. Sebab, kenangan-kenangan akan tetap menghantuinya.

Sampailah hari ketika Rasulullah SAW mendatangi Bilal bin Rabah melalui mimpi. Nabi SAW berkata kepadanya, “Wahai Bilal, mengapa engkau tidak pernah menjengukku lagi?” Seketika sang sahabat ini terhenyak. Begitu terbangun, Bilal begitu terkejut lantaran kata-kata Rasulullah SAW itu membuatnya ingin beranjak. Dia pun segera pulang ke Madinah.

Kedatangan Bilal bin Rabah diterima dua cucu Rasulullah SAW, Hasan dan Husain. Sebelumnya, Bilal telah berziarah ke makam Nabi SAW. Kedua cucu sosok paling mulia dalam sejarah itu lantas meminta Bilal supaya mengumandangkan azan begitu waktu shalat tiba.

Pada saat bersamaan, Umar bin Khattab yang telah menjadi khalifah ikut memohon Bilal untuk mengumandangkan azan. Bilal pun memenuhi permintaan itu.

Inilah saat-saat yang teramat dirindukan segenap warga Madinah. Kota itu seakan-akan diliputi kebisuan. Hanya suara azan Bilal yang menggema ke segala penjuru.

Betapa terkesimanya mereka karena merasa zaman kembali berputar, seperti ketika masih bersama Rasulullah SAW. Seluruh orang keluar dari rumah masing-masing. Tangis pun pecah mengiringi usainya azan dari lisan Bilal bin Rabah.

Namun, azan yang dikumandangkannya tidak sampai utuh. Saat dia menyerukan lafaz “Allahu akbar”, untuk kemudian disambung dengan “Asyhaduan laa ilahaillallah,” Bilal tampak masih sanggup, meskipun air mata mengalir di wajahnya.

Begitu hendak mengumandangkan “Asyhaduanna Muhammadan Rasulullah”, sontak seluruh penduduk Madinah menangis dan meratap. Mereka teringat akan masa-masa indah bersama Rasulullah SAW. Umar bin Khaththab paling keras suara tangisnya.

Bilal pun tak sanggup meneruskan azannya. Air matanya terus mengalir. Hari itu menjadi azan pertama dan terakhir bagi Bilal setelah Rasulullah wafat. Azan yang tak bisa dirampungkan.

Perasaan Bilal masih belum kuasa untuk tetap tinggal di Kota Nabi, Madinah. Hanya beberapa hari di sana, Bilal bin Rabah pun pergi ke Damaskus.

Suatu saat, Umar bin Khaththab melintasi wilayah Suriah. Di kota itu, sang khalifah kembali bertemu dengan Bilal bin Rabah. Ia bersyukur menjumpai sosok yang lama meninggalkan Madinah itu dalam keadaan sehat.

Satu permintaan dari Khalifah Umar, yakni agar Bilal mengumandangkan azan. Ia sungguh-sungguh merindukan suara azan, sebagaimana di zaman Rasulullah SAW hidup.

Tidak kuasa, Umar bin Khaththab menangis lantaran mengingat kenangan-kenangan bersama Nabi SAW begitu mendengarkan lantunan azan dari lisan Bilal.

Sampai ajal menjemputnya, Bilal bin Rabah menetap di Damaskus. Ia wafat pada tahun 20 Hijriah.

Uncategorized

Kisah Sahabat Anas bin Malik

Anas bin Malik. Putra dari pasangan Malik bin an-Nadhr dan Ummu Sulaim ini telah mengabdikan dirinya untuk melayani Rasulullah saw. selama sepuluh tahun. Hal ini berawal dari hijrahnya Rasulullah saw. ke Madinah ketika Anas masih berumur 10 tahun.

Kala itu Ummu Sulaim (sang ibunda) segera bergegas mendatangi Rasulullah saw. bersama Anas: ” Wahai Rasulullah saw. sungguh orang-orang anshar dan prempuan-prempuan anshar telah memberimu hadiah kecuali aku, dan aku tidak menemukan sesuatupun untuk dapat aku hadiahkan kepadamu kecuali hanya anak laki-lakiku (ini). Maka terimalah dariku. Dia akan melayani keperluanmu.”

Sejak saat itulah Anas resmi menjadi pelayan Rasulullah saw. hingga beliau wafat ketika Anas masih berumur 20 tahun. Dan selama melayani Rasulullah saw. Anas mengaku tidak pernah dipukul, dimaki bahkan bermuka masampun tidak pernah dilakukan Rasulullah saw.

Selain mendapat keistimewaan dapat melayani Rasulullah saw. Anas juga mendapat doa khusus dari Rasulullah saw. atas permintaan ibunya. “Allahumma Aktsir malahu, wawaladahu wa adkhilhul jannah.” (Ya Allah, berikanlah ia harta yang melimpah, keturunan yang banyak, dan masukkanlah ia kr surga).

Di sebagian riwayat lain disebutkan tambahan doa Rasulullah saw untuk Anas “Wa Athil Hayatahu.” (Dan panjangkanlah umurnya). Berkat doa Rasulullah saw. tersebut maka Anas pun ketika dewasa memiliki kebun kurma luas, dalam setahun dapat panen dua kali. Demikian pula, anak dan cucunya banyak, bahkan hingga wafat ia memiliki anak 120. Ia pun dipanjangkan umurnya hingga 107 tahun. Ia termasuk sahabat yang terakhir meningg di kota Bashrah pada hari jum’at tahun 93 Hijriyyah.

Selama menjadi pelayan Rasulullah saw. Anas tidak menyia-nyiakan waktu. Ia serap ilmu yang dicontohkan Rasulullah saw. baik dari segi perilaku maupun sabda-sabdanya. Bahkan ia menduduki peringkat ketiga dari kalangan sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis Rasulullah saw setelah Abu Hurairah dan Abdullah bin Umar. 2286 butir hadis telah berhasil ia dapatkan dari guru-gurunya.

Salah satu gurunya selain Rasulullah saw adalah Abu Bakar, Umar, Usman, Usaid bin al Hudhair dan Abi Thalhah. Dan ia juga banyak memiliki murid, salah satu nya adalah Ibnu Sirrin dan Al Sya’bi. Bukti lain ia telah benar-benar melayani Rasulullah saw. adalah pengakuan Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Anas adalah orang yang paling mirip shalatnya dengan Rasulullah saw. Dan sejarah mencatat ia adalah salah satu sahabat yang shalat menghadap dua qiblat (Baitul Maqdis dan Ka’bah). Dan diantara hadis yang telah diriwayatkan oleh Anas bin Malik adalah:

قال النبي صلى الله عليه وسلم: لا يتمنين احدكم الموت من ضر اصابه فان كان لابد فاعلا فليقل اللهم احيني ما كانت الحياة خيرا لي وتوفني اذا كانت الوفاة خيرا لي.
“Rasulullah saw. bersabda: ” Jangan sekali-kali salah seorang di antara kalian berharap harap kematian lantaran musibah yang datang. Jika terpaksa, maka ucapkanlah Ya Allah hidupkanlah aku jika hidup lebih baik bagiku, dan matikanlah aku jika mati lebih baik bagiku.” ( HR. Al Bukhari dan Muslim)

Demikianlah sekelumit kisah Anas bin Malik, semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya dan keluarganya sebagaimana ia telah mendedikasikan hidupnya untuk melayani Rasulullah saw. dan sebagaimana rasa sykurnya atas limpahan ilmu, harta anak dan umur yang panjang yang Allag berikan kepadanya. Aamiin. Dan semoga kita dapat meneladani keikhlasan dan kesetiaannya kepada Rasulullah saw.

Uncategorized

Kisah Sahabat An Nu’man bin Muqarrin Al Muzani

Seorang tokoh shahabat, dengan perantaraan beliau, kaumnya tunduk kepada kemuliaan Islam. Beliau berasal dari Kabilah Muzainah, sebuah kabilah badui yang tinggal di dekat kota Madinah, terletak di antara Madinah dan Makkah.

Kabar tentang Islam dan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah sampai ke telinga mereka. Dakwah beliau, kepada apa beliau mengajak dan juga keluhuran akhlak beliau telah meluluhkan hati tokoh ini dan hati kaumnya.

Beliau adalah Abu Amr An Nu’man bin Muqarrin bin ‘Aidz bin Miijan bin Hujair bin Nasr bin Hubsiyyah bin Kaab bin Abd bin Tsaur bin Hadmah bin Laathim bin Utsman Al Muzani. Putra-putra Utsman ini disebut Muzainah disandarkan kepada ibu mereka. Suatu ketika beliau berkata kepada kaumnya,

يَا قَوۡمِ وَاللهِ مَا عَلِمۡنَا عَنۡ مُحَمَّدٍ إِلَّا خَيۡرًا، وَلَا سَمِعۡنَا مِنۡ دَعۡوَتِهِ إِلَّا مَرۡحَمَةً وَإِحۡسَانًا وَعَدۡلًا، فَمَا بَالُنَا نُبۡطِئُ عَنۡهُ، وَالنَّاسُ إِلَيۡهِ يُسۡرِعُونَ؟! أَمَّا أَنَا فَقَدۡ عَزَمۡتُ عَلَى أَنۡ أَغۡدُوَ عَلَيۡهِ إِذَا أَصۡبَحۡتُ، فَمَنۡ شَاءَ مِنۡكُمۡ أَنۡ يَكُونَ مَعِي فَلۡيَتَجَهَّزۡ.

“Wahai kaumku, sungguh kita tidak mengetahui tentang Muhammad kecuali kebaikan, kita tidak mendengar tentang dakwahnya kecuali kasih sayang, kebaikan, dan keadilan. Lalu kenapa kita tidak segera menyambutnya, sedang manusia bersegera menyambutnya? Adapun aku, sungguh aku telah bertekad untuk datang kepadanya besok. Maka siapa di antara kalian yang mau bersamaku maka hendaklah dia bersiap-siap.”

Maka, di pagi harinya beliau datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sepuluh saudara beliau sebapak dan bersama mereka sejumlah empat ratus orang pasukan berkuda dari kaumnya. Maka, kedatangan beliau beserta rombongan ini untuk masuk Islam memberikan kegembiraan yang sangat pada kaum muslimin di Madinah. Kepada beliau dan kaum beliaulah turun ayat Allah berikut ini:

وَمِنَ ٱلۡأَعۡرَابِ مَن يُؤۡمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡءَاخِرِ وَيَتَّخِذُ مَا يُنفِقُ قُرُبَـٰتٍ عِندَ ٱللَّهِ وَصَلَوَ‌ٰتِ ٱلرَّسُولِ ۚ أَلَآ إِنَّهَا قُرۡبَةٌ لَّهُمۡ ۚ سَيُدۡخِلُهُمُ ٱللَّهُ فِى رَحۡمَتِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Di antara orang-orang Arab Badui itu ada orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) itu, sebagai jalan untuk mendekatkannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketahuilah, sesungguhnya nafkah itu adalah suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah). Kelak Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Q.S. At Taubah: 99]
Beliau dan saudara-saudara beliau, semuanya sejumlah tujuh orang adalah shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ikut berhijrah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada satu pun dari keluarga Arab ketika itu yang melakukan seperti mereka.

Mereka adalah: Abu Amrah Ma’qil bin Muqarrin Al Muzani, Abdullah bin Muqarrin al Muzani, Abu Hakiim ‘Aqiil bin Muqarrin Al Muzani, Abu ‘Ady Suwaid bin Muqarrin Al Muzani, Sinan bin Muqarrin Al Muzani, Nuaim bin Muqarrin Al Muzani (beliaulah yang mengambil bendera dari tangan An-Nu’man saat beliau gugur, kemudian menyerahkannya ke Hudzaifah. Dan di tangan Nuaim inilah banyak dibukakan negeri-negeri persia).

Tak ketinggalan, putra beliau Amr bin An Nu’man pun juga merupakan salah satu shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji keluarga ini sebagaimana disebutkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

إِنَّ لِلۡإِيمَانِ بُيُوتًا وَلِلنِّفَاقِ بُيُوتًا، وَإِنَّ بَيۡتَ بَنِي مُقَرِّنۡ مِنۡ بُيُوتِ الۡإِيمَانِ

“Sesungguhnya iman memiliki rumah-rumah dan kemunafikan juga memiliki rumah-rumah, dan sesungguhnya rumah-rumah bani Muqarrin adalah rumah-rumah keimanan.”

KEUTAMAAN NU’MAN BIN MUQARRIN
Beliau termasuk pembesar shahabat. Berbagai keutamaan ada pada beliau. Setelah masuknya beliau ke dalam Islam, beliau senantiasa mengikuti berbagai peristiwa bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, turut serta berhijrah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengikuti perang Ahzab/ Khandaq, mengikuti Bai’atur Ridwan, mengikuti pertempuran menghadapi kaum yang murtad dan lainnya.

Beliau juga meriwayatkan hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara yang tercatat meriwayatkan hadis dari beliau adalah Ma’qil bin Yasar, seorang shahabat. Adapun dari kalangan tabiin, ada Muhammad bin Sirin, Khalid Al Waalibii, anak beliau Muawiyah, Muslim bin Al Haidham, dan Jubair bin Hayyah.

PERAN SERTA DALAM MEMBELA KHALIFAH PERTAMA
Pada masa kepemimpinan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, dikirimlah pasukan besar di bawah komando Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, untuk menghadapi bangsa Romawi. Di saat yang hampir bersamaan, muncul gerakan-gerakan pemberontakan dari banyak kabilah-kabilah arab terhadap khalifah Abu Bakr Ash Shiddiq.

Ada beberapa kelompok mereka yang tidak mau menyerahkan zakat kepada beliau, dan menganggap bahwa zakat hanya ditunaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja. Ada pula kabilah yang menyempal dari Islam dengan menetapkan adanya kenabian setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Muncul gerakan Musailamah Al Kadzdzab yang didukung oleh kabilah besar dari Bani Hanifah. Muncul pula Sajah, wanita yang mengaku sebagai nabi dari Bani Tamim, Al Aswad di Negeri Yaman, dan Thulaihah.

Mereka menyangka kaum muslimin dalam keadaan lemah dan pecah sehingga berani menampakkan penentangan. Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dengan kaum muslimin yang tersisa di Madinah dan sekitarnya pun berjuang menghadapi para pemberontak tersebut dengan keberanian.

Dalam pertempuran menghadapi Thulaihah Al Asadi, An Nu’man memiliki andil besar. Abu Bakar sendiri yang turun tangan keluar menghadapi pasukan Tulaihah pada suatu malam. Beliau bersama An Nu’man di sebelah kanan dan Abdullah bin Muqarrin di sebelah kiri dan di arah belakang Suwaid bin Muqarrin.

Maka tatkala fajar terbit, telah berhadapanlah kedua pasukan tersebut dan Allah pun menjadikan pasukan sang nabi palsu lari tunggang langgang dan dikejar oleh pasukan muslimin hingga daerah Dzil Qishshah. Pada akhirnya, Tulaihah pun menyatakan tobatnya dan kembali dalam deretan kaum muslimin dan baik keislamannya.

PERAN SERTA DALAM MEMBELA KHALIFAH KEDUA
Di masa kekhalifahan Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah diangkat menjadi gubernur di daerah Kasykar, suatu negeri di dekat Sungai Tigris (dajlah) dan Efrat (furat), Iraq.

Suatu ketika, terdengar kabar bahwa pasukan Persia telah berkumpul dan siap berperang menghadapi muslimin. Mereka berkumpul di daerah Nahawand. Maka Umar bin Al Khattab pun menulis kepada penduduk Kufah dan Bashrah, memerintahkan mereka untuk mengirimkan 2/3 jumlah mereka guna bertempur dengan pasukan Persia. Dan menjadikan An Nu’man sebagai pemimpin pasukan.

Beliau memberikan pengarahan kepada pasukan dan mengatakan, “Apabila Nu’man terbunuh maka Hudzaifah (menggantikannya) dan apabila Hudzaifah terbunuh maka Jarir (yang menggantikannya).”

Maka keluarlah Nu’man dengan membawa bendera perang, bersama beliau Hudzaifah, Az Zubair, Al Mughirah bin Syu’bah, Asy’ats bin Qais, dan Abdullah bin Umar. Maka Allah pun memenangkan kaum muslimin dan membukakan Negeri Ashbahan di bawah komando beliau.

Tatkala pasukan ini sampai di Negeri Nahawand, An Nu’man pun mengatakan sebuah ucapan yang terkenal,

“Wahai kaum Muslimin, sesungguhnya aku pernah menyaksikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila tidak memulai berperang di permulaan siang (dhuha,red), maka beliau menunda pertempuran sampai datang akhir siang, saat angin mulai berhembus dan akan turunlah pertolongan. Yaa Allah berikanlah rezeki syahid untuk An Nu’man dengan pertolongan-Mu untuk kaum Muslimin. Dan menangkanlah untuk mereka.” Maka kaum musliminpun mengamini doa beliau.
Beliau juga mengatakan, “Sungguh aku akan menggerakkan bendera perang tiga kali. Apabila aku telah tiga kali menggerakkannya, maka bertempurlah, dan janganlah satu sama lain saling menoleh. Apabila An Nu’man terbunuh, janganlah kalian menoleh kepadanya.”
Maka bergeraklah beliau dan pasukan pada gerakan bendera yang ketiga. Dan Allah menetapkan bahwa beliau adalah orang pertama yang tersungkur dan mendapatkan syahadah. Radhiyallah anhu.

Pertempuran Nahawand ini terjadi di tahun 21 Hijriyyah. Dan beliau meninggal di hari Jumat. Maka saat datang Abu Utsman mengabarkan kepada Umar bin Al Khattab berita kematian beliau, beliaupun keluar dan naik mimbar untuk mengabarkan kepada manusia berita tersebut. Beliau pun meletakkan tangan pada kepala beliau sambil menangis. Radhiyallah anhu.

Uncategorized

Kisah Sahabat Amr bin Jamuh

Amr bin Jamuh adalah salah seorang pemimpin Yatsrib pada masa jahiliyah. Dia ipar Abdull bin Amr bin Haram, juga kepala suku Bani Salamah yang dihormati yang dihormati karena pemurah dan memiliki peri kemanusiaan yang tinggi serta gemar menolong orang-orang yang membutuhkan

Telah menjadi kebiasaan para bangsawan jahiliyah untuk menempatkan patung di rumah mereka masing-masing. Dengan demikian, mereka bisa mengambil berkah dan dan memuja patung tersebut setiap saat. Selain itu, untuk memudahkan mereka meletakkan sesajen sembari mengadukan keluhan-keluhan mereka pada waktu yang diperlukan.

Patung di rumah Amr bin Jamuh bernama “Manat”. Patung itu terbuat dari kayu, indah dan mahal harganya. Untuk perawatannya, Amr bin Jamuh terkadang harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Hampir setiap hari patung itu dibersihkan dan diminyaki dengan wangi-wangian khusus dan mahal.

Tatkala cahaya Islam mulai bersinar di Yatsrib dari rumah ke rumah, usia Amr bin Jamuh sudah lewat 60 tahun. Tiga orang putranya: Mu’awadz, Mu’adz dan Khalad, serta seorang kawan sebaya mereka, Mu’adz bin Jabal, telah masuk Islam di tangan Mush‘ab bin Umair, sang duta Islam. Bersamaan dengan ketiga putranya, masuk Islam pula ibu mereka Hindun, istri Amr bin Jamuh. Amr tidak mengetahui kalau mereka telah masuk Islam.

Saat itu, para bangsawan dan pemuka suku di Yatsrib (Madinah) telah banyak yang masuk Islam. Hindun yang sangat mencintai dan menghormati suaminya khawatir kalau suaminya mati dalam keadaan kafir lalu masuk neraka. Sebaliknya Amr sangat mencemaskan keluarganya yang akan meninggalkan agama nenek moyang mereka. Dia takut putra-putranya terpengaruh oleh dakwah yang disebarkan oleh Mush’ab bin Umair. Karena dalam tempo singkat Mush’ab berhasil merubah agama orang banyak dan menjadikan mereka Muslim.

Oleh sebab itu, Amr selalu berkata kepada istrinya, “Hai Hindun, hati-hatilah menjaga anak-anak, agar mereka jangan sampai bertemu dengan orang itu (Mush ‘ab bin ‘Umair)!”

“Ya,” jawab istrinya. “Tapi apakah kau pernah mendengar putra kita bercerita mengenai pemuda itu?”

“Celaka! Apakah Mu’adz telah masuk agama orang itu?” tanya Amr gusar.

“Tidak, bukan begitu! Tetapi Mu’adz pernah hadir dalam majelis orang itu, dia ingat kata-katanya,” jawab istrinya menenteramkan hati Amr.

“Panggillah dia kemari!” perintah suaminya.

Ketika Mu’adz hadir di hadapan ayahnya, Amr berkata, “Coba baca kata-kata yang pernah diucapkan orang itu. Bapak ingin mendengarkannya.”

Mu’adz membacakan surat Al-Fatihah kepada bapaknya.

“Alangkah bagus dan indahnya kalimat itu. Apakah setiap ucapannya seperti itu?” tanya Amr.

“Bahkan lebih bagus dari itu. Bersediakah ayah baiat dengannya? Rakyat ayah telah banyak yang baiat dengan dia,” kata Mu’adz.

Orang tua itu diam sebentar. Kemudian dia berkata, “Aku tidak akan melakukannya sebelum musyawarah lebih dahulu dengan Manat. Aku menunggu apa yang dikatakan Manat.”

“Bagaimana Manat bisa menjawab? Bukankah itu benda mati, tidak bisa berpikir dan tidak bisa berbicara?” kata Mu’adz.

“Kukatakan padamu, aku tidak akan mengambil keputusan tanpa dia!” tegas Amr.

Putra-putranya mengetahui benar kapan ayah mereka menyembah berhala itu. Mereka juga tahu kalau hati ayah mereka mulai goyah. Oleh sebab itu, mereka mencari jalan bagaimana cara menghilangkan patung tersebut dari hati Amr bin Jamuh. Salah satu jalannya adalah menyingkirkan berhala tersebut dari rumah mereka dan membuangnya jauh-jauh.

Pada suatu malam, putra-putra Amr dan bersama Mu’adz bin Jabal menyusup ke dalam rumah lalu mengambil berhala tersebut dan membuangnya ke dalam lubang kotoran manusia. Tidak seorang pun yang mengetahui dan melihat perbuatan mereka itu.

Pagi harinya, Amr tidak melihat Manat di tempatnya. Ia bergegas mencari berhala tersebut dan akhirnya menemukan di tempat pembuangan kotoran. Bukan main marahnya Amr bin Jamuh melihat kondisi sesembahannya itu. Setelah membersihkan sang berhala dan memberinya wewangian, ia kembali meletakkannya di tempat semula.

Malam berikutnya, Muadz bin Jabal dan putra-putra Amr memperlakukan berhala itu seperti sebelumnya. Demikian juga pada malam-malam berikutnya. Akhirnya, habislah kesabaran Amr. Diambilnya pedang, kemudian digantungkannya di leher Manat, seraya berkata, ” Hai Manat, jika kamu memang hebat, tentu bisa menjaga dirimu dari aniaya orang lain!”

Keesokan harinya, Amr bin Jamuh tidak menemukan berhalanya kembali. Ketika ia cari, benda tersebut ditemukannya di tempat pembuangan hajat, terikat bersama bangkai seekor anjing. Di saat ia keheranan, marah dan kecewa, muncullah beberapa pemuka Madinah yang telah masuk Islam. Sambil menunjuk berhala yang terikat dengan bangkai anjing itu, mereka berusaha mengetuk hati Amr bin Jamuh agar menggapai hidayah Allah.

Akhirnya ia sadar, bahwa Manat tak dapat berbuat apa-apa. Manat ternyata tak mempunyai sifat ketuhanan sedikit pun. Selama ini, ia berpikir bahwa kekayaan yang ia miliki itu datang dari Manat. Sekarang ia sadar, bahwa Manat bukanlah Tuhan yang dapat memberinya rezeki dan petunjuk.

Ia kemudian membersihkan badan dan pakaiannya, memakai wewangian, lalu bergegas menemui Nabi Muhammad SAW untuk menyatakan keislamannya. Amr bin Jamuh merasakan bagaimana manisnya iman. Dia sangat menyesali dosa-dosanya selama dalam kemusyrikan. Maka setelah masuk Islam, ia mengarahkan seluruh hidupnya, hartanya, dan anak-anaknya dalam menaati perintah Allah dan Rasul-Nya.

Tatkala terjadi Perang Badar, Amr bin Jamuh bersiap-siap hendak turut bergabung, namun sayang Rasulullah tak mengizinkannya turut serta—melihat kondisinya yang renta dan pincang. Beliau memberikan keringanan padanya untuk tidak ikut berperang.

Namun ketika terjadi Perang Uhud, ia pun bersiap-siap hendak turut berjihad. Namun putra-putranya melarang. Ia pun nekat menemui Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, putra-putraku melarangku berbuat kebajikan. Mereka keberatan jika aku ikut berperang karena sudah tua dan pincang. Demi Allah, dengan pincangku ini, aku bertekad meraih surga.”

Rasulullah pun akhirnya mengizinkan Amr bin Jamuh turut serta dalam Perang Uhud. Dengan suara mengiba ia memohon kepada Allah SWT, “Ya Allah, berilah aku kesempatan untuk memperoleh syahid. Jangan kembalikan aku kepada keluargaku.”

Tatkala perang berkecamuk, kaum Muslimin berpencar. Amr bin Jamuh berada di barisan paling depan. Dia melompat dan berjingkat seraya mengelebatkan pedangnya ke arah musuh-musuh Allah, sambil berteriak, “Aku ingin surga, aku ingin surga!”

Apa yang didambakan Amr akhirnya terwujud jua. Ia gugur sebagai syahid bersama beberapa sahabat lainnya. Tatkala perang berakhir, Rasulullah SAW memerintahkan untuk memakamkan jasad Abdullah bin Amr bin Haram dan Amr bin Jamuh dalam satu liang lahat. Semasa hidup, mereka berdua adalah sahabat setia yang saling menyayangi. Dalam riwayat lain disebutkan, Amr bin Jamuh dimakamkan satu liang dengan putranya, Khalad bin Amr.

Setelah 46 tahun berlalu, tanah pemakaman itu dilanda banjir. Kaum Muslimin terpaksa memindahkan jasad para syuhada. Kala itu, Jabir bin Abdullah bin Haram—putra Abdullah bin Amr bin Haram—masih hidup. Bersama keluarganya, ia memindahkan jasad ayahnya, Abdullah bin Haram dan Amr bin Jamuh. Mereka mendapatkan kedua jasad syuhada itu tetap utuh. Tak sedikit pun dari tubuh mereka yang dimakan tanah. Bahkan keduanya seperti tertidur nyenyak dengan bibir menyunggingkan senyum.

Uncategorized

Kisah Sahabat Al Thufail bin ‘Amr Al Dausy

Namanya Thufail bin Amr bin Tharif bin Ash Ad-Dausi(dusi) Al-Azdi, adalah kepala kabilah Daus pada masa jahiliyah. Dia termasuk bangsawan Arab yang terpandang, seorang pemimpin yang memiliki kharisma serta kewibawaan yang tinggi dan diperhitungkan orang. Periuknya tidak pernah turun dari tungku. Pintu rumahnya tidak pernah tertutup bagi orang-orang yang bertamu, melindungi orang yang sedang ketakutan dan membantu setiap penganggur. Di samping itu, dia pujangga yang pintar dan cerdas, penyair yang tajam dan berperasaan halus.

Selalu tanggap terhadap kenyataan-kenyataan yang manis dan yang pahit. Karya-karyanya mempesona bagaikan sihir. Pada suatu ketika, thufail meninggalkan negrinya, tihmah (dataran rendah sepanjang laut merah) menuju Makkah. Waktu itu pertentangan antara Rasululloh shallallahu Alaihi wa sallam dengan kafir Quraisy semakin nyata. Masing-masing pihak berusaha memperoleh pengikut atau simpatisan guna memperkuat golongannya. Untuk itu, senjata Rasululloh shallallahu Alaihi wa sallam hanya berdo’a kepada Tuhannya,disertai iman dan kebenaran yang dibawanya. Sedangkan kaum kafir Quraisy menegakan impian mereka dengan kekuatan senjata,dan dengan segala macam cara untuk menghalangi orang banyak menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.

Thufail terlibat dalam kemelut ini tanpa disengaja, karena kedatangannya ke makkah itu bukan untuk melibatkan diri. Bahkan pertentangan antara Nabi Muhammad dengan kaum Quraisy belum pernah terlintas dalam pikirannya sebelum itu. Thufail Ke Makkah Kedatangannya ke Makkah di sambut dengan hangat. Ia ditempatkan di sebuah rumah istimewa. Kemudian para pemimpin dan pembesar Quraisy berdatangan menemuinya. Hai thufail, kami sangat gembira Anda datang ke Negeri kami,walaupun negeri kami sedang dilanda kemelut. Orang yang mendakwahkan diri menjadi Nabi itu (Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam) telah merusak agama kita,merusak kerukunan kita,dan memecah belah persatuan kita semua. Kami khawatir dia akan mempengaruhi Anda pula. Kemudian dengan kepemimpinan Anda, di pengaruhinya pula kaum Anda, seperti yang terjadi pada kami. Pesan Orang Quraisy kepada Thufail karena itu janganlah Anda dekati orang itu, jangan berbicara dengannya dan jangan pula mendengarkan kata-katanya.

Sebab kalau dia berbicara, kata-katanya bagaikan sihir. Perkataannya dapat memisahkan anak dengan bapak, merenggangkan saudara sesama saudara dan menceraikan istri dengan suami. Mereka terus menceritakan hal yang aneh-aneh kepada Thufail. mereka menakut-nakutkannya dengan keanehan-keanehan yang pernah dilakukan Nabi Muhammad. Thufail dilarang bicara bahkan mendengar ucapan Nabi Muhammad dan kaum muslimin sedikitpun. Thufail bertemu Nabi Muhammad Pada suatu pagi Thufail pergi ke masjid hendak tawaf di Ka’bah,dan mengambil berkah dari berhala-berhala yang ia puja. Hal seperti itu biasa dia lakukan ketika musim haji. Ia menyumbat telinganya dengan kapas,karena takut mendengar suara Nabi Muhammad dan pengikutnnya. Tetapi ketika masuk ke masjid, ia melihat Muhammad sedang shalat dalam Ka’bah.

 Thufail terpesona melihat shalat Nabi yang tidak sama dengan shalatnya. Sedikit demi sedikit ia bergerak menghampiri Nabi, sehingga akhirnya ia berada dekat sekali dengannya. Alloh subhanahu wa Ta’ala menakdirkan Thufail mendengar apa yang dibaca nabi. Thufail berkata kepada dirinya sendiri , “Betapa celakanya engkau, hai Thufail! Engkau seorang pujangga dan penyair. Engkau tahu membedakan mana yang indah dan yang buruk. Apa salahnya kalau engkau dengarkan dia bertutur? Mana yang baik boleh engkau ambil, mana yang buruk tinggalkan!” Thufail bagaikan terpaku di tempatnya. Ketika Rasululloh pulang,ia pun mengikutinya sampai ke rumah dan memuinya. Di hadapan Rasululloh ia bertanta, “Ya Muhammad, sesungguhnya kaum Anda berkata kepadaku tentang diri Anda begini dan begitu. Mereka menakut-nakutiku dengan urusan agama Anda. Oleh karena itu, aku menyumbat telingaku dengan kapas agar tidak mendengar sesuatu dari Anda. Tetapi Alloh menghendaki supaya aku mendengar sesuatu dari Anda. Ternyata apa yang Anda ucapkan semuanya benar dan bagus. Maka ajarkanlah kepadaku agama Anda itu!” Thufail Masuk Islam Rasulullah SAW mengajarkan kepadanya agama islam. Dibacakannya AL ikhlas dan AL falaq . sejak saat itu ia masuk Islam. Dan menetap di makah beberapa lama,mempelajari Agama Islam.

Ia mengahafal Ayat-ayat Al- qur’an yang dapat ia hafal. Ketika hendak bermaksud kembali kepada kaumnya,”Ya Rasulullah, aku ini pemimpin yang dipatuhi oleh kaumku. Aku bermaksud hendak kembali kepada mereka dan mengajak mereka masuk Islam. Tolonglah do’akan kepada Allah SWT semoga Allah memberiku bukti bukti nyata yang dapat memperkuiat dakhwahku kepada mereka,supaya mereka masuk Islam. Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam pun segera berdo’a agar Thufail dijadikan baginya tanda supaya kaumnya semakin percaya kepada Thufail. Mendapat Cahaya di Tongkatnya Ditengah perjalanan pulang,keluarlah suatu cahaya diantara kedua mata Thufail seperti lampu. Thufail berdo’a Ya Alloh, pindahkan lah cahaya ini ke tempat lain ,karena kalau cahaya ini terletak di antara kedua mataku,aku hawatir kalau-kalau kaumku manyangka mataku telah kena sihir lantaran meninggalkan agama berhala. Dengan izin Alloh cahaya itu dipindahkan ke ujung tongkatnya,bagaikan sebuah kendil tergantung.

 Setelah berada di tengah-tengah kaumnya, yang pertama tama mendatanginya adalah bapaknya sendiri. Beliau sudah berusia lanjut. Keluarga Thufai masuk Islam Ketika Thufail menawarkan Islam kepada bapak dan istrinya, mereka mau mengikuti ajaran Islam. Namun saat ia menyeru kaumnya tak seorang pun dari mereka yang mau mendengar seruan Thufail, kecuali Abu Hurairah. Dia paling cepat memenuhi panggilan Islam. Thufail datang memenuhi Rasulullah SAW di Mekah bersama Abu Hurairah. Rasulullah SAW bertanya, bagaimanakah perkembangan dakwahmu, hai Thufail? Hati kaumku masih tertutup dan sangat kafir.Sungguh seluruh kaumku, Kabilah Daus, masih sesat durhaka, jawab Thufail. Rasulullah SAW pergi mengambil wudhu’,kemudian beliau shalat. Sesudah shalar beliau menadahkan kedua tangannya ke langit, lalu berdo’a. Pada saat itu Abu Hurairah merasa khawatir jangan -jangan Rasulullah mendo’akan agar kabilah daus celaka. Tetapi sebaliknya, Rasulullah mendo’akan agar Allah memberikan hidayah kepada kaum Daus.

Rasulullah segera menyuruh pulang. Dan benar saja, saat Thufail menyeru kaumnya, mereka segera menyambut ajakan Thufail. Sejak itu hingga Rasulullah hijrah, Thufail meneap di negrinya. Perang Badar Sementara Itu terjadi perang Badar, perang Uhud, dan perang Khandaq. Thufail datang menghadap Rasulullah SAW dengan membawa 80 keluarga muslim Daus, yang keislamannya tidak diasingkan lagi. Rasulullah menyambut gembira kedatangan mereka. Dan sesuai dengan permohonan Thufail dan kaumnya, Rasulullah menempatkan mereka di sayap kanan pasukan Nabi. Dan kompi muslimin Daus ini dinamakan Kompi Mabrur. Sejak saat itu, Thufail selalu mendampingi Rasulullah. Fathu Makkah Setalah pembebasan kota Mekah, Thufail minta izin kepada Rasulullah, agar dibolehkan pergi ke Dzil Kafain untuk musnahkan berhala-berhala yang ada di sana.

Rasulullah memberi izin kepada Thufail. Dia berangkat ke tempat berhala tersebut dengan satu regu tentara dari pasukannya. Sewaktu sampai disana dan mereka bersiap handak membakar berhala Dzil Kafain, berkerumunlah kaum laki-laki, perempuan dan anak-anak sekitar mereka, menunggu-nuggu apa yang akan terjadi. Mereka menduga akan terjadi petir dan halilintar, bila regu Thufail menjamah berhala Dzil Kafain itu. Tetapi Thufaildengan menatap menuju berhala itu disaksikan para pemujanya sendiri. Beliau menyulutkan api tepat di jantung Dzil Kafail, sambil bersajak : Hai Dzil Kafain, kami bukanlah pemujamu. Kelahiran kami lebih dahulu dari pada keberadaanmu. Inilah aku, menyulutkn api di jantungmu!

 Setelah api melahap habis patung-patung Dzil Kafain, sirna pulalah sisa-sisa kemusyrikan dalam kabilah Daus. Seluruh kabiah Daus masuk Islam, dan menjadi muslim-muslim sejati. Thufail bin Amr Ad-Dausy senantiasa mendampingi Rasulullah SAW sampai beliau wafat. Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah. Thufail dan anak buahnya patuh kepada pemerintahan Khalifah Abu Bakar. Tatkala berkecamuk peperenganmembasmi orang-orang murtad, Thufail paling dahulu pergi berperang bersama-sama tentara muslimmemerengi musailamah Al-Kadzhab (Musailamah si Pembohong). Begitu putra beliau, Amr bin Thufail yang selalu saja tak mau ketinggalan. Thufail bermimpi ketika menuju Yamamah Ketika Thufail dalam perjalanan menuju ke Yamamah (kawasan tempat musailamah menyebarkan pahamnya yang murtad), dia bermimpi, Aku bermimpi.

Cobalah kalian ta’birkan mimpiku ini,” kata Thufail kepada sahabat-sahabatnya Bagaimana mimpi anda? Tanya kawan-kawanya. Aku bermimpi kepalaku dicukur. Seekor burung keluar dari mulutku, kemudian seorang perempuan memasukanku ke dalam perutnya. Anakku Amr menuntut dengan sungguh-sungguh supaya dibolehkan ikut bersamaku. Tetapi dia tak dapat berbuet apa-apa karena antara aku dan dia ada dinding.” Sebuh mimpi nan indah! komentar kawan-kawan tanpa membarikan penafsiran sedikit pun. Akhirnya Thufail sendiri yang menta’birkan, Sekarang, baiklah aku ta’birkan sendiri. Kepalaku dicukur, artinya kepalaku dipotong orang. Burung keluar dari mulutku, artinya nyawaku dari jasadku. Seorang perempuan memasukanku ke dalam perutnya, artinya tanah digali orang, lalu dikuburkan. Aku berharap semoga aku tewas sebagai syahid. Adapun tuntutan anakku, dia juga berharap mati syahid seperti aku. Tetapi permintaanya dikabulkan kemudian.

Thufail Meninggal Dalam pertempuran memerangi pasukan Musailamah Al -Kadzab di Yamamah, sahabat yang mulia ini, yaitu Thufail Ibnu Amr Ad-Dausy, mendapat cidera sehingga dia terbanting dan tewas di medan tempur. Putranya, Amr, meneruskan peperangan hingga tangan kanannya buntung. Setelah itu dia kembali ke Madinah meninggalkan tangan sebalah dan jenazah bapaknya di medan tempur Yamamah. Tatkalah Khalifah Umar bin Khatthab memerintah, Amr binti Thufail (putera Thufail) pernah datang ke majlis Khalifah. Ketika dia sedang berada dalam majlis, makanan pun dihidangkan orang. Orang-orang yang duduk dalam majlis mengajak Amr supaya turut makanbersama-sama. Tetapi ‘Amrmenolak dan menjauh.

 Mengapa? tanya Khalifah. Barangkali engkau lebih senang makan belakangan, karena malu dengan tanganmu itu. Betul, ya Amirul Mu’minin! jawab Amr. Kata Khalifah, Demi Allah! Aku tidak akan memakan makanan ini, sebelum ia kau sentuh dengan tanganmu yang buntung itu. Demi Allah! Tidak seorang pun juga yang sebagian tubuhnya telah berada di syurga, melainkan hanya engkau. Mimpi Thufail menjadi kenyataan semuanya. Tatkala terjadi perang Yarmuk, Amr bin Thufail turut pula berperang bersama-sama dengan tentara muslimin. Amr tewas dalam peperangan itu sebagai syuhada’,seperti yang diharapkan bapaknya. Semoga Allah memberi rahmat kepada Thufail yang gugur diperang Yamamah dan putranya, Amr, yang syahid di medan tempur Yarmuk.

Uncategorized

Kisah Sahabat Al Rabi’ bin Ziyad Al Haritsi

Namanya adalah ar-Rabi’ bin Ziad al-Haritsy, gubernur Khurasan, penakluk Sajistan dan komandan yang gagah berani sedang bergerak memimpin pasukannya berperang di jalan Allah bersama budaknya yang pemberani, Farrukh.

Setelah Allah memuliakannya dengan penaklukan Sajistan dan belahan bumi lainnya, dia bertekad untuk menutup kehidupannya yang semarak dengan menyeberangi sungai Sihun (sebuah sungai besar yang terletak setelah Samarkand, perbatasan Turkistan) dan mengangkat bendera tauhid di atas puncak bumi yang disebut dengan Negeri Di Balik Sungai itu.

Ar-Rabi’ bin Ziad menyiapkan peralatan dan bekalnya untuk peperangan yang sebentar lagi akan terjadi. Dan dia telah menetapkan waktu dan tempat untuk menghadapi musuhnya.

Dan ketika peperangan telah berkobar, ar-Rabi’ dan pasukannya yang gagah berani melancarkan serangan yang hingga kini masih didokumentasikan oleh sejarah dengan penuh sanjungan dan penghormatan.

Sementara budaknya, Farrukh telah menampakkan kegagahan dan keberaniannya di medan laga sehingga membuat ar-Rabi’ tambah kagum, hormat dan menghargai keistimewaannya itu.

Peperangan berakhir dengan kemenangan yang gemilang bagi kaum muslimin. Mereka telah mampu menggoncang musuh, mencerai-beraikan dan mengkocar-kacirkan pasukannya.

Kemudian mereka menyebrangi sungai yang menghalangi mereka untuk menuju ke arah negeri Turki dan menahan laju mereka ke arah negeri Cina dan kerajaan Shughd.

Ketika Panglima besar ini telah berhasil menyeberangi sungai dan telah kedua kakinya telah menapak ke tanah pinggirannya, dia dan pasukannya segera berwudhu dengan air sungai dengan sebaik-baiknya.

Lalu mereka menghadap kiblat dan melakukan shalat dua raka’at sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah, Penganugerah kemenangan.

Setelah itu, dia membalas jasa budaknya, Farrukh dengan memerdekakannya, memberinya bagian ghanimah yang sangat banyak, ditambah harta pribadinya yang cukup banyak pula.

Kehidupan setelah hari yang cemerlang dan terang itu tidaklah berlangsung lama bagi ar-Rabi’ bin Ziad al-Haritsy.

Ajal pun menjemputnya setelah dua tahun dari tercapai impiannya yang besar itu, untuk pergi menyongsong Rabbnya dengan penuh ridha dan diridhai.

Sedangkan anak muda nan gagah lagi pemberani, Farrukh, kembali ke Madinah al-Munawwarah dengan membawa bagian ghanimahnya yang banyak dan pemberian berharga yang diberikan oleh panglima besarnya.

Dan di atas semua itu, dia membawa kemerdekaan yang begitu mahal harganya dan kenangan indah bersama ukiran kepahlawanan yang dimahkotai oleh debu-debu peperangan.

Ketika menginjakkan kaki ke kota Rasulullah, Farrukh merupakan seorang pemuda yang sempurna, energik dan penuh semangat ksatria dan kepandaian berkuda. Ketika itu, usianya sudah menganjak 30-an tahun.

Farrukh telah berniat untuk membangun rumah tempat berteduh dan memiliki seorang isteri tempat tambatan hatinya.

Lalu dia membeli sebuah rumah tipe menengah di Madinah dan memilih seorang wanita yang cerdas otaknya, sempurna akhlaknya, baik agamanya dan seumur dengannya, lalu dinikahinyalah wanita itu.

Farrukh merasa nyaman dengan rumah yang dikaruniakan Allah kepadanya.

Didampingi oleh sang isteri, dia juga mendapatkan rizki yang memadai, perlakuan yang demikian baik dan kehidupan yang cemerlang melebihi apa yang sebelumnya pernah diharapkan dan dicita-citakannya.

Akan tetapi rumah yang mewah beserta kelebihannya dan istri yang shalehah dengan segala yang dikaruniakan Allah kepadanya; sifat yang baik dan prilaku yang agung, tidaklah mampu untuk membendung hasrat sang ksatria Mukmin ini untuk kembali terjun ke medan laga, kerinduan untuk mendengar suara gemerincing pedang saling bersabetan dan kegandrungannya untuk kembali berjihad di jalan Allah.

Setiap kali terdengar berita kemenangan pasukan muslim yang berperang di jalan Allah di Madinah, semakin menyalalah kerinduannya untuk berjihad dan semakin menggebulah hatinya keinginannya mendapatkan kesyahidan.

Suatu kala di hari jum’at, Farrukh mendengar khathib masjid Nabawi mengabarkan berita gembira perihal kemenangan pasukan muslim di berbagai medan peperangan, mengajak jema’ah untuk berjihad di jalan Allah dan menganjurkan untuk mencari kesyahidan demi meninggikan agama-Nya dan mengharap keridhaan-Nya,.

Maka pulanglah Farrukh ke rumahnya sementara dia telah memasang tekad bulat untuk bergabung di bawah bendera kaum muslimin yang bertebaran di bawah setiap komando. Dia menyampaikan niatnya tersebut kepada sang isteri.

Maka sang istri menjawab,“Wahai Abu Abdirrahman, kepada siapa engkau titipkan diriku dan jabang bayi yang sedang aku kandung ini?! Sebab di Madinah ini adalah orang asing yang tidak mempunyai keluarga dan sanak saudara.”

Lalu Farukh berkata,“Aku titipkan kamu kepada Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya aku telah meninggalkan untukmu 30.000 dinar yang aku kumpulkan dari ghanimah perang; jagalah dan investasikanlah harta itu. Belanjakanlah untuk dirimu dan anakmu darinya dengan baik hingga aku pulang dengan selamat dan membawa ghanimah atau Allah karuniakan kepadaku kesyahidan yang aku cita-citakan.”

Kemudian dia berpamitan dengannya dan pergi menuju tujuannya.

Istri yang cerdas otaknya ini kemudian melahirkan bayinya setelah beberapa bulan dari kepergian sang suami.

Ternyata anaknya adalah laki-laki berwajah ceria, tampan dan enak dipandang. Sang ibu sangat bahagia dengan kelahiranya, sampai-sampai dia lupa akan kepergian ayahnya. Anak ini, dia beri nama Rabi’ah.

Sejak kecil, tanda-tanda kecerdasan telah nampak pada anak kecil ini. Tanda-tanda kepintaran itu nampak pada tingkah laku dan perkataannya. Karena itu, sang ibu menyerahkannya kepada beberapa orang guru dan berpesan kepada mereka agar mengajarkannya dengan sebaik-baiknya. Dia juga mengundang guru-guru akhlaq dan menyarankan merkea agar melakukan penggamblengan yang ketat terhadapnya.

Tak berapa lama dari itu, sang anak sudah menekuni baca-tulis. Dia juga dapat menghafal Kitabullah dan selalu membacanya secara tartil dengan begitu indah layaknya saat diturunkan ke hati Muhammad SAW. Begitu pula, dia banyak menghafal hadits Rasulullah SAW, pandai memamerkan ungkapan Arab yang indah dan mengetahui masalah-masalah agama yang esensial.

Untuk kebutuhan itu, Ummu Rabi’ah sudah banyak mengeluarkan ‘kocek’ buat para guru dan pendidik akhalq sang anak, demikian juga memberi hadiah-hadiah kepada mereka. Setiap dia melihat peningkatan ilmu sang anak, dia menambah uang buat mereka sebagai bentuk kepeduliaan dan penghormatan.

Di samping hal itu, rupanya dia juga selalu menanti-nanti kepulangan sang suami yang raib dan sudah berupaya untuk hanya menjadikannya sebagai belahan hatinya dan anaknya.

Akan tetapi sang suami, Farrukh telah lama menghilang sementara berita tentangnya masih simpang-siur; ada yang mengatakan dia ditawan musuh. Ada yang mengatakan bahwa ia meneruskan jihad. Sementara ada sekelompok orang lainnya yang sudah pulang dari medan jihad bahwa ia telah meraih kesyahidan yang diimpi-impikannya.

Bagi Ummu Rabi’ah pendapat terakhir ini lebih kuat karena sudah terputusnya berita tentangnya. Karena itu, diapun sedih sesedih-sedihnya yang membuat hatinya merana, lantas menyerahkan semua itu kepada Allah Ta’ala semoga dibalas pahala atas kesabarannya.

Ketika itu, Rabi’ah sudah beranjak remaja dan hampir masuk usia pemuda.

Para pemberi nasehat berkata kepada ibundanya,“Ini si Rabi’ah sudah menyelesaikan baca-tulis yang sudah semestinya diselesaikan untuk orang seusianya. Bahkan dia unggul atas teman-teman seumurnya; dia hafal al-Qur’an dan juga meriwayatkan hadits. Andaikata engkau pilihkan suatu pekerjaan yang dapat menghasilkan kebaikan buatnya, pasti dengan begitu cepat dia bisa menekuninya dan lantas dapat menafkahimu dan dirinya.”

Ibu Rabi’ah menjawab, “Aku memohon kepada Allah agar Dia memilihkan untuknya hal terbaik bagi kehidupan dan akhiratnya…”

Sesungguhnya Rabi’ah telah memilih ilmu untuk dirinya dan bertekad bulat untuk hidup sebagai penuntut ilmu dan pengajar selama hayat dikandung badan.

Rabi’ah terus berlalu sesuai jalan yang telah digariskannya untuk dirinya tanpa menunda-nunda dan berbuat teledor, menyongsong halaqah-halaqah ilmu yang demikian sesak di masjid Madinah sebagaimana layaknya seorang yang dahaga yang menuju sumbe air nan lezat.

Dia berguru dengan para shahabat yang masih tersisa, terutama Anas bin Malik, khadim Rasulullah SAW.

Dia juga berguru dengan kontingen pertama dari generasi Tabi’in, terutama Sa’id bin al-Musayyib, Mak-hul asy-Syamy dan Salamah bin Dinar.

Dia terus berjerih payah pada malam hari dan siang harinya hingga betul-betul kelelahan.

Kita pernah mendengar para gurunya berkata, “Sesungguhnya ilmu itu tidak akan memberimu separoh dirinya kecuali bila kamu telah memberinya seluruh ragamu.”

Tidak berapa lama berlalu, namanya kemudian menjadi bergema, bintangnya telah berkibar dan saudara-saudaranya semakin banyak.

Para murid-muridnya amat menggandrunginya dan kaumnya telah menjadikannya sebagai pemuka mereka.

Kehidupan ulama Madinah ini berjalan damai dan tentram; separoh harinya dia berada di rumah bersama keluarga dan saudara-saudaranya. Separoh lagi dia gunakan di masjid Rasululullah guna menimba ilmu dari majlis-majlis dan halaqahnya.

Kehidupannya berjalan samar-samar hingga terjadilah sesuatu yang tidak pernah disangka-sangka

Pada suatu malam saat bulan purnama di musim panas, seorang pejuang yang sudah berumur sekitar enam puluh tahun-an baru sampai di Madinah.

Orang itu berjalan memasuki gang-gangnya dengan berkuda menuju rumahnya. Dia tidak tahu, apakah rumahnya masih berdiri seperti sedia kala atau sudah terjadi perubahan seiring dengan perjalanan waktu.

Sudah lama ia tingglkan, yaitu selama tiga puluh tahun atau sekitar itu.

Dia bertanya-tanya dalam hati tentang isterinya yang masih muda, yang dia tinggalkan di rumah itu; apa yang telah dia lakukan? Dan tentang jabang bayi yang dikandungnya; apakah anak laki-laki atau perempuan yang lahir? Apakah dia hidup atau mati? Dan jika hidup, bagaimana keadaannya?

Dia juga bertanya-tanya tentang uang banyak yang dia kumpulkan dari beberapa ghanimah jihad, yang dia titipkan padanya ketika akan berangkat berperang di jalan Allah bersama tentara kaum muslimin yang bergerak untuk menaklukkan negeri Bukhara, Samarkand dan sekitarnya.

Waktu itu, gang-gang Madinah dan jalan-jalannya masih ramai oleh orang-orang yang berlalu-lalang karena mereka hampir saja akan melaksanakan shalat isya’.

Akan tetapi tidak seorangpun dari orang-orang yang dia lewati mengenalnya, tidak ada yang memperdulikannya, tidak melihat kudanya yang kurus dan tidak melihat pedangnya yang menggelayut di pundaknya.

Penduduk kota-kota Islam telah terbiasa melihat pemandangan para mujahidin yang hendak berangkat menuju peperangan di jalan Allah atau kembali darinya.

Akan tetapi hal itulah yang justeru menimbulkan kesedihan dan rasa cemas di hati pejuang ini.

Tatkala pejuang ini hanyut dalam alam pikirannya, sembari terus berjalan mencari rumahnya di gang-gang yang sudah banyak berubah itu, tiba-tiba dia mendapati dirinya sudah berada di depan rumahnya.

Kebetulan dia dapati pintunya terbuka sehingga saking gembiranya, dia lupa meminta izin dulu kepada penghuninya. Dia langsung menyelonong masuk hingga sampai ke bagian dalam.

Pemilik rumah mendengar suara pintu, lalu dia melongok dari lantai atas. Ternyata di bawah benderang sinar rembulan, dia melihat seorang laki-laki yang menghunus pedang dan menggantungkan tombaknya sedang memasuki rumahnya di malam hari.

Waktu itu istrinya yang masih muda berdiri tidak jauh dari incaran mata orang asing itu.

Melihat gelagat itu, pemilik rumah langsung marah dan segera turun tanpa alas kaki seraya berkata,
“Apakah anda ingin sembunyi di balik kegelapan wahai musuh Allah dan merampok rumahku serta menyerang istriku?!”

Lalu dengan seketika, dia menyerang orang tersebut bak harimau yang ingin mempertahankan sarangnya jika ada yang ingin mengganggunya dan tidak memberikan kesempatan lagi kepadanya untuk berbicara.

Akhirnya, masing-masing saling baku hantam sehingga suasana gaduh semakin seru dan suaranya semakin mengencang. Karenanya, para tetangga berhamburan menuju ke rumah itu dari segala penjuru. Lalu mereka mengurung orang asing ini ibarat lingkaran borgol di tangan dan membantu tetangga mereka untuk menghadapinya.

Lantas pemilik rumah mencengkeram leher orang asing itu dan mengencangkan cengkeramannya seraya berkata,“Demi Allah aku tidak akan melepaskanmu -wahai musuh Allah- kecuali nanti di samping gubernur.”

Maka orang itu berkata, “Aku bukan musuh Allah dan tidak melakukan dosa apa-apa.! Ini adalah rumahku dan budakku, aku mendapati pintunya terbuka lalu aku memasukinya.”

Kemudian orang asing itu menoleh ke arah khalayak sembari berkata,
“Wahai hadirin, tolong dengarkan aku. Rumah ini adalah rumahku yang aku beli dengan hartaku. Wahai hadirin, aku ini adalah farrukh. Apakah tidak ada seorang tetanggapun yang masih mengenali Farrukh yang pergi sejak tiga puluh tahun lalu untuk berjihad di jalan Allah?!.”

Waktu itu ibu pemilik rumah ini sedang tidur lalu terbangun karena mendengar keributan. Dia melongok dari jendela lantai atas dan melihat yang ternyata benar-benar suaminya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hampir-hampir saja saking terkejutnya, lisannya tak dapat berbicara, untunglah tak berapa lama kemudian dia dapat mengatasinya seraya berkata,

“Biarkan dia, biarkan dia! wahai Rabi’ah! Biarkan dia, wahai anakku. Sesungguhnya dia itu adalah ayahmu. Wahai hadirin, pergilah kalian semua, semoga Allah memberkati kalian.”
“Berhati-hatilah, wahai Abu Abdurrahman.! Sesungguhnya orang yang engkau hadapi itu adalah anak dan belahan hatimu sendiri.”

Begitu ucapannya menyentuh telinganya, maka Farrukhpun segera menyongsong Rabi’ah, merengkuh dan memeluknya.

Sedangkan Rabi’ah, langsung menyongsong Farrukh lalu mencium kedua tangannya, lehernya dan kepalanya.Dan orang-orang pun bubar…

Ummu Rabi’ah turun untuk memberi salam kepada suaminya yang sebelumnya dia tidak mengira akan bertemu dengannya di tanah ini setelah beritanya terputus selama hampir sepertiga abad.

Farrukh duduk di sebelah istrinya dan mulai bercerita tentang pengalamannya serta menyampaikan sebab terputusnya berita tentang dirinya tersebut.

Akan tetapi Ummu Rabi’ah tidak begitu memperhatikan omongannya. Rasa takut akan amarah suaminya karena telah menyia-nyiakan harta yang telah dititipkannya padanya telah memperkeruh kegembiraannya bertemu dengannya dan pertemuannya dengan anaknya.

Dalam hati dia berkata, “Kalau dia menanyaiku sekarang tentang sekian banyak uang yang dititipkannya padaku sebagai amanat, yang waktu itu dia berpesan agar aku membelanjakannya di jalan yang ma’ruf (baik), apa yang harus kujawab? Apa kira-kira reaksinya andai aku beritahu bahwa tidak ada sepeserpun yang tersisa? Apakah dia akan percaya bila aku katakan bahwa semua hartanya yang dia tinggalkan itu telah aku gunakan untuk biaya pendidikan dan pengajaran anaknya? Apakah mungkin biaya seorang anak bisa mencapai 30.000 dinar? Apakah dia akan percaya bahwa tangan sang anak lebih mulia daripada awan yang menurunkan hujan dan bahwa dia tidak menyisakan sepeser dinar atau dirham-pun untuk dirinya? Apakah dia akan percaya bahwa semua orang di Madinah ini pasti tahu bahwa anaknya itu telah menginfakkan beribu-ribu uang untuk rekan-rekannya?.”

Pada saat Ummu Rabi’ah tenggelam dalam lamunannya ini, suaminya menoleh kepadanya seraya berkata,“Sekarang aku bawa lagi untukmu, wahai Ummu Rabi’ah sebanyak empat ribu dinar. Maka tolong perlihatkan uang yang dulu aku titipkan padamu supaya kita kalkulasi dengan yang ini, lalu harta kita semuanya itu kita belikan sebuah kebun atau real estate sehingga dari omsetnya kita bisa hidup selama hayat dikandung badan.”

Ummu Rabi’ah pura-pura menyibukkan diri dan tidak memberikan jawaban sedikitpun.

Lalu suaminya mengulang permintaannya kembali sembari berkata,“Ayo, mana harta itu supaya aku gabungkan dengan yang ada di tanganku ini?”

Lalu Ummu Rabi’ah berkata,“Aku telah menyimpannya di tempat yang layak dan akan aku berikan padamu beberapa hari lagi, insya Allah.” Untunglah, suara adzan memutus perbincangan keduanya.

Lalu Farrukh bergegas mengambil kendi dan berwudlu.Kemudian cepat-cepat menuju pintu dan berteriak, “Di mana Rabi’ah.?”

Mereka menjawab, “Dia telah mendahuluimu ke masjid sejak adzan pertama, dan kami kira kamu tidak akan mendapatkan shalat jama’ah.”

Farrukh sampai di masjid, dan mendapati imam baru saja selesai dari shalat. Dia kemudian melakukan shalat wajib, lalu menuju kuburan yang mulia untuk mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW, kemudian beranjak ke Raudhah yang suci, karena hatinya masih rindu untuk melakukan shalat di sana.

Dia memilih suatu tempat di hamparannya yang sejuk dan melakukan shalat sunnah semampunya di sana, kemudian berdo’a kepada Allah.

Dan ketika ingin meninggalkan masjid, dia menemukan ruangannya yang luas telah disesaki majlis ilmu yang belum pernah dia saksikan sebanyak itu sebelumnya.

Dia melihat orang-orang telah melingkar di sekeliling Syaikh, satu demi satu hingga tidak ada lagi tempat menginjakkan kaki di lokasi itu, lalu dia mengarahkan pandangannya ke arah orang-orang, ternyata di sana banyak sekali syaikh-syaikh yang memakai syal dan sudah tua-tua, orang-orang terhormat yang dari gerak-gerik mereka menunjukkan bahwa mereka orang-orang penting (berpangkat) dan para pemuda yang banyak sekali sedang bersimpuh di atas lutut mereka sembari mengambil pena dengan tangan untuk menulis apa saja yang dikatakan Syaikh tersebut layaknya permata-permata yang diperebutkan. Lalu menyimpan tulisan itu di dalam buku catatan mereka sebagaimana halnya benda-benda berharga disimpan.

Orang-orang mengarahkan pandangan mereka ke arah di mana syaikh duduk, mendengarkan penuh khidmat setiap ucapan yang keluar hingga seakan-akan di atas kepala mereka ada burung yang bertengger. Para petugas penyampaian (Muballigh) menyampaikan apa yang diucapkan syaikh, paragraf demi paragraf sehingga sekalipun seseorang jauh tempatnya, tidak akan ketinggalan satu patah katapun.

Dalam pada itu, Farrukh berusaha memasati (mengamati dengan jelas) wajah si syaikh tersebut namun tidak berhasil karena tempatnya yang jauh.

Penjelasannya yang cemerlang, ilmunya yang mumpuni dan ingatannya yang luar biasa membuatnya tertawan, terlebih lagi dengan pemandangan orang-orang yang begitu tunduk di hadapannya. Tidak berapa lama, syaikhpun menutup majlis pengajiannya dan bangkit berdiri. Maka, serta-merta orang-orang menyongsong ke arahnya, berdesak-desakan, melingkarinya dan berdorong-dorong mengikuti dari belakangnya guna mengantarnya hingga ke luar arena masjid.

Ketika itulah, Farrukh menoleh ke arah orang yang duduk di sebelahnya tadi seraya berkata,“Tolong katakan kepadaku –atas nama Rabbmu- siapa syaikh itu?.”

“Bukankah anda ini berasal dari Madinah.?” Jawab orang itu dengan penuh keheranan.

“Benar.” Kata Farrukh

“Apakah ada orang yang tidak mengenal syaikh di Madinah ini?.” kata orang itu lagi

“Ma’afkan aku, bila aku tidak begitu mengenalnya. Sudah sekitar 30 tahun aku habiskan waktu jauh dari kota Madinah ini dan baru kemarin aku kembali.” Kata Farrukh lagi

“Kalau begitu, nggak apa-apa. Mari duduk bersamaku sebentar, biar aku ceritakan tentang syaikh ini.”

Orang itu melanjutkan,“Syaikh yang anda nikmati pengajiannya tadi itu adalah salah seorang pemuka Tabi’in dan tokoh kaum Muslimin. Dia lah Ahli hadits kota Madinah ini, Faqih berikut Imamnya sekalipun usianya masih belia.”

“Masya Allah, La Quwwata Illa Billah.” Jawab Farrukh

orang tadi meneruskan,“Sebagaimana yang anda lihat, majlis pengajiannya juga dijubeli oleh Mâlik bin Anas, Abu Hanîfah (keduanya adalah imam madzhab terkenal), Yahya bin Sa’îd al-Anshâry, Sufyân ats-Tsaury, ‘Abdurrahmân bin ‘Amr al-Awzâ’iy, al-Laits dan banyak lagi yang lainnya.”

“Tetapi kamu…” celetuk Farrukh

Namun orang itu tidak memberikannya kesempatan untuk melanjutkan ucapannya tersebut dan langsung melanjutkan,“Di atas semua itu, dia adalah seorang tuan, yang mulia pekertinya dan rendah diri lagi dicintai orang serta dermawan. Penduduk Madinah ini tidak pernah mengenal orang yang lebih dermawan darinya baik terhadap teman ataupun anak teman…tidak ada yang lebih zuhud darinya terhadap glamour duniawi serta tidak ada yang lebih besar cintanya terhadap anugerah Allah selainnya.”

“Tapi kamu belum juga menyebutkan kepadaku, siapa namanya!.” Komentar Farrukh

“Dia adalah Rabi’ah ar-Ra`yi.” Jawab orang itu

“Rabi’ah ar-Ra`yi?!” kata Farrukh“Ya, namanya Rabi’ah… akan tetapi para ulama dan syaikh Madinah ini memanggilnya dengan Rabi’ah ar-Ra`yi karena bila mereka tidak mendapatkan satu nashpun dari suatu masalah baik di dalam Kitabullah ataupun hadits Rasulullah, pasti merujuk kepadanya, lantas dia berijtihad dengan ra`yi (pendapat)nya sendiri dalam hal itu. Dia analogkan masalah yang tidak terdapat nashnya itu terhadap masalah yang ada nashnya, lalu memberikan putusan terhadap masalah yang dirasakan rumit oleh mereka tersebut; sebuah putusan yang berkenan di hati.” Kata orang itu melanjutkan

“Tapi kamu belum menyebutkan siapa ayahnya kepadaku.!” Kata Farrukh memelas

“Dia lah Rabi’ah bin Farrukh, yang dijuluki dengan Abu ‘Abdirrahman. Dia dilahirkan setelah ayahnya itu meninggalkan Madinah ini untuk tujuan berjihad di jalan Allah sehingga ibunya lah yang kemudian mengurusi pendidikan dan pertumbuhannya. Aku sudah mendengar menjelang waktu shalat ini masuk tadi, ada orang-orang mengatakan bahwa ayahnya sudah kembali malam tadi.” Kata orang itu

Ketika itulah, dua tetes besar air mata Farrukh mengalir dari kedua matanya sehingga membuat orang tadi tidak mengetahui apa gerangan sebabnya.

Dia kemudian bergegas melangkahkan kakinya menuju rumahnya. Tatkala Ummu Rabi’ah melihatnya berlinangkan air mata, dia menanyakan,“Ada apa denganmu, wahai Rabi’ah?.”

“Ah, Aku baik-baik saja. Aku tadi telah melihat betapa anak kita sudah mencapai kedudukan ilmu, kehormatan dan kemuliaan yang tidak pernah dimiliki oleh orang-orang sebelumnya.” Jawabnya

UmmU Rabi’ah kemudian tidak menyia-nyiakan kesempatan ini seraya berkata,
“Kalau begitu; mana yang lebih kau cintai: 30.000 dinar atau martabat ilmu dan kehormatan yang telah dicapai anakmu ini?.”

“Demi Allah, malah inilah yang lebih aku cintai dan lebih aku dahulukan ketimbang seluruh harta dunia ini.”

“Sebenarnya, semua yang engkau titipkan padaku itu telah aku habiskan untuk membiayainya.” Kata Ummu Rabi’ah meyakinkan

“Ya, terimakasih, semoga engkau, dia dan kaum Muslimin mendapatkan balasan dariku dengan sebaik-baik balasan.”