
Larangan Memasang Lampu Disekitar Kuburan



“Ketika Abdullah bin Ubay meninggal dunia. anak laki-lakinya -yaitu Abdulah bin Abdullah- datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya memohon kepada beIiau agar sudi memberikan baju beliau kepada Abdullah untuk kain kafan ayahnya, Abdullah bin Ubay bin Salul. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan bajunya kepada Abdullah. setelah itu, Abdullah juga memohon Rasulullah agar beliau berkenan menshalati jenazah ayahnya. Kemudian Rasulullah pun bersiap-siap untuk menshalati jenazah Abdullah bin Ubay, hingga akhirnya Umar berdiri dan menarik baju Rasulullah seraya berkata,
“Ya Rasulullah, apakah engkau akan menshalati jenazah Abdullah bin Ubay sedangkan Allah telah melarang untuk menshalatinya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan pilihan kepadaku.” Lalu beliau membacakan ayat yang berbunyi; “Kamu memohonkan ampun bagi orang-orang munafik atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka, maka hal itu adalah sama saja. sekalipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali (Qs. At-Taubah 9: 80). Oleh karena itu, aku akan menambah istighfar lebih dari tujuh puluh kali untuknya.” Umar bin Khaththab berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Ia adalah orang munafik?.” Tetapi, rupanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetap saja menshalatinya, hingga Allah menurunkan ayat Al Qur’an: “Janganlah kamu sekali-kali menshalati jenazah seorang di antara orang-orang munafik dan janganlah kamu berdiri di atas kuburnya.” (Qs. At-Taubah 9: 84)
(HR. Bukhari)
Konten Islami Lainnnya:
– Parno Karena Batuk Corona
– Komik Islami Doa Pejuang Nafkah
– Komik Islami Muslimah Memanah Dan Tahajud
– Komik Islami Nasehat Dan Renungan
– Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia Yang Sebenarnya
– Perlunya Kerjasama Dalam Rumah Tangga
– Baju Koko Vs Jersey – Komik Islami
– Dunia Hanya Sementara
– Komik Islami Bahasa Inggris
– Komik Islami Tarawih Surat Pendek
– Kisah Pendek Khutbah Jum’at
– Menunggu Punahnya Corona
– Komik Pendek Islami
– Jangan Pernah Menunda Ibadah
– Komik Islami Hitam Putih
Selamat Membaca.. Bantu Kami Dengan Donasi.. Dengan Kontak Businessfwj@gmail.com

Memasang Kijing, Marmer, dan Atap di Atas Kubur
.
Di antara sikap berlebih-lebihan terhadap kubur baik terhadap kubur orang sholih atau pun lainnya adalah memasang kijing di atas kubur atau memberikan atap atau rumah di atasnya. Hal ini sudah diingatkan oleh para ulama sejak dahulu bahkan juga oleh ulama madzhab Syafi’i.
.
Namun apa yang terjadi pada kubur para kyai, ustadz, sunan, wali atau tokoh ulama di negeri kita yang disikapi secara berlebih-lebihan dengan didirikan bangunan istimewa di atasnya. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti terlarangnya hal tersebut sejak dulu kala.
.
Dalil Pendukung
Beberapa dalil berikut sebagai pendukung larangan meninggikan kubur dan membuat bangunan atau rumah atau kijing (marmer) di atas kubur.
.
Pertama, perkataan ‘Ali bin Abi Tholib,
Dari Abul Hayyaj Al Asadi, ia berkata, “‘Ali bin Abi Tholib berkata kepadaku, “Sungguh aku mengutusmu dengan sesuatu yang Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah mengutusku dengan perintah tersebut. Yaitu jangan engkau biarkan patung (gambar) melainkan engkau musnahkan dan jangan biarkan kubur tinggi dari tanah melainkan engkau ratakan.” (HR. Muslim no. 969)
.
Syaikh Musthofa Al Bugho -pakar Syafi’i saat ini- mengatakan, “Boleh kubur dinaikkan sedikit satu jengkal supaya membedakan dengan tanah, sehingga lebih dihormati dan mudah diziarahi.” (At Tadzhib, hal. 95). Hal ini juga dikatakan oleh penulis Kifayatul Akhyar, hal. 214.
.
Kedua, dari Jabir, ia berkata,
.
Dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari memberi semen pada kubur, duduk di atas kubur dan memberi bangunan di atas kubur.” (HR. Muslim no. 970)
.
Perhatikan Perkataan Ulama Madzhab Syafi’i
.
Matan yang cukup terkenal di kalangan Syafi’iyah yaitu matan Abi Syuja’ (matan Taqrib) disebutkan di dalamnya,
.
“Kubur itu mesti diratakan, kubur tidak boleh dibangun bangunan di atasnya dan tidak boleh kubur tersebut diberi kapur (semen).” (Mukhtashor Abi Syuja’, hal. 83 dan At Tadzhib, hal. 94)