Dalam malamnya,
Dalam keheningan
Ketika banyak dr kita terlelap dgn pulasnya.
.
“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan sholat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.”
(QS. Ibrahim : 40)
Doa Istiqomah Sholat
Dalam malamnya,
Dalam keheningan
Ketika banyak dr kita terlelap dgn pulasnya.
.
“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan sholat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.”
(QS. Ibrahim : 40)
Doa Istiqomah Sholat
Bismillah..
Bagaikan menempuh suatu perjalanan, mendaki sebuah gunung. Tak selamanya kamu menemukan jalan yg lurus, terkadang kamu harus menuruni lembah, memanjat tebing, dan menemui halang rintang lainnya, berbagai ujian menghampiri, tapi tak banyak yg menyadari bahwa ujian itu sebagai alat penempa diri yang baik, ada yang berhasil sampai di tempat tujuan, ada pula yg terjatuh atau bahkan berhenti dan menyerah di tengah perjalanan, tak jarang pula mereka mencoba nya untuk kesekian kalinya tanpa menyerah.
–
Perlahan kamu mulai menemukan sesuatu, perlahan kamu menyadari sesuatu, setiap kali kamu berjuang kamu menemukan berbagai petunjuk, dan kamu mengikutinya.
–
Perlahan kamu menemukan sahabat sahabat baru di perjalanan yang mau menemani, dan membantu kamu selama diperjalanan, sabar menunggumu dan mengulurkan tangannya di saat kamu kesulitan melewati halang rintang, berjuang bersama hingga mencapai puncak.
–
Bersama mereka kamu terus melangkah menghadapi semua tantangan, dan perlahan kamu mulai memahami, apa itu sabar…,
–
Lalu kamu terus melangkah dan menemui rintangan yg cukup berat, rasanya kamu putus asa dan ingin kembali, tapi saudara saudaramu di perjalanan ini berbeda, mereka menepuk pundakmu sembari berkata ” kamu sudah sampai sini, masa kamu mau balik lagi, ayo sama sama kita lewati rintangan ini” ^_^
–
Bersama.., kamu berjuang menghadapi rintangan yg berat itu, dan pada akhirnya kamu berhasil melewatinya, perlahan kamu mulai memahami, apa itu istiqomah.
–
Hingga pada akhirnya kamu sampai di puncak, kamu melihat begitu besar karunia yang telah di berikan Allah kepadamu, tapi kamu masih sering mengeluh, perlahan kamu menyadari akan syukur.
–
Kamu mengerti bahwa setiap rintangan yg kamu lalui, dan disaat itu kamu bersandar hanya kepala Allah, tanpa terasa masalah itu terselesaikan, dan perlahan kamu mengerti apa itu ikhlas.
–
Setelah semua yang kamu lihat dan kamu rasakan, kamu merasakan ada ketenangan dan kesejukan di dalamnya, kemudian kamu turun, turun disini untuk merendahkan hatimu se rendah rendahnya, dan bantulah saudaramu yang juga berjuang menggapainya. ^_^
Udah sampai juz berapa tadarusnya? Waktu terus berjalan lho… Jangan sia-siakan siang dan malam di bulan ramadhan ini.
Karena setiap amalan akan dilipat gandakan pahalanya.
Jangan biarkan pula bulan ramadhan lewat begitu saja tanpa meninggalkan bekas apapun di hati kita. Memang bulan ramadhan tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya tapi jangan biarkan hal itu menyiutkan semangat kita untuk melakukan kebaikan, terutama mengkhatamkan Al qur’an Al karim…
I.L.M.I.A.H.
Surga neraka, pahala dan dosa, bagi sebagian orang dianggap tidak ilmiah. sebab, tak bisa dibuktikan di dunia dan tidak terukur. Menurut mereka, sesuatu dianggap ilmiah jika dapat dibuktikan secara logis dan empiris. Ketika kaidah ilmiah ini dipaksakan untuk meneropong Islam, niscaya akan terjadi gesekan. Sebab, ada hal-hal tertentu dalam Islam yang tidak dapat dilogika apalagi dibuktikan di dunia. Misalnya, eksistensi pahala dan dosa; surga dan neraka. Lantas, apakah itu berarti Islam tidak ilmiah? .
.
Dalam hal ini, kita memiliki kaidah sendiri. Jika dilihat dari sisi etimologi, kata ilmiah maknanya menisbatkan pada ilmu. Seseorang dikatakan bicara Islam secara ilmiah, jika omongannya berdasarkan ilmu. Sedangkan sumber pokok ilmu dalam Islam ada dua: Al Qur’an dan As Sunnah. Jadi, omongan seseorang tentang Islam dikatakan ilmiah, atau bersandar pada ilmu, jika jika ia bersandar dan mengakar pada Al Qur’an dan As Sunnah.
.
Kita tak perlu latah memaksakan kaidah ilmiah kaum rasionalis empiris dalam beragama. Sandaran mereka logika. Padahal, tidak semua syariat Allah Ta’ala masuk dalam logika manusia. Contoh sederhana: ketika seseorang kentut, maka ia berhadats. Untuk menghilangkan hadats, ia harus berwudhu. Ia basuh wajah, lengan, mengusap kepala, dan kaki. Tapi justru tidak menyentuh lubang tempat keluarnya kentut itu sendiri. Logikanya, jika kentut adalah penyebab hadats, mestinya lubang angin itulah yang lebih utama dibersihkan. Jika ini dianggap tidak logis, apakah lantas syariat Allah ini tidak dikerjakan? .
.
Para pendahulu umat ini: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, para sahabat dari kalangan muhajirin dan anshar, tabi’in, tabi’ut tabi’in, mereka tidak berpusing-pusing menyoal Islam harus logis dan harus selalu bisa dibuktikan secara empiris. Namun demikian, Allah beri mereka kedudukan sebagai generasi terbaik. Sejarah Islam mencatat dan mengenang mereka sebagai sumur ilmu yang tak kering ditimba. .
.
Sesungguhnya, Islam itu sederhana dan menuntut cara bersikap yang juga sederhana: sami’naa wa atha’naa. Itulah kenapa agama ini disebut Islam, yang artinya berserah diri kepada Allah dengan bertauhid, ikhlas, dan taat pada perintah Nya.
Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang sering dilontarkan di bulan Ramadhan. Karena pada asalnya wanita Muslimah lebih utama shalat di rumah. Namun di sisi lain, ada faktor-faktor lain yang disebutkan para ulama sehingga membuat ia lebih utama dilaksanakan di masjid.
Keutamaan shalat tarawih
Shalat tarawih hukumnya sunnah muakkad. Ia adalah ibadah yang sangat dianjurkan di bulan Ramadhan dan sangat besar pahalanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759).
Dari Abu Dzar radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
“Barangsiapa yang shalat bersama imam sampai selesai, akan ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk” (HR. At Tirmidzi no. 806, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Dari hadits Abu Dzar ini juga kita pahami bahwa shalat tarawih dianjurkan dilakukan berjamaah bersama imam di masjid.
Wanita lebih utama shalat di rumah
Secara umum, shalat bagi wanita lebih utama dilakukan di rumah. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
صَلاةُ الْمَرْأَةِ فِي بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاتِهَا فِي حُجْرَتِهَا وَصَلاتُهَا فِي مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاتِهَا فِي بَيْتِ
“Shalatnya seorang wanita di kamarnya lebih utama daripada shalatnya di ruang tengah rumahnya. Dan shalatnya seorang wanita di ruangan kecil di dalam kamarnya lebih utama dari shalatnya di kamarnya” (HR. Abu Daud no. 570, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).
Kemudian dalam hadits Ummu Humaid radhiallahu’anha, beliau berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلاةَ مَعَكَ قَالَ قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاةَ مَعِي وَصَلاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ وَصَلاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاتِكِ فِي دَارِكِ وَصَلاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِي قَالَ فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسْجِدٌ فِي أَقْصَى شَيْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَتْ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
“Wahai Rasulullah, saya ingin shalat bersama anda.” Maka Nabi menjawab: “Aku sudah tahu bahwa engkau ingin shalat bersamaku, namun shalatmu di kamar tempatmu tidur lebih baik daripada shalatmu di kamarmu. Shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di ruang tengah rumahmu. Shalatmu di ruang tengah rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kampungmu. Dan shalatmu di masjid kampungmu, lebih baik daripada shalatmu di masjidku ini. Ummu Humaid lalu meminta untuk dibangunkan tempat shalat di pojok kamarnya yang paling gelap. Dan biasa melakukan shalat di sana hingga berjumpa dengan Allah ‘Azza wa Jalla (yaitu hingga beliau wafat)” (HR. Ibnu Hibban no. 2217, Ibnu Khuzaimah no. 1689, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Khuzaimah).
Hal tersebut karena shalat di rumah bagi wanita itu lebih menjaga dirinya lebih jauh dari fitnah. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain:
إنَّما المرأةُ عَورةٌ فإذا خرجَت استشرَفَها الشَّيطانُ ، وأقرَبُ ما تَكونُ مِن وجهِ ربِّها وَهيَ في قَعرِ بيتِها صلاةُ المرأةِ في مَخدعِها أفضلُ من صلاتِها في بيتِها ، وصلاتُها في بيتِها أفضلُ من صلاتِها في حُجرتِها
“Sesungguhnya wanita itu adalah aurat. Jika ia keluar, setan akan menghiasinya. Seorang wanita paling dekat dengan Rabb-nya ketika ia berada di kamarnya. Shalatnya seorang wanita di ruangan kecil di dalam kamarnya lebih utama dari shalatnya di kamarnya. Dan shalatnya di kamarnya lebih utama dari shalatnya di ruang tengah rumahnya” (HR. Ibnu Hazm dalam Al Muhalla 4/201).
Terlebih lagi ketika keadaan para wanita umumnya banyak meniru perilaku wanita Jahiliyah dengan membuka aurat, berhias diri di depan lelaki non mahram, menggunakan pewangi dan semisalnya, maka anjuran shalat di rumah lebih ditekankan lagi. Ibunda Aisyah radhiallahu’anha mengatakan:
لو أدرك رسول الله صلى الله عليه وسلم ما أحدث النساء لمنعهن كما منعت نساء بني إسرائيل
“Andai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengetahui apa yang diperbuat para wanita, sungguh ia akan melarang para (pergi ke masjid) sebagaimana dilarangnya para wanita Bani Israil dahulu” (HR. Bukhari no. 831, Muslim no. 445).
Dan dengan anjuran ini, jika seorang wanita shalat di rumah, ia tetap bisa mendapatkan pahala semisal dengan lelaki yang shalat berjamaah di masjid. Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan: “Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘shalat seorang wanita lebih utama di rumahnya’. Maka ia mendapatkan keutamaan yang besar yang bisa menyamai keutamaan shalat di masjid, bahkan terkadang bisa lebih dari itu, atau bisa juga kurang dari itu. Intinya, shalat di rumah lebih utama di masjid bagi wanita. Jika shalat di rumah lebih utama dari pada di masjid, maknanya wanita tersebut mendapatkan pahala semisal pahala shalat di masjid atau bahkan lebih. Karena Rasul bersabda: ‘shalat seorang wanita lebih utama di rumahnya’. Hadits ini menunjukkan bahwa pahala yang didapatkan oleh seorang lelaki yang shalat berjama’ah di masjid juga didapatkan wanita. Semakin taat seorang wanita kepada Allah dan Rasul-Nya, semakin ia tunduk pada aturan Allah dan Rasul-Nya, maka ia semakin mendapatkan kebaikan yang besar. Ini karena rumah seorang wanita itu lebih menjaganya dan lebih jauh dari fitnah”
Wanita tetap boleh shalat di masjid
Walaupun dianjurkan untuk shalat di rumah, wanita Muslimah tetap dibolehkan untuk shalat di masjid. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا تَمْنَعُوا إِماءَ اللهِ مساجِدَ اللهِ
“Jangan kalian larang para wanita hamba Allah untuk pergi ke masjid Allah” (HR. Bukhari no. 900, Muslim no. 442).
Namun hal ini selama memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Menutup aurat ketika keluar rumah dan berhijab dengan hijab syar’i
Allah Ta’ala berfirman:
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
”dan janganlah kalian bertabarruj dan seperti tabarruj orang-orang Jahiliyah yang dahulu…” (QS. Al-Ahzab: 33).
2. Telah diizinkan oleh suami atau oleh wali
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا
“Jangan kalian larang istri-istri kalian untuk pergi ke masjid, jika mereka telah minta izin kepada kalian” (HR. Muslim no. 442).
3. Tidak memakai wewangian
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا شهِدتْ إحداكن المسجدَ فلا تمسَّ طِيبًا
“jika salah seorang dari kalian (wanita) datang ke masjid, maka janganlah menggunakan pewangi” (HR. Muslim 443).
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
أيُّما امرأةٍ أصابت بَخورًا، فلا تشهَدْ معنا العِشاءَ الآخرةَ
“Wanita manapun yang terkena bakhur (semacam tumbuhan untuk wewangian) maka jangan mendatangi shalat Isya bersama kami di masjid” (HR. Muslim no. 444).
4. Menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang syariat seperti bercampur-baur dengan lelaki, bersalaman dengan lelaki non-mahram, dan lainnya.
Bagi wanita, lebih utama shalat tarawih di rumah atau di masjid?
Dari penjelasan di atas, kita ketahui bahwa secara umum wanita lebih utama shalat di rumahnya, namun boleh baginya shalat di masjid dengan beberapa syarat. Demikian juga berlaku pada shalat tarawih, wanita lebih utama shalat di rumahnya, namun boleh baginya shalat di masjid .
Tapi ketika ada maslahah yang lebih besar, terkadang wanita lebih utama untuk shalat tarawih di masjid. Diantara maslahah tersebut diantaranya:
Shalat tarawih di masjid lebih bersemangat, sedangkan di rumah terkadang malas
Shalat tarawih di masjid lebih khusyuk dan lebih panjang bacaannya, sedangkan panjang bacaan adalah keutamaan tersendiri dalam shalat tarawih
Dengan shalat tarawih di masjid, bisa mendapatkan faidah-faidah ilmu dan nasehat, jika diketahui di masjid ada para asatidz dan penuntut ilmu syar’i dari kalangan ahlussunnah yang biasa memberikan pelajaran dan nasehat di sela shalat tarawih
Dan maslahah lainnya.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya, “bagaimana hukum wanita shalat tarawih di masjid?”. Beliau menjawab: “Pada asalnya shalatnya wanita di rumahnya itu lebih utama dan lebih baik baginya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun jika wanita tersebut melihat ada maslahah untuk shalat di masjid dengan tetap menutup aurat dan menjaga hijab syar’i, dikarenakan shalat di masjid membuatnya lebih bersemangat, atau karena ia dapat mendengarkan faidah-faidah dari pelajaran agama yang disampaikan di sana, maka ini tidak mengapa walhamdulillah. Dan yang demikian itu baik karena terdapat faidah-faidah yang agung, dan semangat untuk beramal shalih”
Dipahami dari penjelasan beliau rahimahullah, bahwa pada asalnya wanita lebih utama shalat di rumah namun jika ada maslahah untuk shalat tarawih di masjid maka lebih utama di masjid.
Dewan Fatwa Islamweb juga menjelaskan: “Yang lebih utama bagi wanita adalah shalat di rumah. Namun terkadang shalat di masjid mengandung beberapa keutamaan bagi wanita yang membuatnya lebih utama untuk shalat di masjid. Seperti adanya imam qaari yang bacaannya sangat membuat khusyuk shalat, atau adanya ahli ilmu yang mengajarkan pelajaran-pelajaran yang wajib diketahui oleh semua Muslim, atau di rumah terdapat gangguan berupa kebisingan, yang bisa membuatnya terluput dari tujuan shalat yaitu kekhusyukan, dalam keadaan-keadaan ini maka lebih utama shalat di masjid namun dengan memperhatikan syarat-syaratnya”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin juga menyatakan hal serupa: “Shalat tarawih di rumah bagi wanita lebih utama. Namun jika dengan shalatnya di masjid membuat dia lebih semangat dan lebih khusyuk, dan jika shalat di rumah ia khawatir shalatnya tidak khusyuk, maka ketika itu shalat di masjid lebih utama”
Sebagian ulama juga menilai, khusus untuk shalat tarawih bagi wanita lebih utama dilaksanakan di masjid. Karena dahulu shalat tarawih dilaksanakan di rumah-rumah, kemudian di kumpulkan oleh Umar bin Khathab radhiallahu’anhu menjadi satu jamaah. Ini menunjukkan pentingnya melaksanakan shalat tarawih berjamaah bagi semua orang termasuk wanita.
Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah menjelaskan:
“Apakah shalat tawarih bagi wanita lebih utama di rumah ataukah di masjid? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama, shalat di rumah lebih utama. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i
Pendapat kedua, shalat di masjid lebih utama. Karena para sahabat radhiallahu’anhum dahulu shalat dalam jama’ah yang terpisah-pisah, namun kemudian Umar bin Khathab menyatukan mereka untuk shalat di belakang satu imam, dan ini diikuti oleh para sahabat setelahnya.
Oleh karena itu, kami katakan, shalatlah di masjid. Kecuali jika shalatnya anda di rumah bisa menjadi sebab semangatnya keluarga anda di rumah untuk shalat tarawih dan shalat berjamaah bersama anda di sana.
Dan jika anda shalat di masjid, janganlah pulang hingga imam selesai. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan At Tirmidzi dari Abu Dzar secara marfu’: “barangsiapa yang shalat tarawih bersama imam hingga selesai, ditulis baginya shalat semalam suntuk””
Maka kesimpulannya, shalat tarawih bagi wanita lebih utama di rumahnya, namun ketika ada maslahah yang lebih besar, terkadang lebih utama untuk shalat tarawih di masjid.
Jika shalat di rumah boleh dilakukan secara berjamaah
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “Lebih utama bagi wanita untuk shalat tarawih di rumahnya. Walaupun di dekatnya ada masjid yang mendirikan shalat tarawih. Jika ia shalat di rumahnya, tidak mengapa ia shalat secara berjamaah bersama para wanita di rumahnya. Dan dalam keadaan ini, jika ia tidak hafal Qur’an kecuali sedikit, maka tidak mengapa ia shalat sambil membaca dari mushaf”
Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan: “Shalat tarawih dilakukan di rumah dengan cara salam tiap dua rakaat, wanita yang menjadi imam berada di tengah-tengah bukan berada di depan makmum. Hendaknya ia (imam) bertakbir dan meninggikan suaranya sehingga semua makmumnya bisa mendengar. Ini yang disyariatkan. Karena diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu’anha dan juga dari istri-istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang lain bahwa mereka melakukan demikian. Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah memerintahkan Ummu Waraqah untuk mengimami shalat jama’ah di rumahnya (Ummu Waraqah). Jika para wanita shalat berjamaah di rumah di bulan Ramadhan atau di waktu-waktu shalat wajib, ini semua baik”
Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat, dan bisa berbuah menjadi amalan shalih. Wabillahi at taufiq was sadaad.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ditanya: “apakah anak-anak kita perintahkan untuk berpuasa walaupun usia mereka masih di bawah 15 tahun, sebagaimana diperintahkannya mereka untuk shalat?”
Beliau menjawab:
Benar, anak-anak yang belum baligh hendaknya diperintahkan untuk berpuasa jika mereka mampu. Sebagaimana para sahabat Nabi dahulu juga berpuasa ketika mereka masih kecil. Para ulama juga mengatakan bahwa wajib bagi para wali mereka untuk memerintahkan anak-anaknya berpuasa sejak kecil. Ini dalam rangka melatih mereka dan membuat ikatan antara mereka dengan puasa. Dan juga menerapkan landasan-landasan keislaman pada diri mereka sehingga perlahan menjadi suatu hal yang biasa bagi mereka. Namun jika puasa itu berat bagi mereka atau membahayakan diri mereka maka jangan dipaksakan.
Dan saya tekankan sekali lagi terkait adanya sebagian ayah dan ibu yang melarang anak-anak mereka berpuasa padahal para sahabat radhiallahu’anhum melakukannya di masa kecil. Para ayah dan ibu tersebut beralasan bahwa mereka melakukannya karena kasihan kepada anak-anaknya. Justru yang benar, sikap sayang yang hakiki kepada anak adalah dengan memerintahkan mereka menjalankan syariat-syariat Islam dan membiasakan mereka dengannya serta membuat ikatan hati antara mereka dengan Islam. Yang demikian ini tidak ragu lagi merupakan pendidikan yang baik dan pengasuhan yang sempurna.
Terdapat hadits shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
إن الرجل راع في أهل بيته ومسؤول عن رعيته
“Seorang lelaki adalah pemimpin di rumahnya dan ia akan dimintai pertanggung-jawaban terhadap yang ia pimpin“.
Maka hendaknya orang-orang yang diberi amanah berupa anak dan istri mereka bertaqwa kepada Allah Ta’ala dalam menjaga mereka, dan hendaknya mereka diperintahkan untuk menjalankan apa-apa yang diperintahkan syariat Islam.
***
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ditanya: “apa hukum puasanya anak-anak?”
Beliau menjawab:
Puasanya anak-anak sebagaimana sudah kami jelaskan hukumnya tidak wajib, namun hukumnya sunnah. Jika mereka puasa maka mereka mendapat pahala. Namun mereka tidak berdosa jika tidak berpuasa. Namun hendaknya para wali mereka memerintahkan mereka agar terbiasa dengan puasa.
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu adalah seorang sahabat Anshar. Ia dipilih sebagai ketua tim pembukuan Alquran di Abu Bakar dan di zaman Utsman bin Affan. Amanah yang besar itu tentu menunjukkan sebesar apa kapasitas dan kedudukan beliau dalam Islam dan sejarah umat Islam.
Asal-Usulnya
Beliau adalah Zaid bin Tsabit bin adh-Dhahak al-Anshari. Ia berasal dari Bani Najjar yang merupakan keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Saat Rasulullah tiba di Madinah, kondisi Zaid kala itu adalah seorang anak yatim. Ayahnya wafat pada Perang Bu’ats. Di tahun pertama hijrah itu, usia Zaid tidak lebih dari 11 tahun. Ia memeluk Islam bersama keluarganya. Rasulullah pun mendoakan keberkahan untuknya.
Kesungguhan Zaid
Sewaktu kecil, ia bersama orang-orang dewasa berangkat menemui Rasulullah untuk turut serta dalam Perang Badar. Tapi, Rasulullah tidak mengizinkannya karena ia terlalu muda dan badannya pun masih kecil. Tidak menyerah karena ditolak saat Perang Badar, saat Rasulullah menyiapkan pasukan Perang Uhud, Zaid kembali mendaftarkan diri. Kali ini ia berangkat bersama rombongan remaja seusianya. Berharap Rasulullah mengikut-sertakan mereka dalam pasukan mujahidin. Dan keluarga mereka lebih-lebih lagi harapannya agar Rasulullah menerima mereka.
Rasulullah memandangi mereka dengan pandangan terima kasih. Seakan-akan beliau menginginkan mereka untuk izin tidak ikut saja. Majulah anak muda yang bernama Rafi’ bin Khadij membawa sebuah belati atau tombak. Ia memamerkan keahliannya memegang senjata tersebut. Rafi’ berkata, “Sesungguhnya aku sebagaimana yang Anda lihat. Aku mahir dalam melempar senjata, karena itu izinkanlah aku.” Rasulullah pun mengizinkannya.
Kemudian Samurah bin Jundab pun maju. Salah seorang anggota keluarganya mengatakan, “Sesungguhnya Samurah lebih hebat dari Rafi.” Rasulullah pun mengizinkan beliau.
Tersisalah 6 orang pemuda pemberani lainnya. Di antara mereka ada Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar. Mereka mengeluarkan segala kemampuan membujuk rayu Rasulullah. Tak mempan dengan lisan, mereka bujuk dengan air mata. Belum juga berhasil dengan cara mengiba itu, mereka unjuk kekuatan dengan menunjukkan otot-otot mereka. Tapi usia mereka masih terlalu muda. Dan tubuh mereka masih begitu kecil. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak mereka secara halus sekaligus menghibur mereka dengan berjanji akan mengajak mereka pada perang selanjutnya.
Akhirnya, Zaid dan Tsabit bersama anak-anak seusiasanya memulai pengalaman jihad mereka di Perang Khandaq. Pada tahun 5 H.
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu berkata, “Pada Perang Bu’ats aku berusia 6 tahun. Hal itu terjadi 5 tahun sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah. Dan saat itu aku berusia 11 tahun. Aku dipertemukan dengan Rasulullah. Mereka berkata, ‘Ada seorang anak dari Kabilah Khazraj yang telah menghafal 16 surat’. Namun beliau tidak mengizinkan aku di Perang Badar dan Uhud. Barulah aku diizinkan di Perang Khandaq.”
Zaid memegang bendera Bani Najjar di Perang Tabuk. Awalnya bendera tersebut di pegang Umarah bin Hazm, tapi Rasulullah mengambilnya dan menyerahkannya kepada Zaid. Umarah berkata, “Wahai Rasulullah, apakah ada sesuatu tentangku (yang buruk) yang sampai kepadamu?” “Tidak ada. Tapi, yang lebih banyak menghafal Alquran layak dikedepankan. Dan Zaid lebih banyak menghafal Alquran daripada engkau.”
Perlu diketahui, dahulu para sahabat menghafal 10 ayat-10 ayat. Ketika mereka sudah paham dan mengamalkannya barulah mereka menambah hafalan. Sehingga siapa yang paling banyak hafalannya, maka semakin baik kualitasnya di antara mereka.
Pemuda Anshar Yang Cerdas
Dari Amir, ia menceritakan:
Sesungguhnya tebusan tawanan Perang Badar adalah 40 ukiyah emas. Siapa yang memiliki kepandaian baca-tulis, mereka diperintahkan mengajar baca-tulis kepada 10 orang kaum muslimin. Di antara yang mendapat pengajaran adalah Zaid bin Tsabit. Zaid adalah seorang cendekia dan memiliki keistimewaan dalam berbagai bidang. Ia seorang penghafal Alquran. Juru tulis Nabi yang menulis wahyu yang turun kepada Rasulullah. Ia memiliki kualitas ilmu dan hikmah yang mendalam.
Ketika Rasulullah mulai menyampaikan risalah Islam keluar Madinah, melakukan surat-menyurat kepada para raja dan kaisar, beliau memerintahkan Zaid untuk mempelajari bahasa-bahasa mereka. Zaid pun berhasil menguasai bahasa-bahasa tersebut dalam waktu yang singkat.
Zaid bin Tsabit mengatakan, “Aku dipertemukan dengan Nabi saat beliau tiba di Madinah. Ada yang mengatakan, ‘Ini adalah seorang anak dari Bani Najjar. Ia telah menghafal 17 surat (diriwayat sebelumnya 16)’. Aku pun membacakannya di hadapan beliau. Beliau sangat terkesan. Lalu beliau berkata, ‘Pelajarilah bahasa Yahudi (bahasa Ibrani). Sesungguhnya aku tidak bisa membuat mereka beriman dengan kitabku’. Aku pun melakukan apa yang beliau minta. Berlalulah waktu tidak lebih dari setengah bulan, aku pun menguasainya. Kemudian aku menulis surat Nabi kepada mereka. Apabila mereka yang mengirimkan surat kepada beliau, akulah yang menerjemah.”
Dari Tsabit bin Ubaid dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, Rasulullah berkata kepadaku, “Apakah engkau bisa Bahasa Suryaniyah?” “Tidak,” jawabku. “Pelajarilah. Sungguh nanti akan datang surat-surat kepada kita”, pinta Rasulullah. Aku pun mempelajarinya dalam rentang waktu 17 hari.
Kita teringat dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ مَعَالِيَ الْأُمُوْرِ وَأَشْرَافِهَا وَيَكْرَهُ سَفْسَافَهَا
“Sesungguhnya Allah mencintai perkara yang terbaik dan membenci sesuatu yang asal-asalan.” (HR. ath-Thabrani).
Bagaimana pengaruh pendidikan Rasulullah terhadap para sahabat. Selain faktor kecerdasarn, tentu tekad dan kesungguhan juga berpengaruh besar. Sehingga Zaid begitu cepatnya menguasai bahasa-bahasa asing tersebut.
Al-A’masy mengatakan, “Pernah datang surat-surat kepada Zaid. Tapi ia tidak tertarik membacanya, kecuali yang ia percaya saja. Dari sinilah ia dikenal dengan panggilan Penerjemahnya Rasul.”
Penghafal Alquran
Sejak dimulainya dakwah Islam selama lebih kurang 20 tahun sejak wahyu pertama turun, terdapat sekelompok sahabat yang mampu menghafal dengan kemampuan biasa. Ada yang mampu menghafal semua yang tertulis. Ada pula yang menghafal semua ayat yang tersusun. Di antara mereka adalah Ali bin Abu Thalib, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, dan Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhum ajma’in. Setelah Alquran diturunkan secara sempurna, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakannya kepada para sahabat dengan berurutan sebagaimana susunan surat dan ayat yang kita ketahui sekarang.
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu pernah menyetorkan hafalannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun wafat beliau. Di tahun itu, Zaid menyetorkan hafalannya sebanyak dua kali. Dan qiro-at tersebut dinamakan qiro-at Zaid bin Tsabit. Karena dia pula yang menulis dan mengajukannya kepada Nabi agar dikoreksi. Dan teks tersebut beliau bacakan kepada orang-orang hingga beliau wafat.
Awal Pembukuan Alquran
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, kaum muslimin dibuat sibuk dengan konflik melawan orang-orang murtad. Sehingga banyak korban jatuh dari kaum muslimin. Dalam Perang Yamamah (perang menghadapi nabi palsu, Musailimah al-Kadzab) misalnya, sejumlah besar penghafal Alquran gugur. Umar bin al-Khattab khawatir para penghafal Alquran terus berguguran karena konflik belum juga usai. Ia mendiskusikan ide membukukan Alquran dengan Khalifah Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar beristikharah. Bermusyawarah dengan para sahabat. Setelah itu, ia memanggil Zaid bin Tsabit, “Sesungguhnya engkau adalah seorang pemuda yang cerdas. Aku akan memberimu tugas penting…” Abu Bakar memerintahkanya membukukan Alquran.
Zaid pun memegang tanggung jawab besar. Ia diuji dengan amanah yang berat dalam proyek besar ini. Ia mengecek dan menelaah hingga terkumpullah Alquran tersusun dan terbagi-bagi berdasarkan surat masing-masing. Tentang tanggung jawab besar ini, Zaid berkata, “Demi Allah! Kalau sekiranya kalian bebankan aku untuk memindahkan bukit dari tempatnya, tentu hal itu lebih ringan daripada kalian perintahkan aku untuk membukukan Alquran.”
Ia juga mengatakan, “Aku meneliti Alquran, mengumpulkannya dari daun-daun lontar dan hafalan-hafalan orang.” Namun dengan taufik dari Allah ia berhasil menjalankan amanah besar tersebut dengan baik.
Penyeragaman Bacaan Alquran
Pada masa pemerintah Khalifah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu jumlah orang yang memeluk Islam semakin hari semakin bertambah. Hal itu terjadi di berbagai daerah. Tentu saja hal ini sangat positif. Namun, hal ini bukanlah tanpa celah. Daerah-daerah tersebut menerima riwayat qira-at yang berbeda-beda. Dan mereka belum mengenal variasinya. Sehingga mereka menyangka orang yang berbeda bacaan Alqurannya membuat-buat bacaan baru. Muncullah masalah baru.
Melalui usul sahabat Hudzaifah bin al-Yaman, Khalifah Utsman bin Affan pun membuat kebijakan menyeragamkan bacaan Alquran. Utsman mengatakan, “Siapakah orang yang paling dipercaya untuk menulis?” Orang-orang menjawab, “Penulisnya Rasulullah, Zaid bin Tsabit.” Utsman kembali mengatakan, “Siapakah yang paling fasih bahasa Arabnya?” Orang-orang menjawab, “Said bin al-Ash. Ia seorang yang dialeknya paling mirip dengan Rasulullah.” Utsman kembali mengatakan, “Said yang mendikte dan Zaid yang menulis.”
Zaid bin Tsabit meminta bantuan sahabat-sahabat yang lain. Para sahabat pun membawakan salinan Alquran yang ada di rumah Ummul Mukminin Hafshah binti Umar radhiallahu ‘anha. Para sahabat saling membantu dalam peristiwa besar dan bersejarah ini. Mereka jadikan hafalan Zaid sebagai tolok ukur. Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Pastilah para penghafal Alquran dari sahabat Muhammad tahu bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang yang sangat mendalam ilmunya.”
Keutamaan Zaid bin Tsabit
Figur seorang Zaid bin Tsabit memiliki kedudukan yang tinggi di tengah masyarakat. Kaum muslimin sangat menghormatinya. Suatu hari Zaid mengendarai hewan tunggangannya. Kemudian Abdullah bin Abbas mengambil tali kekangnya dan menuntunnya. Melihat hal itu, Zaid berkata, “Biarkan saja wahai anak paman Rasulullah.” “Tidak. Seperti inilah selayaknya kita menghormati ulama kita,” jawab Ibnu Abbas.
Yang Pertama Membaiat Abu Bakar
Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengisahkan:
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, orang-orang Anshar angkat bicara. Salah seorang di antara mereka mengatakan, ‘Wahai orang-orang Muhajirin, sesungguhnya jika Rasulullah menugaskan salah seorang di antara kalian, beliau akan menjadikan salah seorang di antara kami sebagai pendampingnya. Karena itu, kami memandang setelah beliau kepemimpinan ini dipegang oleh dua orang. Satu dari kalian dan satu dari kami’.
Orang-orang Anshar pun menyuarakan demikian. Lalu berdirilah Zaid bin Tsabit. Ia berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah berasal dari Muhajirin. Dan kepemimpinan itu pada Muhajirin dan kita adalah penolong mereka. Sebagaimana kita telah menjadi Anshar nya Rasulullah’.
Abu Bakar pun berdiri dan berterima kasih atas ucapan Zaid yang menenangkan suasana. Abu Bakar berkata, ‘Wahai orang-orang Anshar, benarlah apa yang teman kalian ucapkan. Seandainya kalian melakuakn selain itu, tentu kami tidak membenarkannya’.
Zaid menggapai tangan Abu Bakar, kemudian berkata, ‘Ini adalah sahabat kalian. Baiatlah dia’.
Apabila Abu Bakar berhaji, maka Umar dan Zaid bin Tsabit yang menggantikan beliau sebagai khalifah. Zaid juga diberi amanah membagi ghanimah di Perang Yarmuk. Ia juga merupakan salah seorang dari enam orang ahli fatwa: Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay, Abu Musa, dan Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhum ajma’in. Umar dan Utsman tidak melebihkan seorang pun dalam permasalah kehakiman, fatwa, faraidh, dan qiroa-ah dibanding Zaid bin Tsabit.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَرْحَمُ أُمَّتِي بِأُمَّتِي أَبُو بَكْرٍ وَأَشَدُّهُمْ فِي أَمْرِ اللَّهِ عُمَرُ وَأَصْدَقُهُمْ حَيَاءً عُثْمَانُ وَأَعْلَمُهُمْ بِالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَأَفْرَضُهُمْ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَأَقْرَؤُهُمْ أُبَيٌّ وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ
“Umatku yang paling penyayang terhadap yang lain adalah Abu Bakar. Yang paling kokoh dalam menjalankan perintah Allah adalah Umar. Yang paling jujur dan pemalu adalah Utsman. Yang paling mengetahui halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal. Yang paling mengetahui ilmu fara’idh (pembagian harta warisan) adalah Zaid bin Tsaabit. Yang paling bagus bacaan Alqurannya adalah Ubay. Setiap umat mempunyai orang kepercayaan. Dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR. at-Turmudzi 3791).
Seorang tokoh tabi’in, Muhammad bin Sirin, mengatakan, “Zaid bin Tsabit mengalahkan orang-orang dalam dua hal: Alquran dan faraidh.”
Wafatnya
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu wafat pada tahun 45 H di masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu.
Di hari wafatnya Zaid, Abu Hurairah berkata, “Pada hari ini telah wafat tintanya umat ini. Semoga Allah menjadikan Ibnu Abbas sebagai penggantinya.”
Tinta adalah ungkapan untuk keluasan ilmu. Karena di zaman dahulu, menulis ilmu itu membutuhkan tinta.
Zaid bin Haritsah adalah salah satu orang pertama yang memeluk Islam. Ia merupakan sahabat sekaligus putera angkat Nabi Muhammad Saw. Zaid juga satu-satunya sahabat Nabi yang namanya diabadikan dalam Al-Quran. Meski Al-Quran mengabadikan peristiwa beberapa sahabat seperti Abu Bakar dan Umar bin Khatab, tetapi nama mereka tidak disebut langsung.
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya, “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” QS. Al-Ahzab [33]: (37).
Zaid pada awal Islam mendapat nisbah nama kepada Nabi, sehingga dia menamai dirinya Zaid bin Muhammad. Namun, Allah di kemudian hari menurunkan wahyu-Nya dalam Surat Al-Ahzab ayat 5 yang menerangkan, anak-anak angkat tetap harus dipanggil dengan nama ayah kandung mereka, bukan ayah angkatnya.
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. Al-Ahzab [33]: (5).
Setelah itu, Zaid mengatakan, “Aku adalah Zaid bin Haritsah.” Hal ini kemudian dianggap menurunkan Zaid dari derajat mulia yang disandangnya sebelumnya. Oleh karena itu, menurut pandangan ulama, Allah memuliakan Zaid dengan menurunkan ayat di atas yang secara eksplisit menyebutkan namanya.
Ada pun pelajaran yang tertuang dalam ayat tersebut adalah tentang masalah keluarga. Urutan kisahnya sebenarnya telah dimulai dari ayat ke-36.
Allah berfirman,“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” QS. Al-Ahzab [33]: (36).
Para ulama tafsir menyebutkan, ayat ini turun atas peristiwa pernikahan Zaid dan Zainab. Di mana Zaid yang hanya mantan budak, dinikahkan oleh Nabi dengan Zainab yang berketurunan terhormat Quraisy. Zainab juga merupakan sepupu Nabi.
Ibnu Katsir menukil dari tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari, “Dari Ibnu Abbas, Firman Nya, (Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin…), di mana Rasulullah Saw. pergi untuk mencarikan istri bagi anak angkatnya Zaid bin Haritsah. Beliau mendatangi Zainab binti Jahsy Al Asadiyah. Beliau melamarnya untuk Zaid.”
Zainab berkata, “Aku tidak mau menikah dengannya.” Kemudian Rasul berkata, “Menikahlah dengannya.”
“Ya Rasulullah, apakah aku harus melawan diriku sendiri?” tanya Zainab.
Ketika mereka berdua berbincang, turunlah ayat tersebut kepada Rasulullah.
Zainab pun berkata, “Apakah engkau ridha dia menikahiku, ya Rasulullah?”
Kemudian Rasul menjawab, “Ya.”
“Kalau begitu aku tidak berani bermaksiat kepada Rasulullah Saw,” tutur Zainab.
Pernikahan pun dilangsungkan. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa pernikahan tersebut bermahar 10 Dinar, 60 Dirham, sebuah kerudung, satu selimut, sebuah baju besi, 50 Mud makanan dan 10 Mud kurma. Mahar yang tidak kecil untuk ukuran orang miskin. Tetapi ini setara dengan Zainab yang berasal dari kalangan Quraisy.
Kurang lebih setahun lamanya pernikahan itu berjalan. Zaid mencoba menjadi pemimpin rumah tangga. Zainab pun mencoba untuk menjadi istri yang baik. Lalu badai itu pun datang tak tertahankan.
Zaid memendam bara dalam hati. Al Alusy dalam tafsirnya menjelaskan, “Zainab bin Jahsy berkarakter keras. Dia terus membanggakan kehormatan dirinya di atas Zaid. Zaid mendengar hal-hal yang tidak disukainya darinya. Maka suatu hari, Zaid mendatangi Nabi Saw. dan berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Zainab berlisan keras terhadapku dan aku ingin menceraikannya.”
Kemudian kisah itulah yang diabadikan dalam Surat Al-Ahzab ayat ke-37.
Biasanya, kisah shahabat nabi memiliki plot yang agak mirip. Awalnya memusuhi Islam, lalu datang hidayah dan selanjutnya berbalik secara drastis menjadi pembela Islam. Meski cahaya Islam telah menaungi, tapi tidak sedikit yang senantiasa dihantui kenangan hitam di masa jahiliyah. Seperti Umar bin Khattab yang selalu teringat anak putrinya yang telah ia bunuh atau Abu Sufyan al Haritsi yang terus saja menyesali permusuhannya pada Islam di masa lalu. Tapi diantara shahabat nabi yang lain, tidak sedikit pula yang “dari sana”nya memang orang baik-baik.
Misalnya, tiga orang shahabat Nabi yang bernama “Zaid”; Zaid bin Haritsah yang menjadi budak pertama yang masuk Islam, Zaid bin Tsabit yang sejak kecil masuk Islam, dan yang terakhir adalah Zaid bin Muhalhil yang sejak masa jahiliyahnya sudah terkenal sebagai seorang yang penyayang.
Nah kisah kali ini adalah kisah Zaid bin Muhalhil. Dulu dia dijuluki Zaid al Khail, Zaid sang Kuda jantan. Sebuah julukan yang mengisyaratkankemuliaan dan kebaikan. Tapi setelah masuk Islam, gelar itu diganti oleh rasulullah dengan “Zaid al Khair” atau Zaid sang pemilik kebaikan.
Zaid al Khair, sejak masa jahiliyahnya, beliau memang sudah terkenal sebagai pribadi yang baik dan penyayang. Sebuah kisah yang diceritakan oleh asy Syaibani dari seorang kakek dari bani Amir, dia menuturkan bahwa suatu ketika bani Amir ditimpa paceklik. Hujan yang kunung turun mengakibatkan ladang menajdi tandus. Sang kakek yang pada saat itu masih belum terlalu tua, merasa kasihan dengan anak dan isterinya.
Ia pun mencoba mencari peruntungan dengan pergi ke Hairah. Sampai disana, dia katakan pada anak dan istrinya, “Kalian tunggulah aku di sini sampai aku kembali membawa harta atau aku mati.” Dengan sedikit perbekalan, dia pun pergi. Di jalan, dia melihat tenda yang disampingnya ada unta yang ditambatkan. Dia berpikir bahwa itu adalah ‘ghanimah’, harta rampasan. Dengan mengendap ia mencoba mengambil unta itu. Namun malang, terdengar suara dari tenda, “lepaskan unta itudan rampaslah dirimu sendiri.” Ia pun urung mengambil unta tersebut.
Setelah tujuh hari berjalan, ia menemukan tenda yang lebih besar dan megah. Disampingnya terdapat tambatan unta. Ia berpikir, pasti ada unta disini. Ia pun mengendap ke dalam tenda, ternyata di dalamnya hanya terdapat seorang kakek yang sudah renta. Saat itu hari sudah mulai gelap. Ia pun mengendap dan tanpa sepengetahuan si kakek, dia bersembunyi di belakang tempat tidurnya. Lalu datanglah seorang penunggang kuda membawa seratusan ekor unta dan dua hamba sahaya. Ia berhenti dan berkata, “Perahlah unta ini, dan berikan pada kakek.” Salah seorang pembantunya pun memerah susu dan meletakkannya dihadapan sang kakek. Sang kakek pun meminum satu-dua teguk. Orang bani Amir yang bersembunyi dengan segera mengambil susu dan meminumnya hingga habis. Saat si pembantu masuk dia menemukan bejana susu sudah kosong. Ia berkata, “Kakek telah meminumnya semua.” Sang penunggang kuda menyuruh untuk memerah susu lagi. Kejadian serupa terjadi, tapi orang dari bani Amir hanya meminum separuh. Sang penunggang kuda lalu menyembelih kambing dan menyuapi sang kakek dengan tangannya. Setelah itu, ia dan dua hamba sahayanya makan samapi kenyang dan merekapun tertidur.
Kesempatan emas ini dimanfaatkan oleh orang dari Bani amir untuk membawa lari unta-unta yang ditambatkan tanpa penjaga. Ia hanya mengambil unta bunting yang ditambatkan. Tapi ternyata, unta-unta lain mengikutinya. Ia pun berjalan hingga siang keesokan harinya.
Sekonyong-konyong dari kejauhan ia melihat sesosok bayangan hitam mendekati. Ternyata dia adalah penunggang kuda. Setelah dekat, orang bani Amir mengambil panahnya dan siap menembak. Penunggang kuda berkata, “Lepaskan tali unta itu.” Orang Bani Amir berkata, “Tidak, aku meninggalkan isteri dan anak-anakku di Hairah, aku bersumpah aku tidak akan kembali kalau tidak membawa harta atau aku mati.”
Penunggang kuda berkata, “Kalau begitu, kau akan mati.” Terjadilah perdebatan. Tapi aneh, penungang kudaitu tidak menghunus pedang malah meminta agar orang Bani Amir itu memilih lubang tali kekang yang mana yang ingin dipanah. Ia pun memilih yang tengah. Penunggang kuda itupun memanah lubang tali itu seakan-akan ia memasukkanya dengan tangannya. Demikian pula dua lubang tali disampingnya. Tahu akan keakuratan tembakan musuhnya, orang dari Bani Amir menurunkan panahnya dan menyerah.
Penungganga kuda berkata, “Menurutmu, apa yang akan aku lakukan padamu?”
Orang bani amir menjawab, “Hal yang buruk.”
Penunggang kuda berujar, “Kau kira aku akan berbuat buruk padahal kau telah menemani “Muhalhil” makan, minum dan lalu engkau akan menyesali malam itu?”–Muhalhil ternyata adalah kakek di dalam tenda yang bukan lain adalah ayah penunggang kuda-. Mendengar nama Muhalhil yang kesohor, orang Bani Amir berkata, “ Jadi anda adalah Zaid al Khail, putra Muhalhil? Kalau begitu berbuat baiklah atas tawananmu ini.”
Penunggang kuda berkata, “Tak masalah. Kalau saja unta ini milikku pasti akan aku berikan padamu. Tapi unta-unta ini milik saudariku.”
Itulah Zaid di masa Jahiliyah. Sedang pada masa keislamannya, Zaid seumpama emas yang disepuh, mengkilap dan semakin indah. Beliau masuk Islam setelah mendengar khutbah Nabi Muhammad. Begitu mudah dan lancar hidayah mengalir ke sanubarinya. Setelah bersyahadat, Rasulullah bertanya, “Siapa kamu?” Zaid menjawab, “ Saya Zaid al Khail.” Rasulullah bersabda, “kamu Zaid al Khair, bukan al Khail.” Lalu Zaid diajak ke rumah beliau dan diberi bantal untuk bersandar. Tapi Zaid menolak karena sungkan duduk bersandar di hadapan Rasulullah.
Rasulullah bersabbda, “ Wahai Zaid, belum pernah ada orang yang diceritakan ciri-cirinya kepadaku, lalu aku menemukannya lebih dari yang diceritakan, selain dirimu. Wahai Zaid sesungguhnya pada dirimu ada dua hal yang dicintai Allah.”
Zaid bertanya, “ Apa itu wahai Rasulullah?”
Rasulullah bersabda, “Sifat welas asih dan lemah lembut.”
Zaid berkata, “ Segala puji bagi allah yang telah memberiku sifat yang dicintainya.”
Lalu seluruh pengikut Zaid memeluk Islam. Pada hari menjelang kepulangannya, Madinah terkena wabah demam. Zaid tetap pulang menuju kaumnya dengan harapan kaumnya bisa mendapat hidayah sepertinya. Tapi ajal tak dapat ditolak, Zaid terkena wabah demam dan belum sampai ia masuk ke rumahnya, malaikat maut telah menjemput dirinya.
Subhanallah, antara keislaman dan ajalnya, tak terdapat sedikitpun celah baginya untuk bermaksiat.